Zuhud: Pengertian, Landasan, Tanda-tanda dan Tingkatannya Menurut Ulama Sufi

Zuhud

Pecihitam.org– Zuhud sering dipahami dengan meninggalkan kemewahan dunia. Apakah benar demikian? Bukankah beberapa tokoh sufi ada yang hidup kaya raya, misalnya Abu Hasan As-Syadzili, Abdullah bin Mubarok dan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sebenarnya Zuhud sebagai salah satu maqam dalam tradisi Tasawuf tidak sepenuhnya bisa diukur dengan harta. Karena bisa jadi seorang Wali Allah hidup kaya bukan karena ia mengejar dunia, melainkan sebaliknya dikejar oleh dunia.

Tiga wali besar yang saya sebutkan di atas, sungguh mereka kaya harta. Tapi kekakayan itu tak memiliki ruang dalam hati mereka yang senantiasa terpaut dengan Allah.

Agar tidak salah kaprah, tulisan ini akan membahas tentang Zuhud secara lengkap. Pengertian, dalil serta tanda-tanda apakah seseorang itu Zuhud atau cinta dunia.

Daftar Pembahasan:

Pengertian Zuhud

Dari segi bahasa, zuhud berarti meninggalkan, tidak menyukai atau mengambil sedikit. Adapun dari segi istilah yang berlaku dalam dunia tasawuf zuhud berarti mengosongkan hati dari sesuatu yang bersifat duniawi atau meninggalkan hidup kematerian.

Orang yang zuhud disebut Zahid, yakni orang yang meninggalkan dunia untuk mendapatkan yang ada pada Allah.

Hakikat Dunia dan Akhirat

Dunia, menurut para sufi adalah semua hal yang menghalangi manusia dari mematuhi Allah dan menjauhkannya dari kasih-Nyaya dan hari akhirat.

Karena itu, dunia dan akhirat merupakan dua hal yang berlawanan. Apa saja yang menyebabkan ridha Allah dan mendekatkan kepada-Nya termasuk akhirat walaupun hal-hal tersebut tampak seperti urusan dunia.

Misalnya, seperti perdagangan, pertanian dan industri. Jika semua itu dengab tujuan untuk memberikan nafkah kepada keluarga karena mematuhi Allah SWT, maka kegiatan ini dimaksudkan untuk akhirat, walaupun pada lahirnya merupakan kehidupan dunia.

Sebaliknya, latihan-latihan rohani yang didorong oleh hawa nafsu, maka dihitung kegiatan untuk dunia, karena menyebabkan pelakunya yang terasing dari Allah dan tidak membawa manusia lebih dekat kepada-Nya.

Baca Juga:  Adab Murid Terhadap Guru yang Harus Dimiliki Penuntut Ilmu

Begitulah gambaran Zuhud yang sebenarnya, sebagaimana hal ini disampaikan oleh Imam Az-Zarnuji dalam Ta’limul Muta’allim

كَمْ مِنْ عَمَلٍ يَتَصَوَّرُ بِصُوْرَة أعْمالِ الدّنْياَ وَيَصِيْرُ بِحُسْنِ النِيَّة مِن أَعْمَالِ الآخِرَة، كَمْ مِنْ عَمَلٍ يَتَصَوَّرُ بِصُوْرَة أعْمالِ الأخرة ثُمَّ يَصِيْر مِن أَعْمَالِ الدُّنْيَا بِسُوْءِ النِيَّة

“Banyak perbuatan yang tampak sebagai perbuatan duniawi berubah menjadi perbuatan ukhrawi lantaran niat yang bagus. Banyak pula perbuatan yang terlihat sebagai perbuatan ukhrawi bergeser menjadi perbuatan duniawi lantaran niat yang buruk.”

Maqam Zuhud

Dalam tradisi tasawuf, zuhud merupakan salah satu maqam yang harus dilalui calon sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah.

Sebelum menjadi sufi, ia harus menempuh jalan panjang yang berisi maqamat. Seorang calon sufi harus terlebih dahulu menjadi orang yang zuhud (Zahid).

Setelah menjadi Zahid barulah ia bisa meningkat menjadi sufi. Setiap Sufi adalah Zahid, tetapi sebaliknya bukanlah setiap Zahid merupakan Sufi.

Dasar dan Landasan Zuhud

Dasar utama timbulnya konsep zuhud adalah ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadis yang berkaitan dengan uraian tentang tipuan dunia dan perlunya berusaha secara sungguh-sungguh demi akhirat untuk memperoleh pahala surga ataupun selamat dari adzab neraka.

Dan banyak sekali bahasan tentang hal tersebut, baik dalam Al-Qur’an maupun Hadis.

Berikut saya kutipkan sebagian di antaranya:

Surat An-Nisa’

قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيْلٌۚ وَالْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ اتَّقٰىۗ وَلَا تُظْلَمُوْنَ فَتِيْلًا

Katakanlah, “Kesenangan di dunia ini hanya sedikit dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa (mendapat pahala turut berperang) dan kamu tidak akan dizalimi sedikit pun.” (QS. An-Nisa’ ayat 77)

Surat An-Nahl

مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللّٰهِ بَاقٍۗ وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِيْنَ صَبَرُوْٓا اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan Kami pasti akan memberi balasan kepada orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl ayat 96)

Baca Juga:  Begini Konsep Zuhud di Mata Sang Sufi, Rabiah Al Adawiyah

Riwayat Ibnu Majah

اِزْهَدْ فِـي الدُّنْيَا، يُـحِبُّكَ اللّٰـهُ. وَازْهَدْ فِيْمَـا فِي أَيْدِى النَّاس، يُـحِبُّكَ النَّاسُ

“Zuhudlah terhadap dunia, niscaya engkau dicintai Allah dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya engkau dicintai manusia. (HR. Ibnu Majah)

Riwayat Imam Baihaqi

“Apabila Allah menghendaki seorang hamba-Nya menjadi baik, diberinyalah paham akan rahasia agama, ditimbulkannya rasa zuhud terhadap dunia dan diberinya anugrah dapat memandang yang ghaib dan cela dirinya sendiri”. (HR. Al-Baihaqi)

Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis hadis di atas bisa dipahami bahwa Islam tidak melarang hal-hal duniawi dan memerintahkan manusia untuk meninggalkannya, tetapi mengingatkannya agar waspada terhadap tipuan hal-hal yang duniawi supaya manusia bisa meraih kebahagiaan baik di dunia maupun kelak di akhirat.

Dengan demikian, konsep zuhud dalam Islam tidak berarti menjauhi hal-hal duniawi tetapi bermakna menghindari terbuahi tipuannya. Manusia tidak bermusuhan dan saling menghancurkan, tetapi saling mencintai, bekerja sama dan bersama-sama memanfaatkan dan menikmati dunia dalam rangka meraih kebahagiaan akhirat.

Tiga Tanda Zuhud

Orang zuhud bukanlah orang yang meninggalkan harta, keluarga dan pekerjaan.

Dalam pandangan Imam Al-Ghazali, setidaknya ada tiga tanda kezuhudan yang harus ada pada batin seseorang.

Pertama, tidak bergembira dengan apa yang ada dan tidak bersedih karena hal yang hilang.

Allah Azza wa Jalla berfirman

لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلٰى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوْا بِمَآ اٰتٰىكُمْ ۗوَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۙ

Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri. (QS. Al-Hadid ayat 23)

Baca Juga:  Habib Luthfi bin Yahya: Belajar Ma’rifat dari Sesuap Nasi

Kedua, baginya sama saja baik orang yang mencela maupun yang memujinya.

Ketiga, senantiasa bersama Allah dan hatinya lebih banyak didominasi oleh lezatnya ketaatan. Orang yang akrab dengan Allah, pasti akan sibuk dengannya. Orang yang sibuk dengannya, pasti akan akrab dengannya.

Tingkatkan Zuhud

Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Minhajul Qashidin menyebutkan ada tiga tingkatan zuhud.

Tingkatan Pertama

Tingkatan pertama adalah zuhud untuk mendapatkan keselamatan dari siksa, selamat pada waktu hisab, dan bencana yang akan dihadapi manusia. Ini adalah zuhudnya orang-orang yang takut.

Tingkatan Kedua

Tingkatan kedua adalah zuhud untuk mendapatkan pahala dan kenikmatan yang dijanjikan. Ini adalah zuhudnya orang-orang yang berharap. Mereka meninggalkan kenikmatan duniawi untuk mendapatkan kenikmatan ukhrawi.

Tingkatan Ketiga

Tingkatan ketiga adalah zuhud yang tertinggi, yakni zuhud untuk membebaskan diri dari penderitaan dan bukan untuk mendapatkan kenikmatan, tetapi untuk dapat bertemu Allah. Ini adalah zuhudnya orang-orang yang berbuat kebaikan dan orang-orang yang berpengetahuan. Bagi mereka, kenikmatan memandang Allah jika dibandingkan kenikmatan surga, seperti kenikmatan raja di dunia yang memegang kekuasaan, dibandingkan dengan kenikmatan dapat menguasai seekor burung atau mainan.

Demikianlah uraian lengkap tentang zuhud sebagai kajian lanjutan dari tulisan sebelumnya yang juga membahas tentang tema-tema penting berkaitan dengan tasawuf. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.

Faisol Abdurrahman