Pemikiran hukum kewarisan bilateral yang ada dalam al-Qur’an ini telah memunculkan prespektif sekaligus pandangan baru dalam rangkaian detil dan turunan angka pembagian harta warisan.<\/p>\n

Implikasi lebih jauh yang ditimbulkan oleh gagasan Hazairin ini menjangkau permasalahan permasalahan sebagai berikut:<\/p>\n

\n
1. Istilah ‘ashabah<\/em> berasal dari adat masyarakat Arab, dan karena itu tidak seharusnya dipertahankan.<\/li>\n
2. Kedudukan keturunan melalui anak perempuan, dan seterusnya ke bawah, sama kuatnya dengan keturunan melalui laki-laki, dan seterusnya ke bawah.<\/li>\n
3. Memasukkan ahli waris karena pergantian ke dalam sistem kewarisan Islam, dengan menggunakan surah al-Nisa’ ayat 33 sebagai landasannya.<\/li>\n
4. Memperkenalkan pengelompokan baru untuk ahli waris yaitu zhawi al fard’id<\/em>, zhawi al-qardbah<\/em>, dan mawali<\/em> sebagai ganti dari zhawi al-furudh<\/em>, ‘asabah<\/em>, dan zhawi al-arham<\/em> ke dalam pengertian kalalah<\/em> (mati punah) diikutsertakan orang yang hanya mati punah ke bawah (tidak meninggalkan keturunan).<\/li>\n<\/ol>\n

   Hal tersebut berbeda dengan fikih Sunni yang mengartikan kalalah<\/em> sebagai orang yang mati tidak meninggalkan keturunan laki-laki dan ayah.<\/p>\n

   Pandangan-pandangan di atas mengandaikan bahwa masing-masing cucu akan mengambil hak ayah dan ibunya yang telah meninggal.<\/p>\n

   Dalam kasus pertama<\/em><\/strong>, harta warisan setelah dikeluarkan untuk zhawi al-furudh<\/em> (para pemegang hak waris), kemudian dibagi menjadi empat bagian:<\/p>\n

   \n
   • satu bagian untuk anak perempuan<\/li>\n
   • satu bagian untuk cucu laki-laki sebagai pengganti dari ibunya<\/li>\n
   • dua bagian untuk cucu perempuan sebagai pengganti dari ayahnya<\/li>\n<\/ul>\n

     Dalam kasus kedua<\/em><\/strong>, dengan proses yang sama cucu melalui anak laki-laki memperoleh 2\/3, cucu melalui anak perempuan mendapat 1\/5, dan anak-anak perempuan kandung masing-masing 1\/5 bagian.<\/p>\n

     Dalam bingkai pemikiran Hazairin, pandangan-pandangan di atas merupakan hal baru yang muncul sebagai hasil renungan dan pemikiran atas masyarakat Indonesia.<\/p>\n

     Temuan-temuan demikian niscaya hadir, seiring datangnya intensitas keilmuan pendukung, yaitu antropologi, yang dapat dijadikan jangkar untuk menjangkau penelitian bentuk-bentuk kemasyarakatan dan hubungannya dengan sistem kewarisan dengan cukup kohesif.<\/p>\n

     Dari titik inilah kemudian dilakukan upaya penafsiran ulang terhadap doktrin hukum kewarisan agar lebih selaras dengan kemajuan ilmu dan keadaan masyarakat di Indonesia.<\/p>\n

     Dengan ijtihad model baru ini akan ditemukan format hukum fikih yang lebih membumi bagi masyarakat muslim di Indonesia sehingga tidak ada istilah hiyal<\/em> hukum lagi dalam tataran praktis.<\/p>\n

     Harus diakui bahwa seandainya pendapat di atas diterima secara penuh, maka jelas akan mempunyai implikasi yang serius dalam hukum kewarisan Islam.<\/p>\n

     Pandangan Hazairin tentang sistem waris bilateral ini merupakan horizon dan teori baru dalam sistem kewarisan Islam. Lebih dari itu, ia telah membongkar konsepsi-konsepsi hukum kewarisan yang terdapat dalam barbagai mazhab hukum Islam, baik Sunni maupun Syi’i.<\/p>\n

     Menurut penulis, di antara pemikir hukum Islam Indonesia, hanya (baru) Hazairin yang mampu menghasilkan demikian original. Keadaan ini memungkinkannya disebut sebagai mujtahid fi al-asyya’, yakni sosok mujtahid yang dalam batas-batas tertentu memakai konsep dan metode sendiri, serta batas-batas tertentu memakai konsep dan metode mazhab tertentu, serta mampu menghasilkan teori baru bagi pengembangan hukum Islam, yang berbeda sama sekali dengan rumusan-rumusan yang telah lebih dahulu muncul.<\/p>\n

     Ash-Shawabu Minallah<\/em><\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"

     PeciHitam.org – Seperti yang kita ketahui, konsep kewarisan Islam yang selama ini berjalan dengan sistem patrilineal (menarik garis keturunan dari arah laki-laki saja) sangat dipengaruhi oleh konstruksi budaya Timur Tengah yang juga demikian. Hukum kewarisan dalam al Qur’an bagi Hazairin, esensinya menganut sistem bilateral yakni menarik harta dari pihak ayah dan ibu. Patrilineal dalam Kewarisan […]<\/p>\n","protected":false},"author":40,"featured_media":63135,"comment_status":"closed","ping_status":"closed","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[1691,3211],"tags":[12576],"yoast_head":"\n