Zainab Binti Jahsy, Istri Nabi yang Dinikahkan Langsung Oleh Allah SWT

Zainab Binti Jahsy, Istri Nabi yang Dinikahkan Langsung Oleh Allah SWT

Pecihitam.org,- Dialah Zainab binti Jahsy atau yang nama aslinya ialah Barra’, akan tetapi Rasulullah mengubahnya menjadi Zainab tatkala sudah menikahinya. Dalam kesehariannya, Zaenab binti Jahsy merupakan seorang wanita yang shalihah dan Khusyu’ dalam Ibadah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Tidak hanya itu, ia giat bekerja, bahkan menyamak kulit dengan tangannya sendiri dan menyedekahkannya di jalan Allah, karena memang Zainab merupakan Istri Nabi yang sangat gemar bersedekah

Dan hal ini pernah dikemukakan oleh Rasulullah saw., sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad

“Orang yang paling cepat menyusulku di antara kalian adalah yang paling panjang tangannya … “

Maka untuk membuktikan siapa yang dimaksud Sabda tersebut, istri istri Nabi pun berkumpul serta mengukur tangan masing masing di dinding, dan yang paling panjang tangannya adalah Zainab.

Latar belakang keluarga

Jikalau kita mencoba mencari tahu akan berasal dari mana Zainab, maka jawabannya ia merupakan keluarga Rasulullah saw., sendiri. Dikarenakan Paman dari pihak ibunya adalah pemuka para Syuhada dan singa Allah ‘Hamzah bin Abdul Muththalib, saudaranya ialah pemegang panji pertama yang dikibarkan dalam Islam ‘Abdullah bin Jahsy’, dan ibunya adalah bibi Rasulullah saw., yakni Umaimah binti Abdul Muththalib.

Berangkat dari sini tentu telah menggambarkan diri Zainab yang berasal dari keluarga yang terpandang. Maka tak heran ketika Rasulullah saw., melamar dirinya untuk Zaid bin Haritsah (Budak kepercayaan Nabi yang sudah dianggapnya sebagai anak) membuat Zainab merasa keberatan bahkan tak berminat sama sekali.

Baca Juga:  Ibnu Sina, Ilmuan Islam yang Dijuluki Bapak Kedokteran Moderen

Maka dari penolakan ini, turunlah Firman Allah yang termaktub dalam QS. AL Ahzab [33]: 36

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata.

Akhirnya ayat inilah yang membuat Zainab siap menikah dengan Said bin Haritsah. Namun sayangnya pernikahan mereka tidaklah harmonis, bahkan Zaid telah mengadukan permintaannya untuk menceraikan Zainab hanya saja Rasulullah saw., memintanya untuk tetap mempertahankan mahligai rumah tangganya, namun Zaid masih saja mengadukan hal tersebut dan pada akhirnya mereka bercerai.

Pernikahan Rasulullah saw., dengan Zainab binti Jahsy

Pada awalnya firasat Rasulullah memang sudah mengarah pada perceraian Zainab dan Zaid, bahkan sudah tahu bahwa pada akhirnya Zainab akan menjadi Istrinya. Namun Rasulullah mencoba menahan firasat itu dikarenakan beliau paham bahwa dengan pernikahannya kelak dengan Zainab tentulah ada gunjingan dari Musyrikin, bagaimana mungkin seorang Rasul menikahi mantan istri dari anak angkatnya?

Tentu ada pelajaran baru dari apa yang telah direncakan Allah sebelumnya. Usai bercerai, maka turunlah wahyu sebagaimana yang tercantum dalam QS. AL Ahzab [33]: 37

“ … Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”

Seperti yang diperintahkan Allah dan seperti apa yang telah difirasatkannya, maka Rasulullah saw., pun memberitahu Aisyah bahwa dirinya akan menikahi Zainab, dan ternyata beberapa sumber mengatakan bahwa mendengar penyataan Rasulullah saw., membuat Aisyah seketika pingsang, dan setelah siuman Rasulullah saw., pun menjelaskannya dengan penuh lembut dan akhirnya Aisyah pun ridha.

Baca Juga:  Wali Pamijahan: Profil, Metode Dakwah dan Ajaran Tasawufnya

Berbeda dengan pernikahan Rasulullah sebelum sebelumnya, pernikahannya kali ini bersama dengan Zainab binti Jahsy terjadi tanpa adanya wali, dan tanpa saksi. Allah-lah yang memerintahkan pernikahan ini terjadi, maka Allah pula yang menikahkannya melalui ayat-Nya.

Dalam riwayat Imam Bukhari dikatakan bahwa

“Allah telah menikahkanku di langit”

“Allah menikahkanku dari langit ketujuh”

Seperti yang diriwayatkan oleh Imam ad Dzahabi dalam Siyar a’lam an Nubala bahwa

“Ada yang berkata bahwa Nabi saw., menikahi Zainab pada bulan Dzulqaidah tahun 5 H dalam usia 25 tahun ..”

Dari pernikahannya ini, Zainab membangga banggakan diri terhadap istri lainnya dengan mengatakan

“Kalian dinikahkan oleh keluarga kalian, sedangkan aku dinikahkan langsung oleh Allah dari atas langit ketujuh” (HR. Bukhari, no. 7420. Lihat al Ishabah, 7/668; ath Thabaqat al Kubra, 8/106)

Sekalipun seperti itu, Zainab tetap dikenal sebagai wanita yang shalihah dan baik, bahkan Aisyah yang kadang merasa cmburu akan perihal dirinya di sisi Rasulullah mengatakan sesuai apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Ahmad,

Baca Juga:  Biografi Syekh Nawawi Banten, Ulama Indonesia yang Bergelar Pemimpin Ulama Hijaz

“Zainab binti Jahsy menyaingiku dalam memperoleh kedudukan di sisi Rasulullah saw., aku tidak pernah melihat wanita yang lebih baik dalam agama daripada Zainab, dia adalah wanita yang paling bertakwa kepada Allah, paling jujur kata katanya, paling kuat silaturahminya, dan paling besar sedekahnya”

Dalam catatan sejarah, Zainab binti Jahsy wafat tahun 20 H saat berumur 53 tahun dan sesuai sabda Rasulullah saw., ia merupakan istri pertama yang wafat setelah wafatnya beliau.

Saat ajal tiba, dia berkata “Sesungguhnya aku telah menyiapkan kain kafanku, dan mungkin Umar juga akan mengirimkan kain kafan kepadaku. Bila memang demikian, maka sedekahkanlah salah satunya, dan setelah kalian menjulurkan kain kafan keseluruh tubuhku, jika kalian mampu menyedekahkan sarungku, maka lakukanlah”

Sumber:
Abdul Hamid as Suhaibani, Para Shahabiyat Nabi, Cet II, (Jakarta: Darul Haq, 2017)
Azizah Hefni, Agungnya Taman Cinta Sang Rasul, Cet I, (Yogyakarta: Saufa, 2016)

Rosmawati