Pecihitam.org<\/a> – Nama lengkap kitab ini adalah Futuh al-Arifin fi Bayan al-A\u2019mal al-Salikin wa al-Washalin ila Allah Ta\u2019ala<\/em>. Di bawah judul ini tertulis Terjamah Matan Hikam dengan Syarah yang Diringkaskan<\/em>. <\/p>\n\n\n\n Kitab Futuh al-Arifin<\/em> ini ditulis oleh Haji Muhammad Sarni bin Jarmani bin Muhammad Siddiq al-Alabi. Melalui gelar geografis pada ujung namanya, diperoleh informasi bahwa beliau berasal dari daerah Alabio, Sungai Pandan, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Daerah ini umumnya didominasi oleh masyarakat suku Banjar.<\/p>\n\n\n\n Haji Muhammad Sarni merupakan salah satu ulama produktif di akhir abad ke-20 dan masih kokoh mempertahankan tulisan Arab-Jawi berbahasa Melayu, padahal aksara Latin-Roman telah menjadi arus utama penulisan buku keagamaan. <\/p>\n\n\n\n Alasannya menulis menggunakan aksara Arab-Jawi sangat menarik, seperti dikutipan penutup kitab Futuh al-Arifin<\/em> berikut ini:<\/p>\n\n\n\n …\u0644\u0627\u06ac\u0649 \u062f\u062a\u0648\u0644\u0633 \u062f\u06a0\u0646 \u0645\u0645\u0627\u0643\u0649 \u062d\u0631\u0648\u0641 \u0639\u0631\u0628\u060c \u0627\u064a\u062a \u0645\u0646\u0648\u0631\u062a \u0641\u06a0\u0631\u062a\u064a\u0646 \u0641\u0646\u0648\u0644\u0633\u060c \u0633\u0648\u0641\u0627\u0649 \u062c\u0627\u06a0\u0646 \u062a\u0631\u0644\u0627\u0644\u0648 \u062f\u0641\u0631\u0645\u062f\u0647\u060c \u0633\u0647\u06a0\u06ac \u0627\u0648\u0631\u06a0 \u0645\u0623\u06a0\u06ac\u0641 \u0643\u062a\u0627\u0628 \u0627\u064a\u0646 \u0628\u0648\u0643\u0646 \u0644\u0627\u06ac\u0649 \u0645\u0631\u0641\u0627\u0643\u0646 \u0643\u062a\u0627\u0628 \u0627\u06ac\u0627\u0645 \u064a\u06a0 \u0641\u0631\u0644\u0648 \u062f\u0641\u0644\u0627\u062c\u0631\u0643\u0646\u060c \u062a\u062a\u0627\u0641\u0649 \u062f\u0643\u062a\u0627\u0643\u0646\u06bd \u0628\u0648\u0643\u0648 \u0628\u0686\u0623\u0646 \u0633\u0627\u062c.<\/strong><\/p>\n\n\n\n \u201c…lagi ditulis dengan memakai huruf Arab, ini menurut pengertian penulis, supaya jangan terlalu dipermudah, sehingga orang yang menganggap kitab ini bukan lagi merupakan kitab agama yang perlu dipelajarkan, tetapi dikatakan buku biasa saja.\u201d<\/em><\/p>\n\n\n\n Tampaknya alasan sintimental anti kolonialisme masih menyusup di dalam penulisan kitab Melayu abad ke-20. <\/p>\n\n\n\n Awalnya, di masa penjajahan Belanda, ulama lokal-Nusantara sangat berseberangan dan bila dapat berbeda sama sekali dengan mereka, terutama yang berkaitan tentang ideologi dan religiusitas. <\/p>\n\n\n\n Salah satunya adalah dengan menulis karya dengan huruf Arab, sebab orang Belanda menulis menggunakan huruf Roman-Latin. Sehingga muncul doktrin tidak tertulis bahwa \u201cmenulis dengan huruf Latin adalah meniru orang kafir\u201d.<\/p>\n\n\n\n Namun, rasa sentimen ini di Nusantara berangsur-angsur menghilang, terutama setelah penulisan kitab beraksara Latin yang dipelopori oleh kalangan Islam Reformis. <\/p>\n\n\n\n Meski masih ada konotasi negatif yang dilontarkan. Misalnya istilah \u201cKitab Kuning\u201d (buku keagamaan beraksara Arab) dan \u201cKitab Putih\u201d (buku keagamaan beraksara Latin). Bahkan komunitasnya pun disebut pula dengan istilah \u201cKaum Tua\u201d dan \u201cKaum Muda\u201d.<\/p>\n\n\n\n Kendati demikian, Haji Muhammad Sarni menekankan alasan subjektifnya tersebut \u201cini menurut pengertian penulis<\/em>\u201d. <\/p>\n\n\n\n Sebenarnya memang bagian dari penilaian kasusitas saja, tidak bisa digeneralisir bahwa semua orang akan meremehkan buku beraksara Latin. Lagi-lagi subjektif bila menganggap aksara Arab identik dengan Agama, padahal bahasa dan aksara bagian dari identitas budaya.\u00a0<\/p>\n\n\n\n