Begini Proses Terbentuknya Iman dalam Diri, Keturunan BUKAN Salah Satunya!

Begini Proses Terbentuknya Iman dalam Diri, Keturunan BUKAN Salah Satunya

PeciHitam.orgBeriman adalah syarat penting dalam menjadi muslim, tanpa iman, keislaman orang tersebut perlu dipertanyakan. Dari itu muslim harusnya belajar tentang Tuhan dan Keimanan agar bisa disebut beriman.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Lantas bagaimana kita tahu sudah beriman atau belum? Untuk menjawab itu, perlu kiranya kita memahami apa itu iman, dan bagaimana proses terbentuknya iman dalam diri seseorang.

Iman dalam bahasa Arab memiliki arti pengetahuan, percaya dan yakin tanpa keraguan. Dengan demikian, iman adalah kepercayaan yang teguh yang timbul akibat pengetahuan dan keyakinan. Adapun orang yang mengetahui dan percaya pada Allah disebut dengan Mukmin.

Kalau kita cermati kembali makna iman tersebut, dapat dikatakan bahwa proses terbentuknya iman dalam diri seseorang itu melalui 2 tahap, diantaranya:

  1. Didahului Oleh Pengetahuan Tentang Tuhan

Artinya, bahwa iman itu dapat diperoleh lewat proses berpikir, perenungan mendalam, survey atau penelitian terhadap alam semesta.

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata)”Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka (Q.S. Ali Imran:190-191).

Dengan demikian, iman seseorang tidak tumbuh dengan sendirinya, melainkan diasah dan dipertebal dengan cara terus-menerus menggali rahasia kekuasaan Allah yang tersedia di alam semesta (burhan kauniyah), di samping selalu taat, takwa dan beribadah kepadaNya.

Baca Juga:  Bolehkah Membayangkan Dzat Allah? STOP! Jangan Kebablasan, Ini Penjelasannya

Lihatlah bagaimana Ibrahim a.s. mengeksplorasi alam dalam proses imannya kepada Allah, padahal Ibrahim hidup di tengah kaum (dan bahkan bapaknya sendiri, Azar) yang menjadikan berhala sebagai Tuhan. Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang orang yang yakin. Ketika malam hari telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku”. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata, “Saya tidak suka kepada yang tenggelam. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.” maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: “hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan Yang Menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” (Q.S. al An’am: 74-79).

Baca Juga:  Rukun Iman Ada 6, Waspada Jika Menemukan yang Berbeda

Ayat di atas menyiratkan sebuah makna bahwasanya faktor keturunan tidaklah membantu dalam terbentuknya iman dalam diri, melainkan eksplorasi dan pengetahuan tentang Tuhan. Pernyataan ini didukung dengan beberapa kisah lain dalam Al-Quran, diantaranya:

Kisah Nabi Nuh AS berupaya keras mengajak putranya untuk ikut menaiki bahtera. Namun putranya itu membangkang. Seperti dalam Al-Quran Surat Huud Ayat 42-46:

وَهِىَ تَجۡرِىۡ بِهِمۡ فِىۡ مَوۡجٍ كَالۡجِبَالِ وَنَادٰى نُوۡحُ اۨبۡنَهٗ وَكَانَ فِىۡ مَعۡزِلٍ يّٰبُنَىَّ ارۡكَبْ مَّعَنَا وَلَا تَكُنۡ مَّعَ الۡكٰفِرِيۡنَ‏

قَالَ سَاٰوِىۡۤ اِلٰى جَبَلٍ يَّعۡصِمُنِىۡ مِنَ الۡمَآءِ‌ؕ قَالَ لَا عَاصِمَ الۡيَوۡمَ مِنۡ اَمۡرِ اللّٰهِ اِلَّا مَنۡ رَّحِمَ‌ۚ وَحَالَ بَيۡنَهُمَا الۡمَوۡجُ فَكَانَ مِنَ الۡمُغۡرَقِيۡنَ‏

وَقِيۡلَ يٰۤاَرۡضُ ابۡلَعِىۡ مَآءَكِ وَيٰسَمَآءُ اَقۡلِعِىۡ وَغِيۡضَ الۡمَآءُ وَقُضِىَ الۡاَمۡرُ وَاسۡتَوَتۡ عَلَى الۡجُوۡدِىِّ‌ وَقِيۡلَ بُعۡدًا لِّـلۡقَوۡمِ الظّٰلِمِيۡنَ

وَنَادٰى نُوۡحٌ رَّبَّهٗ فَقَالَ رَبِّ اِنَّ ابۡنِىۡ مِنۡ اَهۡلِىۡ وَاِنَّ وَعۡدَكَ الۡحَـقُّ وَاَنۡتَ اَحۡكَمُ الۡحٰكِمِيۡنَ

قَالَ يٰـنُوۡحُ اِنَّهٗ لَـيۡسَ مِنۡ اَهۡلِكَ ‌ۚاِنَّهٗ عَمَلٌ غَيۡرُ صَالِحٍ ‌‌ۖ فَلَا تَسۡــَٔــلۡنِ مَا لَـيۡسَ لَـكَ بِهٖ عِلۡمٌ‌ ؕ اِنِّىۡۤ اَعِظُكَ اَنۡ تَكُوۡنَ مِنَ الۡجٰهِلِيۡ

Demikian pula dengan kisah Nabi Musa AS yang semasa kecilnya diasuh dalam lingkungan keluarga Fir’aun. Firman Allah dalam Al-Quran Surat al-Qashash Ayat 7-8:

وَأَوْحَيْنَآ إِلَىٰٓ أُمِّ مُوسَىٰٓ أَنْ أَرْضِعِيهِ ۖ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِى ٱلْيَمِّ وَلَا تَخَافِى وَلَا تَحْزَنِىٓ ۖ إِنَّا رَآدُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ ٱلْمُرْسَلِينَ

Baca Juga:  Agungnya Kalimat Tauhid, Kafir 70 Tahun Dihapus dengan "Laa Ilaaha Illallah"

فَٱلْتَقَطَهُۥٓ ءَالُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا ۗ إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَٰمَٰنَ وَجُنُودَهُمَا كَانُوا۟ خَٰطِـِٔينَ

Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa lingkungan keluarga dan masyarakat serta pendidikan yang ditempuh oleh seseorang membawa pengaruh bagi tingkat perkembangan pembentukan iman seseorang.

  1. Timbulnya Sikap Percaya Kepada Allah

Meskipun kepercayaan pada tahap ini masih labil, tergantung pada seberapa banyak pengetahuan tentang Allah dan upaya kontemplasinya terhadap alam semesta tersebut, namun iman pada tahap ini akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya pengetahuan yang diperoleh atau pengalaman yang dijalani.

Kadang-kadang muncul keraguan dalam dirinya, namun ketika proses pencarian tersebut berlanjut, sedikit demi sedikit keraguan itu akan hilang lalu berubah pada terbentuknya tahap KETIGA, yakni yakin tanpa dibayangi oleh sikap ragu.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan