Mengindahkah Hubungan Islam dengan Tradisi Nusantara Melalui Konsep ‘Urf

Mengindahkah Hubungan Islam dengan Tradisi Nusantara Melalui Konsep 'Urf

PeciHitam.org Dalam sebuah kaidah dinyatakan, al-tsabit bi al-‘urf ka al-tsabit bi al-nash (sesuatu yang ditetapkan berdasar tradisi “sama belaka kedudukannya” dengan sesuatu yang ditetapkan berdasar al Qur’an-Hadis). Kaidah fikih lain menyatakan, al-‘adah muhakkamah (adat bisa dijadikan sumber hukum).

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Demikian adalah pengingat pentingnya kedudukan urf dalam Islam, maka ushul fikih memberi mandat pada urf-tradisi untuk men-takhshish lafal umum yang belum ada petunjuk teknis pelaksanaannya dalam al-Qur’an dan Hadis. Berikut Detailnya

Daftar Pembahasan:

Kembali pada Tradisi

Jalaluddin al-Suyuthi dalam al-Asybah wa al-Nazha’ir berkata, “kullu ma warada bihi al-syar’u wa la dhabitha lahu fihi wa la fi al-lughah yurja u fihi ila al-‘urf” (sesuatu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya secara mutlak-tanpa batasan-kriteria, baik dalam aspek syariat maupun dalam aspek bahasa, maka sesuatu itu harus dikembalikan pada ‘urf-tradisi).

Ini menunjukkan, betapa Islam sangat menghargai kreasi-kreasi kebudayaan masyarakat. Sejauh tradisi itu tak menodai prinsip-prinsip kemanusiaan, maka ia bisa tetap dipertahankan. Sebaliknya, jika tradisi itu mengandung unsur yang mencederai martabat kemanusiaan, maka tak ada alasan untuk melestarikan.

Dengan demikian, Islam Nusantara tak menghamba pada tradisi karena tradisi memang tak kebal kritik. Sekali lagi, hanya tradisi yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan yang perlu dipertahankan.

Itulah petunjuk pelaksanaan Islam Nusantara dalam menyikapi tradisi budaya masyarakat. Itu sebabnya dalam beberapa kasus para ulama menggunakan strategi kebudayaan dalam mendakwahkan Islam.

Inilah yang Dilakukan Walisongo

Sunan Kalijaga menggunakan Wayang Kulit sebagai media dakwah. Ia memasukkan kalimat syahadat dalam dunia pewayangan. Doa-doa, mantera-mantera, jampi-jampi yang biasanya berbahasa Jawa ditutupnya dengan bacaan dua kalimat syahadat. Dengan cara ini, kalimah syahadat menjelma di hampir semua mantera-mantera yang populer di masyarakat.

Baca Juga:  Hukum Mendoakan Jenazah Non Muslim, Bolehkah? Ini Penjelasannya

Alih-alih menghancurkan tradisi, tak jarang para ulama mengakomodasi budaya yang sedang berjalan di masyarakat. Tradisi sesajen yang sudah berlangsung lama dibiarkan berjalan untuk selanjutnya diberi makna baru.

Sesajen tak lagi dimaknai pemberian untuk dewa melainkan sebagai bentuk kepedulian kepada sesama. Begitu juga tradisi nyadran dengan mengalirkan satu kerbau ke pantai Jawa tak dihancurkan, melainkan diubahnya hanya dengan membuang kepala kerbau atau kepala sapi ke laut.

Nadran tak lagi dimaknai sebagai persembahan pada dewa, melainkan sebagai wujud syukur kepada Allah. Hasil bumi yang terhidang dalam upacara tak ikut dilarungkan ke laut, tapi dibagi ke penduduk.

Para ulama pun tak antipati terhadap simbol-simbol agama lain. Sunan Kudus membangun mesjid dengan menara menyerupai candi atau pura.

Memodifikasi konsep Hindu-Buddha, Sunan Kalijaga membangun ranggon atau atap masjid dengan tiga susun yang menurut Abdurrahman Wahid untuk melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim, yaitu iman, islam, dan ihsan.

Inilah kearifan dan cara ulama dalam memanifestasikan Islam sehingga umat Islam tetap bisa berislam tanpa tercerabut dari akar tradisi mereka sendiri.

Antara Islam, Urf dan Nusantara

Cukup jelas bahwa memisahkan Islam dari tradisi masyarakat bukan solusi. Islam seharusnya berdialektika dengan kebudayaan asalkan tak sampai mengubah pokok ajaran Islam. Misalnya, tak ada yang membantah bahwa hukum waris ada dalam al-Qur’an.

Baca Juga:  Ikut Ulama atau Nabi? Agar Tidak Salah, Ini Penjelasannya

Hanya persoalannya, bagaimana ia diimplementasikan dalam konteks masyarakat yang budayanya berbeda dengan budaya masyarakat Hijaz sebagai audiens pertama al-Qur’an. Di Indonesia misalnya dikenal harta gono-gini, yaitu harta rumah tangga yang diperoleh suami-istri secara bersama-sama.

Menghadapi kenyataan ini, harta gono-gini biasanya dipisahkan terlebih dahulu sebelum pembagian waris Islam dilakukan. Penyesuaian hukum ini dijalankan masyarakat secara turun-temurun karena rupanya narasi keluarga Islam di Indonesia berbeda dengan narasi keluarga Islam di Arab sana.

Dengan demikian, ajaran Islam dan ‘urf-tradisi masyarakat mestinya tak perlu dipertentangkan, sebab keduanya bisa saling mempersyaratkan.

Jika urf-tradisi membutuhkan ajaran Islam agar tradisi tersebut tak menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, maka Islam juga membutuhkan urf karena ‘urf merupakan ladang tempat berlabuhnya ajaran Islam.

Karena itu, seorang mujtahid harus orang yang mengerti tradisi masyarakat. Imam Syihab al-Din al-Qarafi dalam kitab al-Furuq menasihati para ahli fikih yang hendak memberikan fatwa:

ولا محمد على المسطور في الكتب طول عمرك. بل إذا جاءك رجل من غير أهل إقليمك بثقتك لانحره على عرف بلدك واسأله عن عرف بلده وأجره عليه وأفته به من دون عرف بلدك والمقرر في كتك فهذا هو الحق الواضح. و الجمود على المنقولات أبدا ضلال في الدين وهل تمقاصد علماء المسلمين والسلف الماضي

Artinya: “Janganlah anda terpaku pada apa yang tertulis dalam kitab-kitab sepanjang umurmu. Jika datang kepadamu seorang laki-laki dari luar daerah untuk meminta fatwa, maka jangan terapkan sebuah hukum menurut tradisi yang berlaku di daerahmu. Tanyakanlah kepadanya tentang tradisi yang berjalan di daerahnya, lalu berilah fatwa berdasarkan tradisi di daerahnya, bukan berdasarkan tradisi yang ada di daerahmu dan bukan berdasarkan keputusan yang tercantum dalam kitab-kitabmu. Ini adalah kebenaran yang nyata. Sungguh, terpaku pada teks semata merupakan kesesatan yang nyata selamanya. Itu menunjukkan ketidaktahuan untuk menangkap maksud-maksud para ulama salaf-terdahulu

Baca Juga:  Bantahan untuk Firanda yang Mengatakan Akidah Asyairah Sesat

Kita tahu bahwa wilayah Nusantara ini memiliki sejumlah kekhususan yang berbeda dengan kekhususan di negeri-negeri lain, mulai dari kekhususan geografis (khusushiyah dharfiyah-iqlimiyah), kekhususan sosial politik (khushushiyah ijtima’iyyah-siyasiyah) sampai pada kekhususan tradisi peradaban (khususiyah ‘urfiyah-tsaqafiyyah).

Keunikan-keunikan ini tentu menjadi pertimbangan para ulama ketika hendak menjalankan Islam di Nusantara. Keunikan-keunikan itu pula pada perkembangannya membentuk warna Islam Nusantara berbeda dengan warna Islam di Timur Tengah. Walau berbeda, Nusantara tak boleh dianggap lebih rendah ketimbang Saudi Arabia misalnya.

Dengan ini, maka Nusantara tak perlu diarabkan sebagaimana Arab tak perlu dinusantarakan. Namun, masing-masing bisa saling belajar menyangkut kekurangan dan kelebihan dalam mendakwahkan Islam.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan