Bentuk Akulturasi Serta Interaksi Islam Dalam Budaya Jawa

Akulturasi sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu pencampuran anatara dua budaya atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi. Sedangkan secara istilah yaitu acculturationa/culture contact  yang memiliki arti sebagai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu secara tidak langsung diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. 

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dakwah agama Islam yang dipandang dari interaksinya dengan lingkungan sosial budaya di sekitarnya, berkembang dan tersebar menjadi dua; pendekatan kompromis, dan pendekatan non-kompromis. Pendekatan kompromis sendiri adalah suatu pendekatan yang berusaha mewujudkan suatu keadaan damai, sesak akan toleransi, serta sedia hidup dengan pengikut agama dan tradisi lain yang berbeda tanpa mengorbankan agama maupun tradisi masing-masing. Sedangkan pendekatan non-kompromis yaitu suatu pendekatan melalui dakwah Islam dengan mempertahankan identitas-identitas agama, serta menolak penerimaan budaya luar kecuali budaya tersebut dapat berjalan beriringan dengan ajaran agama Islam. 

Sebagai suatu akulturasi Islam terhadap kebudayaan jawa dapat dicerminkan denganbentuk adanya upacara Sekaten dan Grebeg Maulid Nabi. Tradisi tersebut sudah ada dan dilaksanakan sejak pertama masa penyebaran agama Islam di Jawa. Salah satu Walisongo yang menyebarkan Islam dengan menerapkan instrumen musik gamelan sebagai sarana untuk memikat masyarakat agar menikmati pagelaran seni karawitan dalam dakwahnya, yaitu Sunan Kalijaga. Dalam pagelaran tersebut dibutuhkan dua gamelan yang yang memiliki suara merdu, yang dinamakan Kyai Nogowilongo dan Kyai Guntur Madu. 

Baca Juga:  Fokus Belajar atau Ikut Demo? Pahami Dulu Agar Tak Salah Langkah

Seketan sendiri merupakan upacara pendahuluan dari peringatan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW atau biasa orang-orang menyebutnya Maulid Nabi yang di selenggarakan pada tanggal 5-12 Rabiul awal. Kata Sekaten berasal dari Bahasa arab yaitu Syahadatain yang berarti persaksian (Syahadat) yang dua. 

Upacara Sekaten adalah upacara keagamaan yang diselenggarakan di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta secara bersamaan. Upacara Sekaten ini dimulai dengan membunyikan gamelan kraton bertalu-talu, suara gamelan tersebut secara filosofi berbunyi: ning, nong, neng, gung, ndang-ndang deng, ndang-ndang dong. Oleh Sunan Bonang struktur bunyi gamelan tersebut diartikan: “ati kang bening mesti oleh kenongan, hawa nafsu kudu meneng, ben agung, mula ndang ndeng: masuk masjid, ndang-dang dong: biar faham”. 

Prinsip hidup orang jawa sejak dulu memang sudah perpegang teguh pada masa lalu. Jauh sebelum datangnya agama-agama besar yang berkembang seperti saat ini, masyarakat Jawa sudah mengenal Tuhan. Masyarakat Jawa yang tidak biasa menentang agama dan kepercayaan, sehingga kepercayaan dan agama yang datang akan diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa. Mereka berpendapat bahwa semua agama itu baik “sedaya agami iku sae” (semua agama itu baik). 

Baca Juga:  Menjinakkan Bola Liar Khilafah Hizbut Tahrir

Ungkapan inilah yang kemudian membawa konsekuensi timbulnya sinkretisme di kalangan masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa yang menganut Islam sinkretis hingga sekarang masih banyak ditemukan, terutama di Yogyakarta dan Surakarta. Mereka akan tetap mengakui Islam sebagai agamanya, apabila berhadapan dengan permasalahan mengenai jatidiri mereka, seperti KTP, SIM, dan lain-lain. Secara formal mereka akan tetap mengakui Islam sebagai agamanya, meskipun tidak menjalankan ajaran-ajaran Islam yang pokok, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadlan, zakat, dan haji (Koentjaraningrat, 1994: 313).

Masyarakat Jawa yang terutama menyakini keyakinan Kejawen, memahami banyak sekali orang ataupun benda yang dianggap oleh mereka sebagai sesuatu yang keramat. Biasanya orang-orang yang dianggap keramat ialah para tokoh yang banyak berkedudukan  dalam penyebaran ajaran-ajaran agama ataupun yang lainnya. Sedangkan benda-benda yang dikeramatkan ialah pusaka peninggalan dan juga makam-makam para leluhur serta tokoh-tokoh yang mereka hormati. 

Sunan Kalijaga ialah salah satu tokoh penyebar agama yang dikeramatkan, selain itu tokoh-tokoh lain yang dikeramatkan dari kalangan raja ialah Sultan Agung, Panembahan Senopati, dan Pangeran Purbaya. Masyarakat Jawa mempercayai bahwa tokoh-tokoh dan benda-benda yang dikeramatkan tersebut akan memberikan keberkahan bagi kehidupan mereka. Masyarakat Jawa juga percaya kepada makhluk-makhluk halus yang menurutnya adalah roh-roh halus yang berkeliaran di sekitar manusia yang masih hidup. Makhluk-makhluk halus ini ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan manusia. Karena itu, mereka harus berusaha untuk memipis makhluk-makhluk halus tersebut agar menjadi jinak, yaitu dengan memberikan berbagai ritus atau upacara. Di samping itu, masyarakat Jawa juga percaya akan adanya dewa-dewa. Hal ini terlihat jelas pada keyakinan mereka akan adanya penguasa Laut Selatan yang mereka namakan Nyai Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan). Masyarakat Jawa yang tinggal di daerah pantai selatan sangat mempercayai bahwa Nyai Roro Kidul adalah penguasa Laut Selatan yang mempunyai hubungan dengan kerabat Mataram (Yogyakarta). Mereka memberi bentuk sedekah laut agar mereka terhindar dari mara bahaya (Koentjaraningrat, 1994: 347)

Baca Juga:  Daulah Nabawiyah Mustahil Tegak Kembali, Aktivis Pejuang Khilafah Harus Pahami Ini