Gerakan Wahabisme yang Tertolak dan Corak Islam di Indonesia

Gerakan Wahabisme dan Corak Islam di Indonesia

Pecihitam.org – Dalam tiga dekade belakangan ini, salah satu gejala Islam yang paling menonjol adalah munculnya kelompok-kelompok yang menginginkan kaum Muslim di Indonesia menganut atau mengamalkan ajaran Islam yang murni. Kalau kita bicara tentang Islam yang murni, paling tidak kita bisa mengenal salah satu gerakan yang selama ini muncul di permukaan seperti aliran Wahabisme atau Salafi.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Menurut para menganutnya, Islam ala Wahabi ini merupakan corak Islam sebagaimana yang dulu diamalkan olah para salafush sholeh, yakni orang-orang dari generasi paling dekat dengan Nabi. Gagasan pokok kaum Wahabisme ini mengandaikan bahwa Islam yang baik adalah Islam yang dipraktikkan oleh para sahabat, ini dianggap Islam yang masih murni dan belum tercampur dengan tradisi lokal. Artinya mereka mengklaim telah mengamalkan bentuk keislaman yang masih original dan belum bermadzhab.

Di masa sahabat dulu, kita memang belum mengenal satu pun aliran-aliran dalam Islam, belum ada mazhab fikih, yang konteks Islamnya juga masih terbatas di wilayah Makah dan Madinah. Islam di masa itu boleh dibilang belum berinteraksi dengan banyak hal, dalam pengertian belum teruji dengan kehadiran budaya-budaya yang lebih kompleks.

Tapi spektrum kaum Salafi ini sebenarnya juga sangat beragam, mulai dari salafi yang moderat, sampai dengan yang ekstrem. Wahabi yang muncul di Saudi Arabi pada abad ke-18 M, yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, juga termasuk aliran Islam yang memperjuangkan aspirasi agamanya dengan cara-cara yang ekstrem. Aspirasi keagamaan mereka didukung penuh oleh kekuasaan politik dan pemerintahan, sehingga mereka mempunyai kekuatan militer untuk memperluas jaringan kekuasaan di bidang politik dan agama.

Baca Juga:  Ibadah Kurban dan Solidaritas Kemanusiaan

Kala itu, koalisi antara Muhammad bin Abdul Wahab dan penguasa politik Muhammad Saud, mampu menguasai Makah dan Madinah, hingga mereka menghapus total praktik-praktik keagamaan yang mengarah pada syirik dan ritual-ritual keagamaan yang berlebih-lebihan. ini semua dilakukan dalam rangka pemurnian ajaran Islam yang tujuannya adalah menghindari bid’ah-bid’ah.

Dalam tiga puluh tahun terakhir, aksi dawah mereka di Indonesia memang cukup masif, bahkan sekarang mereka memiliki cukup kekuatan untuk menyampaikan misi dakwanya di berbagai lini. Seperti melalui media online, majalah, dan youtube, yang sejauh ini memang menunjukkan sedikit kesuksesan ketimbang cara-cara dakwah dua puluh tahun yang lalu.

Hemat saya, gerakan Wahabisme ini belum bisa dikatakan sepenuhnya sukses, bahkan cenderung gagal. Ada beberapa alasan mengapa banyak orang Indonesia tidak begitu tertarik dengan paham Wahabiah;

Alasan pertama, Islam versi Wahabisme ini boleh dibilang model Islam yang masih primitif dan sederhana, padahal umat Islam di Indonesia lebih suka mengamalkan Islam yang canggih dengan berbagai kreativitas tanpa meninggalkan yang pokok. Misalnya, orang Indonesia suka ziarah kubur, padahal orang Wahabi tidak suka dengan praktik-praktik semacam ini. Menurut mereka, ziarah kubur ini menjurus pada perbuatan musyrik, begitu juga dengan tahlilan, yasinan, maulidan, dan lain sebagainya. Jadi kehadiran Wahabi sebetulnya memang tidak cocok dengan model keberislaman orang Indonesia.

Baca Juga:  Masifnya Gerakan Salafi di Kampus, Mahasiswa dan Media Sosial

Praktik-praktik Islam lokal memang agak aneh, kalau mau disebut bid’ah memang iya, tetapi ini model bid’ah yang hasanah (baik), bukan sesuatu yang menyimpang dari ajaran-ajaran pokok dalam Islam. Saya kira, kita juga tak bisa terlalu simplistis, dengan mengatakan bahwa Islam di Indonesia ini model Islam yang tidak murni.

Alasan kedua, penolakan orang-orang Indonesia terhadap Wahabi ini juga terkait dengan kenyataan bahwa praktik keberislaman Wahabi cenderung ahistoris atau anti sejarah. Misalnya kalau kita pergi ke Makah, banyak bangunan-bangunan kuno dihancurkan, mereka tidak menghargai warisan masa lalu berupa bangunan-bangunan bersejarah, bahkan hampir tidak ada monumen penting yang masih eksis hingga saat ini. Fakta ini membuat orang Indonesia merasa tidak cocok dengan model keislaman mereka. Sebab, orang Indonesia sangat sadar dengan sejarah.

Alasan yang terakhir, seringkali orang Wahabi ini muncul dengan pemahaman keagamaan yang sangat literal, tekstual, atau harfiah. Hingga ini membuat cara berpakaian mereka juga sangat aneh, mulai dari celana, baju, sampai model makan pun dianggap meniru ala Nabi. Model-model semacam ini agaknya kurang cocok dengan corak Islamnya orang-orang Indonesia. Di sisi lain, bila dilihat dalam konteks kekinian, model Wahabi ini juga sudah tidak relevan dan menuai banyak kontradiksi-kontradiksi.

Baca Juga:  Pancasila Memang Bukan Wahyu Ilahi, Namun Ia Fikrul Islami

Salah satu kelemahan pokok Wahabi adalah mereka keliru dalam persepsi dan konsepsi tentang kehidupan Nabi Muhammad dan para sahabat. Inilah saya kira yang menjadi keberatan kaum Muslim Indonesia untuk bisa mengadopsi dan menerima ajaran-ajaran Wahabi. Sebab, tokoh-tokoh Wahabi di negeri ini umumnya belajar Islam di Saudi Arabia, sementara dalam perekrutan, mereka biasanya menjaring orang-orang awam, kalangan terdidik yang minim pengetahuan agama, juga para artis yang pemahaman agamanya nol persen. Sehingga orang-orang yang sejak semula dididik di madrasah, sekolah Islam, dan pesantren, sangat sulit menerima ajaran-ajaran Wahabi.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada banyak Muslim Indonesia yang mengikuti faham Wahabisme, seperti beberapa tahun terakhir yang mulai terlihat dipermukaan dengan adanya ceramah-ceramah di channel youtube, televisi, media online, dan dakwah via offline. Tapi bila dibanding dengan mayoritas penganut Ahlusunnah wal Jama’ah, jumlah mereka sangatlah terbatas dan di masa yang akan datang mereka juga tidak akan pernah populer sebagai penganut Islam Wahabi secara mayoritas.

Rohmatul Izad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *