Pecihitam.org<\/a><\/strong> – Pada abad 17 hingga 19 banyak sekali santri-santri Nusantara yang menimba ilmu di Haramain<\/a>. Bahkan tak sedikit para santri itu yang kemudian mencapai keilmuan yang setaraf ulama internasional. Mereka menjadi ulama, khatib, imam, mengajar dan mempunyai murid dari berbagai negara.<\/p>\n\n\n\n

Nah, dikisahkan salah satu makanan yang digemari oleh ulama nusantara yang ada di Mekkah (al-Jawi al-Makki) adalah ikan belut. Di antara ulama yang suka memakan belut adalah Syaikh Nawawi al-Bantani<\/a>, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syaikh Mukhtar \u2018Atharid al-Bughuri, dan lain-lain.<\/p>\n\n\n\n

Karena di Arab tidak ada belut, maka orang sana menganggapnya sebagai habasy (sejenis ular). Mereka sering mengejek ulama Nusantara dengan kata-kata, \u201cYa Jawah-Jawah Baqar. Ya Jawah ya Jawah ya\u2019kul Hanasy. (Hai orang Jawa, hai orang Jawa yang seperti sapi. Hai orang Jawa-hai orang Jawa yang memakan sejenis ular).\u201d kata mereka.<\/p>\n\n\n\n

Tidak terima dengan tudingan ini, akhirnya ulama al-Jawi al-Makki seperti Syaikh Nawawi al-Bantani dan Syaikh Mukhtar \u2018Atharid al-Bughuri membantahnya secara ilmiah dengan mengarang sebuah Kitabul Biluuti Fii Hejaz (Kitab Belut di Hijaz).<\/p>\n\n\n\n

Untuk karya Syaikh Nawawi al-Bantani hilang entah kemana. Namun untuk Syaikh Mukhtar \u2018Atharid al-Bughuri karyanya adalah \u201cAs-Shawa\u2019iqul Muhriqah lil Auhamil Kazibah fi Bayani Hillil Baluti war Raddi `ala man Harramahu.\u201d <\/p>\n\n\n\n

Karya kitab tentang belut yang diselesaikan pada 8 Muharram 1329 H itu pernah dipublikasikan oleh Mathba\u2019ah At-Taraqqil Majidiyah al-Utsmaniyah 1329 H dan kini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Amirul Ulum dan Khairul Anwar.<\/p>\n\n\n\n

Dengan kitab belut itu, beliau membela kehormatan orang-orang Nusantara. Kitab tersebut disusun ke dalam 10 bagian.<\/p>\n\n\n\n

Bagian pertama,<\/strong> pengantar dari pengarang yang menjelaskan asal-mula polemik masalah belut tersebut. <\/p>\n\n\n\n

Bagian kedua, <\/strong>membahas perihal yang berkaitan dengan pembagian jenis-jenis hewan termasuk belut. Bagian ketiga membahas tentang makna lautan yang disandarkan pengarang kepada ulama-ulama lain.<\/p>\n\n\n\n

Pada bagian ini, Syaikh Mukhtar \u2018Atharid menyebutkan, bahwa firman Allah dalam surat Al-Maidah: 96, sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir Jamal yang mengutip Tafsir Khazin; yang dimaksud lautan adalah semua air, baik yang tawar maupun asin, sungai, lautan, ataupun kolam. (hal. 29).<\/p>\n\n\n\n

Bagian keempat,<\/strong> Syaikh Mukhtar \u2018Atharid memberi judul Bab-nya dengan \u201cAncaman Terlalu Mudah Memberi Hukum Halal atau Haram atas Suatu Perkara Tanpa Dalil Syar\u2019i\u201d. <\/p>\n\n\n\n

Beliau kemudian menuliskan, \u201cBagi orang yang tidak memiliki kemampuan berfatwa, tidak diperkenankan berfatwa mengenai perkara yang tidak dia temukan tertulis dalam kitab. Walaupun dia menemukan satu perkara yang sama, atau beberapa perkara. Orang yang ahli dalam faqih adalah orang yang ahli dalam kaidah ushul imamnya, semua bab dari ilmu Fiqih. Sekiranya dia mampu menganalogikan suatu perkara yang tidak dinash oleh imamnya. Ini adalah suatu kedudukan yang sangat agung, dan tidak ditemukan pada saat ini. Karena itu adalah kedudukan para Ashab al-Wujuh, dan mereka telah terputus sejak masa 400 tahun.\u201d (hal. 33)<\/p>\n\n\n\n

Bagian lima,<\/strong> Syaikh Mukhtar \u2018Atharid menukil penjelasan Imam Ibnu Hajar dalam kitab \u201cFatawi Kubra\u201d yang menukil Imam Nawawi<\/a> dalam kitab \u201cal-Majmu<\/a>\u201d yang berkaitan dengan cara berpendapat dalam hukum agama. <\/p>\n\n\n\n

Bagian keenam,<\/strong> beliau membahas pendapat para imam mengenai kehalalan hewan seperti belut dan belut itu sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Bagian ketujuh,<\/strong> membahas bentuk dan dingkah laku belut.<\/p>\n\n\n\n

Bagian kedelapan, <\/strong>beliau menjelaskan bahwa belut adalah hewan yang hidup di air. <\/p>\n\n\n\n

Bagian kesembilan,<\/strong> barulah Syaikh Mukhtar \u2018Atharid menetapkan hukum belut. Pada bagian ini, beliau mencantumkan berbagai pendapat ulama yang mengatakan haramnya belut. Kemudian beliau membantah dan menjelaskan argumentasinya secara detail.<\/p>\n\n\n\n

Bagian kesepuluh,<\/strong> pengarang menjelaskan hukum memakan beberapa jenis hewan seperti remis, keong, tutut.<\/p>\n\n\n\n

Melihat kecerdasan ulama al-Jawi al-Makki dalam menuangkan sebuah argumentasi secara ilmiah, mereka yang tadinya mengejek akhirnya menjadi bungkam dan mengakui kehebatan ulama-ulama Nusantara.<\/p>\n\n\n\n

Wallahua’lam bisshawab.<\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"

Pecihitam.org – Pada abad 17 hingga 19 banyak sekali santri-santri Nusantara yang menimba ilmu di Haramain. Bahkan tak sedikit para santri itu yang kemudian mencapai keilmuan yang setaraf ulama internasional. Mereka menjadi ulama, khatib, imam, mengajar dan mempunyai murid dari berbagai negara. Nah, dikisahkan salah satu makanan yang digemari oleh ulama nusantara yang ada di […]<\/p>\n","protected":false},"author":14,"featured_media":62159,"comment_status":"closed","ping_status":"closed","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[4099],"tags":[12440,12441],"yoast_head":"\n