Adapun rukun jual beli dalam Islam antara lain:<\/p>\n

\n
1. Pihak yang bertransaksi <\/strong>yaitu penjual dan pembeli<\/li>\n
2. Barang<\/strong>\u00a0baik itu berupa benda maupun jasa, namun biasanya jual beli lebih sering dilakukan dengan obyek jual beli berupa benda. Sedangkan jika berupa jasa lebih dikenal dengan istilah sewa menyewa.<\/li>\n
3. Harga<\/strong>\u00a0yang sesuai kesepakatan nilai barang yang dipertukarkan.<\/li>\n
4. Serah terima<\/strong>\u00a0(ijab qabul) menggunakan ucapan serah terima transaksi dari penjual dan pembeli (ijab qabul) atau perbuatan menyerahkan uang oleh pembeli dan penyerahan barang dari penjual (shiqat)<\/li>\n<\/ol>\n

   Hukum jual beli dalam Islam tergantung pada keempat rukun tersebut. Apabila salah satu dari empat rukun jual beli di atas tidak terpenuhi, maka transaksinya tidak dapat dilakukan atau jika transaksi sudah dilakukan transaksinya menjadi batal.<\/p>\n

   Syarat Jual Beli dalam Islam<\/strong><\/h2>\n

   Selain rukun jual beli, ada juga syarat jual beli dalam Islam yang harus dipenuhi dalam sebuah transaksi, antara lain:<\/p>\n

   \n
   1. Berakal<\/strong>\u00a0\u2013 pihak yang bertransaksi haruslah telah baligh, memiliki kemampuan mengatur uang, dan kompeten dalam melakukan jual beli.<\/li>\n
   2. Kehendak sendiri<\/strong>\u00a0\u2013 Para pihak yang terlibat melakukan tranasaksi dengan ridha dan sukarela, karena jika dilakukan dengan paksaan, termasuk transaksi yang bathil.<\/li>\n
   3. Mengetahui<\/strong>\u00a0\u2013 Para pihak telah mengetahui barang dan harga jualnya, tidak boleh ada ketidak jelasan (gharar<\/em>) seperti membeli susu yang masih belum diperah.<\/li>\n
   4. Barangnya Suci<\/strong>\u00a0\u2013 barang yang diperjualbelikan bukan benda najis atau yang barang yang haram.<\/li>\n
   5. Barang bermanfaat<\/strong>\u00a0\u2013 barang pada transksi jual beli memiliki manfaat sehingga tidak mubazir.<\/li>\n
   6. Barang sudah dimiliki<\/strong>\u00a0\u2013 penjual telah memiliki hak untuk menjual barang tersebut, baik itu dengan telah membeli telebih dahulu dari suplier\/produsen, atau telah memperoleh izin untuk menjual dari pemilik barang. (kecuali jika melakukan jual beli salam).<\/li>\n
   7. Barang dapat diserahterimakan<\/strong>\u00a0\u2013 barang yang tidak dapat diserahkan, seperti jual beli burung yang sedang terbang, berpotensi besar tidak terealisasi, sehingga menimbulkan kerugian pada salah satu pihak.<\/li>\n
   8. Ijab dan qabul transaksi harus berhubungan<\/strong>\u00a0(tidak ada pemisah) meskipun berbeda tempat (mazhab hanafi).<\/li>\n
   9. Lafadz dan perbuatan jelas<\/strong>\u00a0\u2013 pengucapan menjual dan membeli oleh para pihak harus jelas dan saling berkait, selain itu ijab qabul juga dapat dilakukan sesuai kebiasan perdagangan setempat, seperti menyerahkan uang dan penjual menyerahkan barang.<\/li>\n<\/ol>\n

      Hukum Jual Beli Barang yang Belum Pernah Dilihat<\/strong><\/h2>\n

      Akad salam disebut juga dengan akad jual beli pemesanan barang yang belum ada di tempat transaksi namun diketahui spesifikasinya dan bisa dijamin (bai\u2019u maushufin fi al-dzimmah).<\/p>\n

      Hukum dari memakainya dalam praktik muamalah adalah boleh. Sementara itu jual beli barang yang belum pernah disaksikan (\u2018ainun ghaib<\/em>) maka hukumnya tidak boleh.<\/p>\n

      Hal tersebut berdasarkan apa yang tertulis dalam kitab Sebagaimana keterangan dalam kitab Kifayatu al-Akhyar fi hilli Ghayati al-Ikhtishar<\/em> berikut:<\/p>\n

      \u0648\u0628\u064a\u0639 \u0634\u064a\u0621 \u0645\u0648\u0635\u0648\u0641 \u0641\u064a \u0627\u0644\u0630\u0645\u0629 \u0641\u062c\u0627\u0626\u0632 \u0648\u0628\u064a\u0639 \u0639\u064a\u0646 \u063a\u0627\u0626\u0628\u0629 \u0644\u0645 \u062a\u0634\u0627\u0647\u062f \u0641\u0644\u0627 \u064a\u062c\u0648\u0632<\/strong><\/p>\n

      Artinya: \u201cJual beli barang yang bisa disifati dalam tanggungan hukumnya boleh (jaiz). Dan jual beli barang ghaib (tidak ada ditempat) yang belum pernah disaksikan, maka hukumnya tidak boleh.\u201d Penggunaan frasa \u2018ainun ghaib<\/em> pada ibarat<\/em> di atas dapat kita pahami dalam dua pengertian, yaitu:<\/p>\n

      \n
      1. Barang yang hendak diperjualbelikan benar-benar tidak ada dan belum pernah terlintas dalam benak kedua orang yang berakad.<\/li>\n
      2. Sebenarnya barangnya ada, hanya saja barangnya tidak ada di tempat saat akad dilangsungkan dan belum pernah disaksikan (terlintas dalam pengalaman) sama sekali baik oleh pembeli maupun oleh penjualnya, atau belum pernah dilihat oleh salah satu dari keduanya. Ini nanti yang membutuhkan pembedaannya dengan bai\u2019u maushufin fi al-dzimmah<\/em>, atau jual beli salam.<\/li>\n<\/ol>\n

         Untuk jenis \u2018ainun ghaib<\/em> yang pertama, maka sudah pasti hukumnya adalah tidak boleh. Ketidakbolehan disebabkan barangnya yang tidak ada dan sama sekali belum terlintas gambarannya dalam kedua benak penjual dan pembeli.<\/p>\n

         Adapun untuk jenis \u2018ainun ghaib<\/em> yang kedua, maka ada dua pendapat. Dan pendapat yang paling sahih adalah tidak sah. Pendapat ini disampaikan oleh Imam Al-Syafi\u2019i dalam qaul qadim<\/em> dan qaul jadid<\/em>-nya (pendapat lama dan pendapat baru).<\/p>\n

         Hal yang perlu digarisbawahi dalam qaul jadid<\/em>-nya Imam Syafi\u2019i dalam pendapat yang menyatakan ketidaksahan jual beli jenis barang yang kedua, yaitu disebabkan keberadaan unsur menipu (gharar<\/em>) yang memungkinkan terjadinya. Gharar<\/em> bisa terjadi disebabkan ketidaktahuan terhadap barang yang diperjualbelikan.<\/p>\n

         \u0639\u064a\u0646 \u063a\u0627\u0626\u0628\u0629 \u0644\u0645\u062a\u0634\u0627\u0647\u062f<\/strong><\/p>\n

         (barang yang tidak ada di tempat yang belum pernah disaksikan).<\/p>\n

         Pemahaman kalimat tersebut adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Taqiyuddin Al-Hushny, sebagai berikut:<\/p>\n

         \u0648\u0642\u0648\u0644\u0647 \u0644\u0645 \u062a\u0634\u0627\u0647\u062f \u064a\u0624\u062e\u0630 \u0645\u0646\u0647 \u0623\u0646\u0647 \u0625\u0630\u0627 \u0634\u0648\u0647\u062f\u062a \u0648\u0644\u0643\u0646\u0647\u0627 \u0643\u0627\u0646\u062a \u0648\u0642\u062a \u0627\u0644\u0639\u0642\u062f \u063a\u0627\u0626\u0628\u0629 \u0623\u0646\u0647 \u064a\u062c\u0648\u0632<\/strong><\/p>\n

         Artinya: Maksud dari perkataan Abi Syujja\u2019, \u2018belum pernah disaksikan\u2019 difahami sebagai apabila barang yang dijual pernah disaksikan, hanya saja saat akad dilaksanakan barang tersebut masih ghaib<\/em> (tidak ada), maka hukumnya adalah boleh.\u201d<\/p>\n

         Dalam kitab Kifayatu al-Akhyar,<\/em> hukum jual beli dalam Islam yang diperbolehkan apabila barang belum pernah dilihat ialah barang yang dipesan berupa barang yang tidak mudah berubah dalam adat bentuknya.<\/p>\n

         \u0648\u0625\u0646 \u0645\u0636\u062a \u0645\u062f\u0629 \u064a\u062d\u062a\u0645\u0644 \u0623\u0646 \u062a\u062a\u063a\u064a\u0631 \u0641\u064a\u0647\u0627 \u0648\u0623\u0644\u0627 \u062a\u062a\u063a\u064a\u0631 \u0623\u0648 \u0643\u0627\u0646 \u062d\u064a\u0648\u0627\u0646\u0627 \u0641\u0627\u0644\u0623\u0635\u062d \u0627\u0644\u0635\u062d\u0629 \u0644\u0623\u0646 \u0627\u0644\u0623\u0635\u0644 \u0639\u062f\u0645 \u0627\u0644\u062a\u063a\u064a\u0631<\/strong><\/p>\n

         Artinya: \u201cJika telah lewat suatu masa yang memungkinkan terjadinya perubahan terhadap \u201cain ghaibah\u201d atau tidak terjadi perubahan padanya, atau barang tersebut berupa hewan, maka qaul yang paling shohih adalah sah berdasar qaidah: Hukum asal adalah ketiadaan berubah.\u201d<\/p>\n

         Kesimpulan akhir dari pembahasan jual beli barang yang bersifat ghaib<\/em> (tidak ada saat akad), namun masing-masing pihak punya pengalaman tahu terhadap wujud barang yang diperjualbelikan tersebut hukumnya adalah boleh dengan catatan: barang tersebut terdiri atas barang yang tidak gampang berubah, baik oleh waktu maupun oleh masa, serta masing-masing pihak (penjual dan pembeli) punya pengalaman melihat barang, atau bahkan salah satunya saja yang memiliki pengalaman tahu.<\/p>\n

         Adapun bila barang yang diperjualbelikan terdiri atas barang yang sama-sama belum pengalaman melihat wujud barang, dan barang memiliki ciri dan sifat yang tidak umum berlaku sehingga tidak terlintas dalam pengetahuan pemesan dan yang dipesani, atau wujud barang mudah berubah \/ rusak akibat waktu, maka hukum jual beli \u2018ain ghaibah<\/em> semacam ini dihukumi sebagai bathil. Tidak sah akadnya karena menyimpan unsur gharar<\/em>.<\/p>\n

         Demikian beberapa penjelasan mengenai hukum jual beli dalam Islam. Berbagai kaidah telah dirumuskan demi menjaga kepercayaan antara penjual dan pembeli.<\/p>\n

         Sekaligus agar dalam transaksi jual beli tersebut, kedua pihak dapat menerima manfaat atau keuntungan sebaik-baiknya. Semoga bermanfaat. Ash-Shawabu Minallah<\/em>.<\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"

         PeciHitam.org –\u00a0Perkara jual beli dalam Islam memang sudah diatur dengan begitu rinci. Hal ini tentu demi menjaga agar masing-masing pihak dapat menerima manfaat sebaik-baiknya. Pengertian jual beli\u00a0dalam Islam bisa dimaknai sebagai transaksi saling menukarkan harta antara dua pihak yang disertai pemindahan kepemilikan dan dilakukan atas dasar suka sama suka. Sedikitnya ada dua komponen yang dibutuhkan […]<\/p>\n","protected":false},"author":16,"featured_media":53772,"comment_status":"closed","ping_status":"closed","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[1691,2215],"tags":[11390],"yoast_head":"\n