Pecihitam.org<\/a><\/strong> – Pada dasarnya, membaca perjalanan hidup Sayyid Quthb akan menimbulkan perasaan yang bercampur-aduk. Pada satu sisi, kita disuguhi gambaran pergolakan psikologis, intelektual, aktivisme, penderitaan, keteguhan dan kesalehan. Di sisi lain, dampak logis dari tulisan-tulisannya yang membawa pada anarki, ekstremisme, takfiri dan jihadisme cukup membuat kening berkerenyit dalam.\u00a0<\/p>\n\n\n\n Sayyid Qutb<\/a> menulis karyanya Fi Zhilal al-Quran<\/em> (Dalam Bayangan al-Quran), Ma\u2019alim fi al-Thariq<\/em> (Rambu-rambu di Jalan). Bagi para pengikut Ikhwan al-Muslimun<\/a>, tulisannya merupakan inspirasi yang menerangi. Akhir hayat Sayyid Quthb di tiang gantungan boleh jadi juga merupakan cita yang diimpikan. Namun, ada problem besar dalam pemikiran Sayyid Quthb.<\/p>\n\n\n\n Usamah Sayyid al-Azhari<\/a> dalam bukunya al-Haqq al-Mubin fi Radd \u2018ala man tala\u2019aba al-Din<\/em> (Kebenaran yang Benderang: Menolak Pihak yang Memanipulasi Agama) (2015) menyoroti tentang Sayyid Quthb dan aliran ekstremnya (tay\u00e2rat al-mutatharifah<\/em>). Versi terjemahan bahasa Indonesia buku Usamah ini diberi judul Islam Radikal.\u00a0<\/p>\n\n\n\n Bagi Usamah dapat disimpulkan bahwa pemikiran utama yang menjadi pondasi semua konsep kelompok-kelompok Islam ekstrem ini adalah konsep hakimiyah<\/em>. Konsep ini menjadi dasar dari seluruh rangkaian pemikiran kelompok tersebut dengan aneka pendapat, pemahaman dan cabang-cabangnya. <\/p>\n\n\n\n Konsep h\u00e2kimiyah <\/em>ini menurunkan apa yang dinamakan konsep syirik h\u00e2kimiyah<\/em> dan tauhid h\u00e2kimiyah<\/em>. Jelas konsep ini berbeda tajam dengan konsep syirik jalli<\/em> (besar), syirik khafi <\/em>(tersembunyi), dan syirik khafi wa-\u2018lkhafi<\/em> (sangat tersembunyi) khas para sufi. Bila konsep h\u00e2kimiyah<\/em> berenang di wilayah etiko-politis, maka konsep syirik para sufi menyelam di ranah etiko-religius. <\/p>\n\n\n\n Dengan bertolak dari konsep h\u00e2kimiyah <\/em>Sayyid Quthb bersama saudaranya Muhammad Quthb meyakini bahwa mereka yang memegangi konsep ini adalah mukmin sejati yang disebutnya al-\u2018ushbah al-mu\u2019minah<\/em>. <\/p>\n\n\n\n Kelompok\u00a0 al-\u2018ushbah al-mu\u2019minah<\/em> ini percaya bahwa Allah memiliki janji terhadap orang yang bergabung dengan golongan mereka. Pihak lain yang tidak bergenggam pada konsep h\u00e2kimiyah <\/em>adalah kaum jahiliyah meskipun itu umat Islam. Al-\u2018ushbah al-mu\u2019minah <\/em>\u00a0merasa bahwa mereka sangat berbeda, dan berpikir bahwa mereka lebih baik dari umat Islam lainnya. <\/p>\n\n\n\n Dari pandangan semacam ini pula lahir keyakinan tentang keniscayaan perbenturan antara\u00a0 al-\u2018ushbah al-mu\u2019minah<\/em> dengan umat Islam lainnya demi menegakkan khilafah, tentang kekuasaan yang harus direbut (tamk\u00een<\/em>), tiadanya tanah air, takf\u00eer, dan pusparagam konsep lainnya yang menjelma menjadi teori utuh di nalar para penganut kelompok tersebut.\u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n Usamah membulatkan lima faktor yang menjadi dasar paradigma takfiri, h\u00e2kimiyah<\/em> yang digagas Sayyid Qutb. <\/p>\n\n\n\n Pertama<\/em><\/strong>, salah memahami ayat. Disebut dengan h\u00e2kimiyah<\/em> karena Sayyid Quthb mengambil dasarnya dari gagasan al-Quran di Surah al-Maaidah: 44, yang berbunyi: \u201cBarangsiapa yang tidak berhukum\u00a0 (lam yahkum<\/em>) menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang kafir.” <\/p>\n\n\n\n Sayyid Quthb mengikuti pemahaman Abu al-A\u2019la al-Mawdudi\u00a0 dalam menafsirkan ayat ini. Mawdudi mengafirkan orang yang tidakmenerapkan hukum Islam, meskipun orang tersebut meyakini bahwa ayat itu benar dan berasal dari Allah. <\/p>\n\n\n\n Baginya orang yang tidak menerapkan syariat dihukumi kafir, meskipun orang tersebut tidak dapat menerapkan karena satu dan lain sebab. Bukan hanya dari Mawdudi, benih-benih pemikiran takfiri didapat Quthb juga dari tulisan-tulisan Hasan al-Banna. Ini adalah pandangan yang sempit, ketat dan dangkal. Tergesa-gesa dalam mengafirkan dan memperluas ranah cakupan hal yang tidak relevan.\u00a0<\/p>\n\n\n\n Imam Abu Muhammad bin Athiyah al-Andalusi (w.1148 M) di dalam kitabnya al-Muharrar al-Wajiz<\/em> mengatakan bahwa redaksi ayat al-Maidah:44 tersebut bukan berbentuk umum, melainkan musytarak<\/em> (homonim) yang sering terjadi pada hal-hal khusus. <\/p>\n\n\n\n Karena itu, bagi Ibn Athiyah para pemimpin muslim yang tidak berhukum dengan hukum Allah sama sekali tidak dianggap kafir. Imam Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 M) dalam al-Mustasyfa<\/em> juga berpendapat yang senada dengan Ibn Athiyah saat mengomentari ayat yang sama.\u00a0<\/p>\n\n\n\n Siapa pun yang menelusur kitab-kitab para imam yang menguasai berbagai cabang disiplin keilmuan skolastis Islam tentu akan menjumpai aneka pendapat dan orientasi terhadap Surah al-Maaidah: 44 tersebut. <\/p>\n\n\n\n Kesemua pendapat dan orientasi mereka akan berpangkal pada nama-nama para sahabat semisal Ibn \u2018Abbas<\/a>, Ibn Mas\u2019ud, al-Barra bin Azib, Hudzaifah bin Yaman, Ibrahim al-Nakha\u2019i, al-Sudi, al-Dhahhak, Abu Shalih, Ibn Mijlaz, Ikrimah, Qatadah, Amir, Sya\u2019bi, \u2018Atha dan Thawus. <\/p>\n\n\n\n