Pecihitam.org<\/a> –<\/strong> Suatu waktu saya menghadiri sebuah upacara yang mengharuskan seluruh undangan mengenakan pakaian jas lengkap beserta kemeja, dasi dan sepatu kantor yang mengkilat. Ini menandakan upacara itu sangat resmi dan bernuansa modern namun sakral. Sesampainya di tempat upacara perhatian saya tertuju pada penampilan seorang kawan yang turut hadir.<\/p>\n\n\n\n Seperti saya ia mengenakan jas, terlihat bersahaja. Rambutnya tersisir rapi meski sebagian kepalanya tertutup songkok. Tampilannya biasa, kecuali sebentuk bulatan-bulatan kecil terlihat di bagian belakang leher. Saya dan sepertinya semua hadirin tahu bahwa kawan itu belum lama sebelumnya berbekam.<\/p>\n\n\n\n Bekam adalah teknik pengobatan tradisional untuk mengeluarkan racun dan zat berbahaya lainnya dari tubuh. Cangkir-cangkir dipanaskan lalu ditempel di atas beberapa bagian permukaan kulit.<\/p>\n\n\n\n Lalu ketika cangkir-cangkir itu mendingin, udara dingin di dalamnya akan menarik kulit dan mengakibatkan permukaan kulit membentuk bekas-bekas bulat merah karena pembuluh darah merespon perubahan tekanan.<\/p>\n\n\n\n Sepintas bulat-bulat merah itu layaknya noda di bagian tubuh yang terbuka, sehingga mengurangi kerapian dan kebersihan penampilan untuk menghadiri sebuah acara resmi. Tapi tidak bagi kawan kita tadi dan hadirin yang melihatnya, kalaupun mereka memperhatikan. <\/p>\n\n\n\n Sebab, bekam dikenal sebagai salah satu teknik pengobatan ala Rasulullah, diketahui dan dipraktekkan oleh beliau. Bekam karena itu bersifat syar\u2019i (sesuai syariat) dan berbekam dianggap mengikuti sunnah Nabi.<\/p>\n\n\n\n Karena telah mengikuti sunnah Nabi dan berbekam itu syar\u2019i, mereka yang mempraktekkannya tidaklah menganggap bekas-bekas bekam sebagai noda di badan. Justru keberadaanya melahirkan rasa kedekatan dengan diri Nabi dan rasa kesucian serta kebanggaan.<\/p>\n\n\n\n Kini bekas bekam menjadi simbol penanda kesalihan lainnya, setelah janggut, tanda hitam di jidat dan bekas luka di sekujur tubuh bagi kalangan Syi\u2019ah yang memperingati tragedi Karbala. <\/p>\n\n\n\n Inipun menjadi sesuatu yang menarik karena biasanya kesalihan disimbolkan melalui pakaian, seperti sorban, gamis dan jilbab, namun yang ini melekat dan menjadi bagian dari tubuh.<\/p>\n\n\n\n Berbekam dianggap sebagian muslim sebagai salah satu teknik pengobatan ala Rasulullah dan pengobatan itu syar\u2019i, begitu pula meminum obat berbahan dasar habbatussauda, segala multivitamin dari ekstrak kurma dan lain sebagainya. Klaim syar\u2019i tersebut bukan tanpa alasan, sebab jenis pengobatan semacam itu dirujukkan kepada hadis-hadis sahih.<\/p>\n\n\n\n Seiring dengan mencuatnya populisme Islam sebagai akibat dari pertumbuhan masyarakat kelas menengah muslim sejak kurang-lebih 20 tahun terakhir, pengobatan ala Rasulullah menjadi komoditi berharga demi meraih keuntungan ekonomi. <\/p>\n\n\n\n Tentunya diksi \u201cala Rasulullah\u201d berhasil memancing emosi kesucian kaum muslimin lalu mengonsumsi produk dan jasa pengobatan tersebut. Maka tidaklah mengherankan jika pengobatan syar\u2019i menjadi bisnis yang menjanjikan.<\/p>\n\n\n\n Benarkah pengobatan-pengobatan yang disebut ala Rasulullah itu bagian dari syariat? Apakah dengan demikian mengonsumsinya berkonsekuensi teologis dalam arti menegaskan teguhnya iman? Apakah semua itu sunnah Nabi?<\/p>\n\n\n\n Ibnu Khal<\/strong><\/a>dun<\/strong><\/a> punya komentar bernada minor tapi, menurut saya, proporsional terhadap persoalan ini dan tiada salahnya kita mempertimbangkan pandangannya. Pertanyaannya kemudian adalah: mengapa Ibnu Khaldun? Mengapa tidak merujuk pada pendapat para ahli syariat karena jelas ini masalah kesyariatan?<\/p>\n\n\n\n