Pecihitam.org<\/strong> – Saya mondok di pesantren genap sepuluh tahun di PP. Assanusi Babakan Ciwaringin Cirebon. Dari 2007-2017. Untuk ukuran era sekarang, sepuluh tahun tergolong sebentar. Terlebih saya mondoknya sambil sekolah formal. Pikiran saya tidak fokus pada satu disiplin ilmu. Sebab itu, bagi saya, sepuluh tahun itu sebentar. Ibarat menyelami lautan, saya baru sampai sepuluh meter. Sedang lautan itu amat dalam. Dus, pemahaman Islam saya masih cetek. Saya masih pandir.<\/p>\n\n\n\n Benar belaka ungkapan al-Mukarram KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam satu acara Kick Andy, bahwa pemahaman Islam seorang muslim itu berjenjang. Ibarat sekolah, dimulai dasar hingga sekolah tinggi. Saya mengalami itu. Semasa sekolah menengah di kampung halaman saya berkawan tidak hanya dengan sesama muslim. Beberapa kawan sekelas sejak kelas tujuh hingga sembilan adalah Kristiani. Walau seiring waktu saya terbiasa bergaul dan biasa saja. Tapi saat itu saya akui masih memiliki rasa sinis dan \u201cagak\u201d antipati terhadap Gereja.<\/p>\n\n\n\n Usai masuk Pesantren, terjadi perubahan secara perlahan. Semakin saya ngaji berbagai kitab dan tentu jenjang ini meningkat seiring bergulirnya warsa, semakin saya memahami bagaimana bersikap dengan non muslim<\/a><\/strong>. Terlebih saat saya bersentuhan dengan khazanah tasawuf. Tasawuf ini unik bagi saya. Disiplin keilmuan Islam ini menyadarkan saya bahwa hakikat kebenaran itu hak absolut Allah SWT. Implikasinya membuka pikiran, sikap, dan kepribadian saya di segala arah interaksi sosial. Terutama interaksi dengan non muslim.<\/p>\n\n\n\n Sederhananya, saya menjadi pribadi yang inklusif, tidak mudah menyalahkan orang lain. Terbuka, toleran, dan tentu sebagaimana klausa dalam alquran bahwa Islam adalah kasih sayang bagi semesta. Maka Islam sebagai wajah kedirian saya adalah menampilkan aura kasih sayang. <\/p>\n\n\n\n