Warna Warni Masyarakat Islam di Indonesia Menurut Clifford Geertz

Warna Warni Masyarakat Islam di Indonesia Menurut Clifford Geertz

Pecihitam.org- Clifford Geertz mengklasifikasikan keberagaman masyarakat Islam di Indonesia, khususnya Jawa, ke dalam tiga kelompok: Santri, priyayi, dan abangan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Santri diidentifikasikan sebagai umat Islam yang mengamalkan ajaran agama Islamnya secara taat, priyayi sebagai kelompok elit, dan abangan disematkan bagi umat Islam dengan kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek sinkretis.

Sebagai contoh, percaya kepada roh dengan pemberian sesaji sebagai bentuk utama ritual, magis, dan bentuk-bentuk mistisisme yang menekankan kemanunggalan Tuhan dan manusia serta bentukbentuk ritual lainnya.

Klasifikasi yang dibuat Geertz memang dinilai tidak tepat oleh sebagian kalangan disebabkan tidak didasarkan pada kriteria yang konsekuen, dan dipandang telah mengacaukan dua pembagian yang termasuk susunan yang berlainan serta mencampuradukkan pembagian horizontal dan vertikal, sementara ia melupakan perbedaan antara stratifikasi horizontal dan vertikal dalam masyarakat Jawa.

Koentjaraningrat misalnya, menilai bahwa istilah santri dan abangan telah menunjukkan dua varian religius dalam kebudayaan Jawa, padahal istilah priyayi tidak menunjukkan tradisi religius apapun juga. Ini dikarenakan para priyayi dapat digolongkan baik santri maupun abangan.

Meski tidak terlepas dari berbagai kritik, namun setidaknya klasifikasi ini bisa menjadi pijakan dasar dalam memotret pola keagamaan masyarakat Islam di Indonesia, meski definisi yang dimaksudkannya tidak selalu sama.

Sekedar menyebut contoh, Mulder sebagaimana dikutip Nur Syam yang menyebutkan bahwa agama di Asia Tenggara termasuk Indonesia adalah agama yang telah mengalami proses lokalisasi. Yakni pengaruh kekuatan budaya lokal terhadap agama-agama yang datang kepadanya.

Baca Juga:  Benarkah Asal Usul Islam Puritan Terinspirasi Oleh Wahabisme?

Agama Islamlah yang kemudian menyerap keyakinan atau kepercayaan lokal, sehingga terjadi proses asimilasi ajaran lokal ke dalam agama tersebut.

Tanpa proses lokalisasi ini, agama Islam tidak akan dapat berjalan dengan lokalitas budaya yang sudah mapan tersebut. Akibatnya, agama Islam di Indonesia tidak akan dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat.

Selain itu, Mark Woodward yang dalam risetnya tentang pola religiusitas di Yogyakarta yang menarik kesimpulan berbeda dengan Geertz bahwa religiusitas yang muncul merupakan hubungan yang compatible antara Islam dan budaya lokal, bukan tradisi Hindu dan Islam yang sinkretis.

Berbagai ritual dinyatakan secara signifikan terkait dengan tradisi Islam universal, yang bersumber dari teks Islam itu sendiri. Sehingga, Islam pribumi bukanlah Islam animistis dan sinkretik melainkan Islam yang kontekstual dan berproses secara akulturatif.

Istilah santri identik didefinisikan dengan orang yang memiliki keyakinan kuat terhadap agama. Sementara jika pemaknaan santri dikerucutkan pada orang yang mengkaji agama di suatu tempat tertentu seperti pesantren, maka dapat dinyatakan bahwa kelompok santri ini memiliki basis di pesantren-pesantren.

Namun pesantren ini tidak selalu berlokasi di daerah pedesaan sebagaimana dinyatakan Amin Rais dalam bukunya Cakrawala Islam. Dalam bukunya ini pula, Rais mengungkap karakteristik dari pesantren ini adalah:

Baca Juga:  Sikap Nahdlatul Ulama Tentang Hubungan Antara Muslim dengan Non Muslim - Bagian 3

Pertama, para santri dalam sistem pendidikan tradisional pesantren memiliki kebebasan yang lebih besar dibanding para peserta didik di sekolah modern dalam bertindak dan berinisiatif, sebab hubungan antara kiai dan santri bersifat dua arah, sedangkan hubungan guru dan peserta didik di sekolah-sekolah sering bersifat satu arah.

Kedua, kehidupan pesantren menanamkan semangat demokrasi di kalangan para santri, karena mereka praktis harus bekerja sama untuk mengatasi seluruh problem non-kurikulum mereka.

Ketiga, para santri tidak terlalu mempedulikan legalitas ijazah, yang mencerminkan keikhlasan motivasi mereka dalam mengkaji agama.

Keempat, pesantren menekankan kesederhanaan, idealisme, persaudaraan, persamaan di hadapan Allah, dan percaya diri.

Zaini Muhtarom menjelaskan ciri yang membedakan antara santri dan abangan, yaitu bahwa para santri lebih memperhatikan ajaran Islam dibandingkan upacaranya, sementara para abangan menekankan perincian upacara (ritual) yang lekat dengan sinkretisme, animisme, dan dinamisme.

Kepercayaan-kepercayaan religius para abangan merupakan campuran khas penyembahan unsur-unsur alamiah secara animis yang berakar dalam agama non-Islam dan telah ditumpangi oleh ajaran Islam.

Para abangan yang ingin mendapat berkah atau minta perlindungan terhadap bencana, mengantarkan sajiansajian berupa kemenyan ke suatu tempat tertentu yang dianggap keramat.

Baca Juga:  Masjid Raya Mujahidin, Masjid Megah Kebanggaan Masyarakat Kalbar

Ragam ibadah para abangan di antaranya meliputi upacara perjalanan, penyembahan roh halus, upacara cocok tanam dan tatacara pengobatan yang semuanya berdasarkan kepercayaan kepada roh baik dan roh jahat.

Selain itu, para abangan juga sering mempercayai benda-benda tertentu seperti keris, yang menurut kepercayaan mereka, keris memiliki kesaktian yang dapat dipindahkan kepada seseorang yang memegangnya atau memakainya, bahkan ada keris yang bertuah.

Jika demikian pola upacara abangan, maka pola upacara santri diatur sepanjang waktu oleh shalat lima waktu yang dapat dilakukan di rumah, di langgar (mushalla), atau masjid.

Para abangan hampir tidak pernah menjalankan shalat lima waktu dan shalat Jum’at. Dengan kata lain, kebiasaan menjalankan shalat wajib membedakan seorang muslim yang saleh maupun golongan yang patuh pada syariat Islam.

Mochamad Ari Irawan