<\/p>\n\n\n\n
Pecihitam.org<\/strong> – Ini adalah kisah nyata yang mengisahkan seorang santri bertemu jodoh karena bersin dan kisah ini bisa menjadi contoh bahwa bertemu jodoh bisa dimana saja. Dalam sebuah perjalanan kereta api dari Jakarta ke Yogyakarta, tahun 1980-an. pemuda itu bersin di kursinya. dia pun bertahmid, \u201cAlhamdulillaah.\u201d Ini tahun 1980-an. Jilbab adalah permata firdaus di gersangnya dakwah. Dan ucapan \u201cYarhamukallaah\u201d adalah ilmu yang langka, keduanya terasa surgawi.<\/p>\n\n\n\n Maka pemuda itu bergegas, disobeklah kertas dari buku agenda dan diambilnya pena dari dalam tas. Disodorkannya pada muslimah itu. \u201cDik\u201d, ujarnya, \u201cTolong tulis nama Bapak anda dan alamat lengkapnya.\u201d Beberapa hari kemudian, pemuda itu mendatangi alamat yang tertulis di kertas. Diketuklah pintu, kemudian dia ucapkan salam. Seorang bapak berwajah teduh & bersahaja menyambutnya. \u201cYang ketiga\u201d, di kalimat ini dia agak gemetar. \u201cJika memungkinkan bagi saya belajar langsung tentang itu di bawah bimbingan Bapak dengan menjadi bagian keluarga ini, saya sangat bersyukur. Maka dengan ini, saya beranikan diri untuk melamar putri Bapak.\u201d Pemuda itu pun menceritakan kisah perjumpaannya dengan putri sang Bapak di Kereta. Lengkap dan gamblang. Singkat cerita, hari itu juga mereka diakadkan. Dengan memanggil tetangga kanan-kiri untuk jadi saksi. Maharnya? Pena yang dipakai pemuda itu meminta alamat sang Bapak pada gadis di kereta yang akhirnya jadi istrinya, ditambah beberapa lembar rupiah yang ada di dompetnya.
<\/p>\n\n\n\n
Dari seberang tempat duduknya terdengar suara lirih namun tegas, \u201cYarhamukallaah\u201d
Maka diapun menjawab, \u201cYahdikumullah, wa yushlihu baalakum\u201d, lalu menoleh. Yang dia lihat adalah jilbab putih, yang wajahnya menghadap ke jendela.<\/p>\n\n\n\n
Gadis itu terkejut. \u201cBuat apa?\u201d, tanyanya dengan wajah pias lagi khawatir.
\u201cSaya ingin menyambung ukhuwah dan thalabul \u2018ilmi kepada beliau\u201d, ujar sang pemuda. \u201cTeramat bersyukur jika saya bisa belajar dari beliau bagaimana mendidik putra-putri jadi shalih & shalihah.\u201d
Dengan ragu, gadis itupun menuliskan sebuah nama & alamat.
\u201cKalau ada denahnya lebih baik\u201d, sergah si pemuda.
<\/p>\n\n\n\n
Setelah mempersilahkan duduk, sang bapak bertanya, \u201cAnak ini siapa dan ada perlu apa?\u201d
Sang pemuda memperkenalkan diri, lalu dia berkata, \u201cMaksud saya kemari, pertama nawaituz ziarah libina-il ukhuwah. Saya ingin, semoga dapat bersaudara dengan orang-orang shalih sampai ke surga.\u201d
\u201cYang kedua\u201d, sambungnya, \u201cNiat saya adalah thalabul \u2018ilmi. Semoga saya dapat belajar pada Bapak bagaimana mendidik anak jadi shalih dan shalihah.\u201d<\/p>\n\n\n\n
\u201cLho Nak\u201d, ujar si Bapak, \u201cPutri saya yang mana yang mau Anak lamar? Anak perempuan saya jumlahnya ada lima itu?\u201d
\u201cBismillah. Saya serahkan pada Bapak, mana yang Bapak ridhakan untuk saya. Saya serahkan urusan ini kepada Allah dan kepada Bapak. Sebab saya yakin, husnudhzan saya, bapak sebagai orang shalih, juga memiliki putri-putri yang semua shalihah.\u201d
\u201cLho ya jangan begitu. Lha anak saya yang sudah anda kenal yang mana?\u201d
\u201cBelum ada Pak\u201d, pemuda itu nyengir.
Orang tua itu geleng – geleng kepala sambil tersenyum bijak.
\u201cSebentar nak\u201d, kata si Bapak, \u201cLha Anda bisa sampai ke sini, tiba-tiba melamar anak saya itu ceritanya bagaimana?\u201d
<\/p>\n\n\n\n
Sang bapak mengangguk-angguk. \u201cYa kalau begitu\u201d, ujar beliau, \u201cKarena yang sudah Anda nazhar (lihat) adalah anak saya yang itu: bagaimana kalau saya tanyakan padanya, kesanggupannya: apakah si anak juga ridha padanya?\u201d
Pemuda itu mengangguk dengan tersipu malu.
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n