Syair Perang Mengkasar Encik Amin dan Eksistensi Literatur Islam Melayu

Syair Perang Mengkasar Encik Amin dan Eksistensi Literatur Islam Melayu
Bismiâllah itu suatu firman
Fardulah kita kepadanya iman
Muttasil pula dengan rahman
Hasil maksudnya pada yang budiman
Rahman itu sifat
Tiada bercerai dengan kunhi zat
Nyatanya itu tiada bertempat
Barang yang bekal sukar mendapat
Rahim itu sifat yang sedia
Wajiblah kita kepadanya percaya
Barang siapa yang mendapat dia
Dunia akhirat tiada berbahaya

Itulah sedikit potongan Syair Perang Makassar atau Syair Perang Mengkasar. Syair ini mendeskripsikan bagaimana pertempuran antara Kerajaan Gowa di bawah kekuasaan VOC Belanda.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Karya sastra mashur yang bercerita peristiwa pada kisaran abad ke 16-17 ini diduga kuat ditulis di masa Raja Gowa ke 16, Sultan Hasanuddin (1653-1669).

Melihat pertempuran hebat antara Kerajaan Gowa Tallo melawan VOC dapat dicek dari berbagai sumber, salah satu yang paling mutakhir untuk melihat gejolak di masa itu yakni lewat Syair Perang Mengkasar karya Encik Amin tersebut.

Syair Perang Mengkasar telah banyak menarik perhatian banyak ilmuwan di berbagai negara, diantara yang paling terkenal adalah Peneliti Sastra dari Inggris, C Skinner yang menjadikan Syair ini sebagai penelitian untuk meraih gelar PhD-nya lewat judul The Rhyme Chronicle Makassar War.

Enci Amin sendiri digambarkan oleh C Skinner sebagai seorang Islam Fanatik dan pria pendek yang senang bersolek. Encik Amin dikabarkan langsung berpindah ke Maluku pasca runtuhnya Kerajaan Gowa usai perang Mengkasar yang ditandai dengan Perjanjian Bongaiya.

Baca Juga:  Konsep Bangsa dan Bernegara Ala Islami

Secara tekstual maupun kontekstual, syair ini menggambarkan banyak hal mulai dari interaksi Kerajaan Melayu (Pasai/Aceh) dengan Kerajaan Gowa dalam penyebaran Islam.

Kedua terkait pengaruh Sastra Arab (Islam) Klasik, Melayu, dan Gowa. Ketiga adalah tradisi literature Kerajaan Gowa yang maju melalui kebiasaan mencatat peristiwa penting.

  1. Eksistensi masyarakat Melayu di Gowa

Pada dasarnya, eksistensi orang-orang Melayu di wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa dapat dilacak sejak tahun 1500-an bertepatan dengan kepemimpinan Raja Gowa ke-12 Karaeng Tunijallo (memimpin hingga mangkat pada 1565-1560).

Dalam jurnal yang ditulis oleh Bahtiar dan diterbitkan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan tahun 2018, menuliskan jika komunitas warga Melayu telah banyak mendiami Gowa, tepatnya di pemukiman Manggalekana, sebelah utara Somba Opu yang tidak lain adalah Ibu Kota Kerajaan Gowa.

Bahkan, warga Melayu di Gowa sempat meminta wilayah disertai hak otonom kepada kerajaan. Pada masa Karaeng Tunipalangga, orang Melayu mengutus Datuk Nakhoda Bonang menghadap raja Gowa agar Manggalekanna diberi hak otonom (Poelinggomang, 2004:77)

Dari penelusuran ini, dapat diambil kesimpulan sederhana jika sebelum karya Mashur Encik Amin tercipta, komunitas warga Melayu telah banyak mendiami wilayah Gowa. Kisaran jarak antara terciptanya Syair ini dan eksistensi orang Melayu di Gowa kurang lebih 100 tahun.

Baca Juga:  Tradisi Rajaban Pembacaan Kitab Arja Syafaat di Temanggung Jawa Tengah

Kehadiran komunitas Melayu di Gowa juga memberikan pengaruh yang kuat perihal penyebaran Islam di Gowa dan sekitarnya lewat tiga Datuk (Datu Ritiro, Datu Ribandang, dan Datu Rifatimang).

2. Pengaruh Sastra Arab (Islam) Klasik, Melayu, terhadap Syair Perang Mengkasar

Di masa itu (1500-1600) Sastra Islam Melayu telah berkembang luas di daratan Melayu, khususnya di bumi Sumatera. Ini ditandai dengan telah hadirnya sejumlah karya Sastra di Aceh seperti kepunyaan Hamzah Fansuri, Abdul Rauf Singkil, hingga Nurrudin ar-Rani.

Dalam teks manuskrip asli Syair Perang Mengkasar sangat mudah ditemukan pengaruh Melayu dan Islam secara naratif. Ini terlihat dari munculnya sejumlah kosa kata berbahasa Melayu dan penulisan dengan teks Bahasa Arab Klasik (gundul) secara naratif sebelum dikonversi ke dalam huruf latin oleh sejumlah ilmuwan mutakhir.

Ahyar Anwar dalam jurnal humanioranya yang berjudulSyair Perang Mengkasar Antara Otensitas Sejarah, Transformasi Emosi, dan Eksistensi Komunitas Melayu Gowa’ menuliskan, teks Syair Perang Mengkasar dituliskan dalam bentuk manuskrip berbahasa Arab Gundul sama dengan karya Hamzah Fanshuri hingga Nurrudin ar-Rumi.

Dengan demikian, sangat rasional jika Syair Perang Makassar disebut sangat kental dengan tradisi Sastra Islam Melayu.

Baca Juga:  Adzan Pitu, Tradisi Masyarakat Cirebon dalam Menangkal Wabah Penyakit

3. Tradisi literatur Kerajaan Gowa melalui kebiasaan mencatat peristiwa penting

Tradisi literatur Kerajaan Gowa pasca munculnya Islam terbilang sangat maju. Kerajaan mulai membangun kebiasaan mencatat peristiwa penting dalam setiap momen. Salah satu catatan penting yang juga diabadikan dalam lontara I laga Ligo yakni Syair Perang Mengkasar yang dihasilkan dari tangan Encik Amin.

Bahkan dalam beberapa referensi menyebutkan jika tradisi mencatat peristiwa Penting di Gowa telah hadir sebelum masuknya Islam di Gowa. Ini dibuktikan dengan banyaknya jenis lontara di Gowa seperti Lontara jangang-jangang atau lontara Toa, lontara bilang-bilang, dan lontara sulapa’ appa atau belah ketupat.

Sebagai juru tulis di Gowa zaman kepemimpinan Raja Sultan Hasanuddin, Encik Amin dikenal sangat lihat dalam mengabadikan setiap peristiwa yang terjadi di Kerajaann, meski sejumlah sumber meyakini Syair Perang Mengkasar ditulis usai perang besar yang disebutkan oleh Spelman sebagai perang terbesar di luar Eropa masa itu.