Pecihitam.org<\/strong> – Segala yang hidup bakal mati. Setiap muslim menginginkan kematian yang baik. Mati dalam keadaan husnul khatimah. Mati membawa keimanan dalam diri. Kematian yang diridlai gusti Allah ingkang murbeng wis\u00e9sa.<\/p>\n\n\n\n Prosesi pemakaman tubuh manusia berbalut kafan putih adalah momen paling memilukan bagi keluarga yang ditinggal. Sebisa mungkin prosesi pemakaman itu dilakukan dengan penuh hati-hati dan iringan dzikir. Tapi, bagaimana perasaan sanak famili yang ditinggalkan jika saat pemakaman terjadi hal yang tidak diinginkan? Misalnya seperti apa yang pernah saya alami.<\/p>\n\n\n\n Dalam satu prosesi pemakaman, ketika tubuh jenazah telah dibaringkan dan ditutupi bilah-bilah bambu. Kemudian, ketika tikar cokelat hendak ditaruh di atas bambu penutup jenazah, ada seorang tegas berkata: \u201cTikar itu jangan dikubur, musyrik!\u201d Mendengar itu, bagaimana perasaan keluarga yang ditinggal? Sedang pemahaman keluarga mayit, adalah tidak haram apalagi musyrik ketika tikar itu turut dikubur.<\/p>\n\n\n\n Inilah yang kerap terjadi di antara tumpukkan dan sejuta deret pemahaman atas Islam di kehidupan antarumat Islam sendiri. Mudah menyalahkan pandangan berbeda sesama pengiman Allah, Rasululah, dan al-Quran. Pun bila memang tidak sepaham, mengapa harus disampaikan di saat kesedihan mendera lubuk hati keluarga mayit?<\/p>\n\n\n\n Membincang ini saya teringat penggalan syiir tanpo waton:<\/p>\n\n\n\n Akeh kang apal quran hadise\/seneng ngafirke mareng liyane\/kafire dhewek gak digateki\/yen esih kotor ati akale<\/em>\/<\/p>\n\n\n\n Muasal segala perpercahan dan tuduh-menuduh di antara khilafiyah pemahaman berislam ialah sebab pertanyaan \u201csiapa yang benar?\u201d Mengapa pertanyaan ini harus muncul jika perbedaan itu sekadar soal furu\u2019 atau pemahaman fikih. Bukankah fikih adalah bersifat dhanni? Yang artinya tak absah seratus persen betul. Pertanyaan seperti itu menuntut jawaban yang menyalahkan orang lain.<\/p>\n\n\n\n Rupanya banyak di antara kita umat Islam lebih serius mengamati laku ibadah orang lain dibanding fokus membenahi laku ibadah sendiri; memunafikkan, mengkafirkan orang lain, sedang kemunafikan dalam hati sendiri tak diurusi. Jangan-jangan ketika mengkafirkan orang lain sebetulnya diri sendiri yang telah kufur kepada Allah Ta\u2019ala. Nau\u2019dzubillah.<\/p>\n\n\n\n Kita hidup semata-mata dalam rangka ikhtiar menjadi pribadi yang taat. Ketataan beragama membentuk kualitas kepribadian muslim yang baik. Namun, penting dicatat tidak pernah menjadi syarat bahwa untuk menjadi muslim yang baik harus memusyrikkan sesama muslim. Kekufuran dan kemusyrikan tidak bisa dikonfirmasi sebab ia letaknya dalam hati.<\/p>\n\n\n\n Ketimbang meneropong aib dan apa yang kita anggap salah dalam laku ibadah muslim lain, jauh lebih bernilai saleh jika kita menyibukkan diri dengan mengorek borok dalam hati sendiri. Jangan sampai penggalan syiir \u201cgampang ngafirke mareng liyane\u201d melekat dalam hati.<\/p>\n\n\n\n Tak sedikit di antara saudara muslim kita yang lantang bersuara bahwa kita hidup dan mati karena dan untuk kalimat tauhid. Saking sukanya dengan kalimat “la ilaha illallahu” ini, sampai foto profil akun sosial medianya pun memajang kalimat tauhid. Tidak keliru, namun konteks kesenyawaan diri dengan kalimat tauhid sesungguhnya tak sedangkal terbatas simbolis.<\/p>\n\n\n\n Secara sufisme, makna kalimat tauhid sangatlah dalam. La ilaha illallahu jika dipenggal menjadi dua, ia menyimpan makna menolak dan menerima. Dalam term taudihnya nafy<\/em> dan itsbat<\/em>. “La ilaha” bermakna nafy<\/em>, yakni menolak segala ujud sesembahan. “Illallahu” bermakna istbat<\/em>, yakni menetapkan hanya Alllah semata Tuhan yang disembah.<\/p>\n\n\n\n Lebih jauh, makna nafy<\/em> “la ilaha iallahu” mengosongkan hati dari ketergantungan kepada selain Allah, dari segala sifat tercela, dan makna istbat<\/em> ialah mengikatkan diri hanya kepada Allah dan menghiasi hati dengan sifat-sifat terpuji. Jika direnungi, sesungguhnya sangat, sangat, dan sangat sukar mengamalkan kalimat tauhid ini.<\/p>\n\n\n\n