PeciHitam.org – Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari pernah menggambarkan keislaman negeri Jawa di awal abad 20 dalam kitabnya, Risálat Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai masyarakat yang memiliki pandangan dan mazhab yang sama, serta memiliki referensi dan kecenderungan yang sama.
Yaitu pengikut mazhab Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i, alur pikir Imam Abu Hasan al-‘Asy’ari dan corak Tasawuf konsep Imam al-Ghazali dan Imam Abi al-Hasan al Syadzili.
Implementasi dari referensi dan sumber yang sama melahirkan tradisi dan norma, seperti mencintai keturunan Rasulullah, para wali dan orang-orang saleh: serta mengharap berkah pada orang-orang tersebut; baik yang masih hidup maupun yang telah wafat. Termasuk menghormati dan mencintai para habib, sayyid atau sebutan lainnya bagi keturunan Rasulullah saw.
K.H. Hasyim Asyari juga menunjukkan tradisi keislaman negeri Jawa yang mentradisikan ibadah ziarah kubur. Menempuh perjalanan dari yang terdekat hingga ratusan kilometer bahkan ribuan kilometer melewati sekat-sekat negara hanya untuk ziarah ke makam para ulama, sahabat, dan puncaknya ke makam Rasulullah saw.
Termasuk yang ditunjukkan KH. Hasyim Asyari adalah ibadah men-talqin mayit yang mentradisi; sedekah untuk mayit: menyakini adanya syafaat (pertolongan); bermanfaatnya doa, tawassul dan lain-lain (Hasyim Asyari, 1912)
Diksi ‘negeri Jawa’ muncul dalam kitab Risálat Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah karya KH Hasyim Asyari. Penggunaan diksi ‘negeri Jawa’ dalam kitab tersebut bukan ekspresi politik sektarian di tengah masyarakat Nusantara yang multikultural.
Diksi ‘negeri Jawa’ hanya mengikuti kebiasaan para ulama Timur Tengah. Jazirah Arab dan Afrika yang dalam rentang waktu abad 17 19 M. menggunakannya untuk mendeskripsikan sebuah negara kepulauan di Asia Tenggara.
Seperti saat menulis nama Syaikh Yusuf Makassar (1626 M-1699 M) masih ditambahi kata ‘al-Jawi’; Begitu juga nama Syaikh Achmad Chatib al-Jawi al-Minangkabau (1860M-1916); Syaikh Muhammad Nur al-Jawi al-Fatani (1873 M-1363 H/1944) (yang sekarang masuk wilayah Thailand); dan lainnya.
Merujuk pada maksud ‘negeri Jawa’ dengan cakupan wilayah Asia Tenggara dalam sejarah kawasan kepulauan ini juga populer diksi ‘Nusantara’.
Dinamika keislaman di Indonesia dan kondisi Muslim dunia terkini mendorong PBNU dalam Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama 2015 mengangkat tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”
Maka “Islam Nusantara” itu bukan “agama baru sebagaimana yang Khawatirkan beberapa kalangan yang sudah jenuh dengan konflik Syiah-Wahabi.
“Islam Nusantara” juga bukan aliran baru seperti ketakutan beberapa orang yang telah masuk dalam pusaran pertentangan JIL-Anti JIL. “Islam Nusantara” adalah wajah keislaman yang ada di Asia Tenggara, termasuk Indonesia di dalamnya.
Ajaran Islam yang terimplementasi di tengah masyarakat yang mental dan karakternya dipengaruhi struktur wilayah kepulauan Praktik keislaman tersebut tercermin dalam perilaku sosial budaya Muslim Indonesia yang moderat (tawassuth). menjaga keseimbangan (tawazun), dan toleran (tasamuh).
Ketiga sikap ini merupakan pijakan masyarakat pesantren untuk mencari solusi atas problem sosial yang ditimbulkan oleh liberalisme, kapitalisme, sosialisme, termasuk radikalisme agama-agama.
Banyak naskah yang menunjukkan rekam jejak Islam Nusantara sebagai potret Muslim Nusantara pengikut Ahlussunnah wal Jamaah perspektif NU yang berkarakter toleran, moderat dan menjaga keseimbangan.
Tiga karakter terutama dapat terasakan di bidang sosial, ekonomi dan politik Beberapa kasus dapat diangkat di sini sebagai bagian dari materi kajian fikih dalam kitab Ahkamul Fuqaha’, seperti pada 1927 NU melakukan perebutan hegemoni kebudayaan menghadapi Kolonial Belanda.
Segala atribut Belanda seperti sepatu, celana dan lain sebagainya diharamkan. Pada 1928 NU menegaskan visinya sebagai gerakan perjuangan keadilan, menjaga stabilitas, meningkatkan kualitas hidup dan kemakmuran masyarakat.
Selanjutnya pada 1936 NU memilih konsep ‘negara damai’ untuk Indonesia merdeka. Pada 1937 NU mendorong perjuangan secara sistematis dengan berorganisasi. Pada 1939 NU mendorong pemberdayaan perempuan Nusantara.
Pada 1940 NU mendorong kemajuan ekonomi kerakyatan berbasiskan Islam. Pada 1943 NU membentuk pasukan “Barisan Kiai’, “Hizbullah’, ‘Sabilillah’ dan Mujahidin untuk kemerdekaan Indonesia. Pada 1945 NU mewajibkan perang semesta Seruan yang sama dilakukan pada 1946 Pada 1961 NU menolak pemberlakuan konsep Land Reform untuk propaganda politik. Pada 1979 NU memperjuangkan hak-hak kelompok difabel. Pada 1945 NU menerima Pancasila sebagai asas bernegara, dan lainnya.
Wajah Islam Nusantara ini yang perlu dipromosikan Muslim Indonesia ke masyarakat dunia. Basis peradaban Islam Nusantara telah menjadikan Indonesia sebagai negara aman bersama Malaysia dan Singapura.
Bersamaan dengan ini, terjadilah gelombang aksi kekerasan di Libya, Yaman, Irak dan Suriah yang masih memburuk. Kondisi diperparah oleh kemunculan kelompok Islamic State (ISIS) di Irak dan Suriah.
Karena itu, Barat (Eropa dan Amerika) perlu tahu bahwa wajah Islam tidak dimonopoli oleh masyarakat Islam di Timur Tengah dan Afrika. Grand Syaikh al-Azhar melalui delegasinya yang datang ke PBNU, Dr. Mun’im Fuad, bahkan menegaskan dukungannya terhadap gerakan moderasi NU yang terus mengglobal.
Promosi “Islam Nusantara’ ini berbasiskan nilai dan norma keislaman yang telah dibangun lama sejak era rintisan oleh para sufi. Islam yang tumbuh kembang bercorak kompromistis dengan berbagai anasir lokal lewat proses asimilasi dan sinkretisasi.
Islam yang digerakkan oleh masyarakat santri Nusantara yang mempunyai khazanah keislaman yang tinggi karena peleburan budaya Cina, Persia dan Arab.
Masyarakat Islam corak ini yang telah tumbuh kembang di gugusan kepulauan Nusantara. Maka gerakan promosi “Islam Nusantara tidak dibangun dengan basis finansial sebagaimana yang lazim dilakukan oleh lembaga dan aktor-aktor kekuasaan kapital dan politik.
Misi ini butuh kerja bertahap dan jangka panjang Meski demikian, Muslim Indonesia patut optimis mengingat kerja keras ini sebenarnya tidak dimulai dari titik nol.
Kita termasuk generasi yang telah dimanjakan oleh kesiapan infrastruktur sosial budaya dan keilmuan warisan leluhur. Dari sisi infrastruktur sosial budaya, Muslim Indonesia telah mempunyai fasilitas struktur sosial yang telah teruji sejarah sehingga relatif stabil peran dan statusnya.
Sehingga kelangsungan peran dan status sosial telah menyuburkan perkembangan kebudayaan sejak berabad-abad lalu dari era agama Kapitayan Kuno hingga Islam kini.