Pecihitam.org<\/strong> – Imam Jalaluddin al-Suyuthi atau nama lengkapnya Abdurrahman bin Abi Bakar bin Muhammad bin Sabiquddin bin a-Fakhr Utsman bin Nashiruddin Muhammad bin Saifuddin Khadhari bin Najmuddin Abi ash-Shalah Ayub ibn Nashiruddin Muhammad bin asy-Syaikh Hammamuddin al-Hamman al-Khadhari al-Suyuthi merupakan seorang ulama terkenal dan ahli dalam ilmu-ilmu Al-Qur\u2019an. <\/p>\n\n\n\n Salah satu karya fenomenalnya berjudul al-Itqan fi Ulum al-Qur\u2019an, telah menjadi rujukan hampir semua kitab ulum al-Qur\u2019an yang muncul setelahnya hingga kini. Di dalam kitab tersebut dengan gamblang menyebutkan lima belas syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang apabila hendak menafsirkan Al-Qur\u2019an.<\/p>\n\n\n\n Pertama<\/strong>, seorang penafsir harus menguasai ilmu Bahasa Arab yang berguna mengetahui makna kosa kata Al-Qur\u2019an dalam pengertian kebahasaan dan musytarak (lafal yang memiliki dua makna atau lebih dan dua fungsi atau lebih). <\/p>\n\n\n\n Kedua<\/strong>, seorang penafsir Al-Qur\u2019an harus menguasai ilmu Nahwu untuk mengetahui makna yang berubah akibat perubahan i\u2019rab (bunyi harakat akhir). <\/p>\n\n\n\n Ketiga<\/strong>, seorang penafsir Al-Qur\u2019an harus menguasai ilmu Sharaf untuk mengetahui perubahan bentuk kata yang dapat mengakibatkan perubahan makna. <\/p>\n\n\n\n Keempat<\/strong>, seorang penafsir Al-Qur\u2019an harus menguasai pengetahuan tentang isytiqaq (akar kata) agar dapat menentukan makna suatu kata. <\/p>\n\n\n\n Kelima<\/strong>, seorang penafsir Al-Qur\u2019an harus menguasai ilmu al-Ma\u2019ani, yakni ilmu tentang susunan kalimat dari sisi pemaknaannya.<\/p>\n\n\n\n Keenam<\/strong>, seorang penafsir Al-Qur\u2019an harus menguasai ilmu al-Bayan, yaitu ilmu untuk mengetahui perbedaan makna dari sisi kejelasan dan kesamarannya. <\/p>\n\n\n\n Ketujuh<\/strong>, seorang penafsir Al-Qur\u2019an harus menguasai ilmu al-Badi\u2019, yaitu ilmu mengenai keindahan susunan kalimat. <\/p>\n\n\n\n Kedelapan<\/strong>, seorang penafsir Al-Qur\u2019an harus menguasai ilmu al-Qira\u2019at. Ilmu ini berguna untuk mengetahui makna yang berbeda-beda serta membantu penafsir dalam menetapkan salah satu makna dari kemungkinan makna yang beragam. <\/p>\n\n\n\n Kesembilan<\/strong>, seorang penafsir Al-Qur\u2019an harus menguasai ilmu Ushuluddin, karena di dalam Al-Qur\u2019an terdapat ayat-ayat yang lafalnya mengesankan kemustahilannya dinisbahan kepada Allah. <\/p>\n\n\n\n Kesepuluh<\/strong>, seorang penafsir Al-Qur\u2019an harus menguasai ilmu Ushul al-Fiqh sebagai landasan menetapkan atau istinbath hukum yang terkandung di dalam suatu ayat.<\/p>\n\n\n\n Kesebelas<\/strong>, seorang penafsir Al-Qur\u2019an harus menguasai ilmu Asbab al-Nuzul atau sebab-sebab turunnya Al-Qur\u2019an. ilmu ini berguna untuk mengetahui konteks suatu ayat guna memperoleh kejelasan maknanya. <\/p>\n\n\n\n Kedua belas<\/strong>, seorang penafsir Al-Qur\u2019an harus menguasai ilmu Nasikh Mansukh yaitu ilmu tentang ayat-ayat yang telah dibatalkan hukumnya sehingga dapat diketahui yang mana yang masih berlaku. <\/p>\n\n\n\n Ketiga belas<\/strong>, seorang penafsir Al-Qur\u2019an harus menguasai Fiqih atau hukum Islam. <\/p>\n\n\n\n Keempat belas<\/strong>, seorang penafsir Al-Qur\u2019an harus menguasai hadis-hadis Nabi saw yang berkaitan dengan penafsiran ayat. <\/p>\n\n\n\n Terakhir<\/strong>, seorang penafsir Al-Qur\u2019an memiliki ilm al-Mauhibah, yaitu ilmu yang danugerahkan oleh Allah kepada seseorang sehingga menjadikannya berpotensi menjadi mufasir. Ilm al-Mauhibah tidak diperoleh secara langsung melainkan melalui tahapan-tahapan membersihkan hati serta meluruskan akidah.<\/p>\n\n\n\n Bagi Imam Jalaluddin al-Suyuthi, seorang yang menafsirkan Al-Qur\u2019an harus memenuhi kelima belas syarat tersebut. Ini menunjukkan bahwa betapa menafsirkan Al-Qur\u2019an itu tidak mudah dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. <\/p>\n\n\n\n Syarat tersebut bahkan oleh sebagian ulama setelahnya dinilai sangat ketat. Hal ini tentu saja dimaksudkan untuk menjauhkan diri dari kekeliruan menafsirkan Al-Qur\u2019an. Di antara kekeliruan itu menurut Prof. M. Quraish Shihab (2013: 398-399) adalah terkait dengan subjektivitas mufasir. Jika seseorang menafsirkan Al-Qur\u2019an menurut subjektivitasnya selain keliru bisa jadi sangat berbahaya dan menyesatkan.<\/p>\n\n\n\n Aspek kedua adalah kekeliruan dalam hal tidak memahami konteks ayat meliputi sejarah turunnya, hubungan antar ayat atau surat, dan sebagainya. Ketiga, kekeliruan karena tidak mengetahui siapa pembicara, sosok yang diajak bicara, atau siapa yang dibicarakan. Keempat, kekeliruan akibat kedangkalan pengetahuan mengenai ilmu-ilmu alat (kebahasaan, susuan kalimat, dan sebagainya). Kelima, kekeliruan dalam menerapkan metode dan kaidah tafsir. Keenam, kekeliruan akibat kedangkalan pengetahuan mengenai materi ayat.<\/p>\n\n\n\n Beberapa kekeliruan dalam menafsirkan Al-Qur\u2019an berimplikasi pada munculnya tafsir-tafsir yang menyimpang. Inilah yang harus diperhatikan dan dihindari bagi siapa saja yang hendak menafsirkan Al-Qur\u2019an. <\/p>\n\n\n\n