Pecihitam.org<\/a> – Asap puritanisme (gerakan pemurnian agama) terus mengepul, bukannya menampakkan kebenaran, justru menabuhkan gong kematian spiritual yang otentik. <\/p>\n\n\n\n Mereka seolah merasuki arwah masyarakat hingga ke dasar lapisan yang mengakibatkan mayoritas awam tentang hukum dibuat semakin bingung. <\/p>\n\n\n\n Ada sebagian mereka yang semula diam ‘anti tradisi’, ikut-ikutan menjadi vokal yang garang. Alih-alih membawakan hasrat sebagai media paling benar.\u00a0<\/p>\n\n\n\n Kalau memang menghendaki kebenaran, maka harus rela meninggalkan dunia mapan dengan membawa buku saku sebagai senjata utama serta bertransformasi jadi manusia diaspora<\/em> (meninggakan kebiasaan umum untuk jor-joran<\/em> ke hal spesifik), guna menguji kedalaman kecerdasan spiritualitasnya. <\/p>\n\n\n\n Jika tidak mampu, maka tidak bisa dengan seleranya “main todong senjata” sana sini, karena mereka nyatanya bukan ahli pada bidangnya.\u00a0<\/p>\n\n\n\n Bahkan rela tidak menikah dan memutuskan untuk menyendiri seumur hidup, seperti yang dialami para intelektualis zaman terdahulu: Yahya bin Syarof bin Hasan bin Husain atau yang sering kita sebut Imam Nawawi<\/a>, Ibnu Jarir At-Thabari, Imam Az-Zamakhsyari, serta Imam panutan mereka, Ibnu Taimiyah<\/a>, sekalipun lebih memilih menyendiri dalam cita-cita spiritualnya yang meskipun mereka Taimiyah-isme<\/em> namun masih fatal dalam memahami.<\/p>\n\n\n\n Di Nusantara, seorang kutu buku visioner, Tan Malaka<\/a>, hidup berpindah-pindah hampir menjelajah sepertiga dunia, mangambil sikap menyendiri dan meninggalkan gaya mapan berjuang untuk kemeredekaan. <\/p>\n\n\n\n Dulu beliau berjuang melawan mitos yang menghambat masyarakat untuk kemerdekaan, maka bila beliau masih ada, pasti akan memarahi mereka kenapa “genk” ini bisa jalan bebas kemana-mana. Begitulah seharusnya mental pejuang.<\/p>\n\n\n\n Masalah yang dikobarkan Tan Malaka hakikatnya tetap sama, yaitu cengkraman kelompok puritan pada pikiran anak bangsa yang sudah mengakar. Definisi keakuratan agama yang sudah termaktub sejak lama malah dilencengkan, bahkan mereka menyerang balik para pengritiknya. <\/p>\n\n\n\n Sudah jelas sejarah merangkum sedemikian rupa, justru mereka tetap memahat pendirian tekstualis sebagai batu nisan keabadiannya. Hal ini sangat memprihatinkan.<\/p>\n\n\n\n Merefleksi falsafah Frederic Nietzsche tentang Zaman Onta, Singa, dan Anak. Zaman Onta,\u00a0 manusia mengetahui hanya dogma, bodoh dan dikendalikan oleh kekuatan buta. <\/p>\n\n\n\n Ia nyaman dalam ketidaktahuan, seolah menikmati hidup dalam perbudakan. Manusia ini tunduk ke sesuatu yang tidak tahu asal usulnya. Takut ancaman kitab suci yang sebenarnya bukan ditujukan kepadanya, di satu sisi ia mengharap keindahan yang bukan dialamatkan kepadanya.\u00a0<\/p>\n\n\n\n Onta identik dengan makhluk yang belum dewasa. Kemudian Zaman Singa, makhluk buas dan pemarah, berkuku tajam dan bergigi taring, siap merobek kebodohan dan dogma yang diceritakan siang dan malam. <\/p>\n\n\n\n Ia melihat pantulan jiwanya sebagai makhluk yang bertaubat atas kelakuannya dimasa lalu. Ia mencabik-cabik kebodohan berupa tektsualisme sebagai senjata palsu dalam mengarungi hidup yang terus maju, disinilah perlunya pembaharu.<\/p>\n\n\n\n Kemudian zaman anak. setelah lepas dari genggaman roh singa, dan kemarahan berangsur-angsur surut, mulailah manusia itu memulai dengan babak baru, yaitu fase anak. <\/p>\n\n\n\n Anak tentunya tanpa dosa, gembira, menjelajah dunia dengan senangnya. Menikmati hidup dengan daya jelajah pandang yang luar biasa. Ia berhasil membuka sumbatan-sumbatan dengan kacamata objektivenya melalui karya-karya tokoh di setiap kitab genggamannya.\u00a0<\/p>\n\n\n\n Ilustrasi diatas adalah pantulan cermin yang sedang melanda ditubuh anak bangsa. Gerakan berbahaya pengadopsi bahasa tekstualis sebenarnya sedang merobohkan bangunan islam yang sudah lama dibangun. <\/p>\n\n\n\n Fase Zaman Anak terwakili lulus dari cengkraman, manusia yang siap melanjutkan era baru yang selama ini mereka salah gunakan. Meski fase ini sudah ada yang mengalami, mudah-mudahan oknum dari mereka kita doakan semua bisa seperti ini.<\/p>\n\n\n\n Para tekstualis di sisi lain hakikatnya sedang membentur-benturkan bangunan syari’ah (disiplin ilmu agama). Sikap “alergi”pada akal justru sebenarnya mereka sedang sekarepnya<\/em> menggunakan akal sebagai pedangnya sendiri. <\/p>\n\n\n\n Karena syari’at sendiri tidak menentang penggunaan akal selama tidak menyentuh prinsip-prinsip dasar syari’at. Hal ini seperti seorang faqih <\/em>(ahli agama) menggunakan qiyas syar’i <\/em>untuk menggali hukum baru.<\/p>\n\n\n\n Ahli Hadits, Ibnu Hajar Al-Asqolani<\/a>, dalam Fathul Bari-nya<\/a> menegaskan pemahaman akal pada rahasia ketuhanan itu lemah. Maka jangan mengarahkan kata “kenapa?” dan “bagaimana?” pada hukumnya. <\/p>\n\n\n\n Dalam keterangan itu pastinya peran akal\u00a0 sangat lemah, tidak bisa berdiri sendiri dalam memutuskan teks. Oleh karena itu penegasan beliau harus melalui acuan ulama, karena mereka sudah melewati proses tempaan ilmu agama yang sangat lama.<\/p>\n\n\n\nTekstualisme, Sumber Nalar Ugal-ugalan<\/em> Bela Agama<\/h2>\n\n\n\n