Surah Al-Hajj Ayat 28-29; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah Al-Hajj Ayat 28-29

Pecihitam.org – Kandungan Surah Al-Hajj Ayat 28-29 ini, menerangkan tujuan disyariatkan ibadah haji, yaitu untuk memperoleh kemanfaatan. Tidak disebutkan dalam ayat ini bentuk-bentuk manfaat itu, hanya disebut secara umum saja. Penyebutan secara umum kemanfaatan-kemanfaatan yang akan diperoleh orang yang mengerjakan ibadah haji dalam ayat ini, menunjukkan banyaknya macam dan jenis kemanfaatan yang akan diperoleh itu.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Kemanfaatan-kemanfaatan itu sukar menerangkannya secara terperinci, hanya yang dapat menerangkan dan merasakannya ialah orang yang pernah mengerjakan ibadah haji dan melaksanakannya dengan niat ikhlas.

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Hajj Ayat 28-29

Surah Al-Hajj Ayat 28
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

Terjemahan: supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.

Tafsir Jalalain: لِيَشْهَدُوا (Supaya mereka mempersaksikan) yakni mendatangi مَنَافِعَ لَهُمْ (berbagai manfaat untuk mereka) dalam urusan dunia mereka melalui berdagang, atau urusan akhirat atau untuk keduanya. Sehubungan dengan masalah ini ada berbagai pendapat mengenainya,

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ (dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan) yakni tanggal sepuluh Zulhijah, atau hari Arafah, atau hari berkurban hingga akhir hari-hari Tasyriq; mengenai masalah ini pun ada beberapa pendapat عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ (atas rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa binatang ternak) unta, sapi dan kambing yang disembelih pada hari raya kurban dan ternak-ternak yang disembelih sesudahnya sebagai kurban.

فَكُلُوا مِنْهَا (Maka makanlah sebagian daripadanya) jika kalian menyukainya وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ (dan berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir) yakni sangat miskin.

Tafsir Ibnu Katsir: Ibnu ‘Abbas berkata: wa liyasy-Haduu manaafi’a laHum (“Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka,”) yaitu berbagai manfaat dunia dan akhirat. Adapun berbagai manfaat akhirat adalah keridhaan Allah Ta’ala, sedangkan manfaat dunia adalah apa saja yang mereka dapatkan berupa (manfaat) binatang, penyembelihan dan perdagangan.

Demikian pula Mujahid dan selain mereka berkata: “Yaitu berbagai manfaat dunia dan akhirat, seperti firman-Nya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Rabbmu.” (QS. Al-Baqarah: 198).

Syu’bah dan Husyaim berkata dari Abu Basyar, dari Sa’id, dari Ibnu’Abbas: “Hari-hari itu adalah 10 hari Dzulhijjah.” (Dita’liq oleh al-Bukhari dengan sighat jazam) Itulah madzhab asy-Syafi’i dan pendapat masyhur dari Imam Ahmad bin Hanbal.

Al-Bukhari meriwayatkan: Dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi saw, beliau bersabda: “Tidak ada suatu amal pada hari-hari tersebut yang lebih utama dari hari ini.” Mereka bertanya: “Tidak juga jihad fii sabiilillaah?” Beliau menjawab:

“Tidak juga jihad fii sabiilillaah, kecuali seseorang yang keluar mengorbankan jiwa dan hartanya dan tidak ada lagi yang kembali sedikit pun.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. At-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan gharib shahih.”)

Imam Ahmad meriwayatkan dari jabir secara marfu’ bahwa ini (hari yang dimaksud) adalah tanggal 10 yang disumpah oleh Allah dalam firman-Nya, “Demi fajar, dan malam yang sepuluh. ” (QS. Al-Fajr:1-2). Sebagian ulama Salaf mengatakan bahwa itulah yang dimaksud dengan firman-Nya, “Dan Kami sempurnakan jumlah malam itudengan sepuluh.” (QS. Al-A’raaf: 142)

Di dalam Sunan Abi Dawud disebutkan bahwa Rasulullah saw berpuasa pada tanggal 10 tersebut. Tanggal 10 tersebut meliputi hari ‘Arafah yang terdapat di dalam Shahih Muslim bahwa Abu Qatadah berkata: Rasulullah saw. ditanya tentang puasa hari ‘Arafah.

Beliau menjawab: “Aku berharap kepada Allah bahwa puasa (‘Arafah) itu menghapuskan dosa tahun yang lalu dan yang akan datang.” Serta mencakup pula hari haji yang disebut sebagai hari Haji Akbar.” Terdapat sebuah hadits yang menunjukkan bahwa hari itu adalah hari yang paling utama di sisi Allah.

(Pendapat kedua; tentang hari-hari tertentu) Al-Hakam berkata dari Miqsam, dari Ibnu ‘Abbas, hari-hari tertentu itu adalah hari penyembelihan dan tiga hari sesudahnya.

(Pendapat ketiga) Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Ibnu ‘Umar ra. berkata: “Hari-hari tertentu dan terbatas itu adalah empat hari. Maka, hari-hari tertentu itu adalah hari penyembelihan dan dua hari setelahnya. Sedangkan hari-hari terbatas itu adalah tiga hari setelah hari penyembelihan.” (Isnad ini shahih).

As-Suddi berkata, inilah madzhab Imam Malik bin Anas. Pendapat ini dan yang sebelumnya diperkuat firman Allah Ta’ala: عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ (“Atas rizki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak”) yaitu menyebut nama Allah ketika menyembelihnya.

(Pendapat keempat) Hari-hari itu adalah hari ‘Arafah, hari raya penyembelihan dan hari-hari sesudahnya. Itulah madzhab Abu Hanifah. Firman-Nya: عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ (“Atas rizki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak”) yaitu unta, sapi dan kambing, sebagaimanadirinci oleh Allah swt. dalam surat al-An’aam: “Delapan binatangyang berpasangan. ” (QS. Al-An’ aam: 143)

Firman-Nya: فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ (“Maka makanlah sebagian daripadanya dan berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir,”) ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang berpendapat wajibnya memakan binatang udh-hiyyah (kurban hari raya), dan ini pendapat yang asing.

Pendapat yang dipegang oleh kebanyakan ulama adalah, bahwa masalah itu adalah masalah rukhshah (keringanan) atau anjuran. Sebagaimana yang tercantum (dalam hadits) bahwa Rasulullah ketika menyembelih binatangnya, beliau memerintah setiap binatang itu satu bagian untuk dimasak, lalu beliau makan dagingnya dan mencicipi kuahnya.

Baca Juga:  Surah Al-A'raf Ayat 186; Seri Tadabbur Al-Qur'an

‘Abdullah bin Wahb berkata, Malik berkata kepadaku: “Aku senang dia memakan binatang kurbannya, karena Allah berfirman: fakuluu minHaa (“makanlah sebagian daripadanya.”) Ibnu Wahb berkata: “Aku bertanya kepada al-Laits, maka dia menjawab seperti itu pula.”

Sufyan berkata dari Manshur, dari Ibrahim, fakuluu minHaa (“Maka makanlah sebagian daripadanya,”) “Dahulu, orang-orang musyrik tidak memakan sembelihan-sembelihan mereka, lalu diringankan bagi kaum muslimin. Barang-siapa yang mau, dia dapat memakannya dan jika ia tidak mau, dia tidak harus memakannya.”

Firman-Nya: الْبَائِسَ الْفَقِيرَ (“Orang-orang yang sengsara lagi fakir.”) ‘Ikrimah berkata: “Yaitu orang-orang yang terpaksa, yang tampak begitu sengsara, serta orang fakir yang menjaga dirinya untuk tidak meminta-minta,”

Tafsir Kemenag: Ayat ini menerangkan tujuan disyariatkan ibadah haji, yaitu untuk memperoleh kemanfaatan. Tidak disebutkan dalam ayat ini bentuk-bentuk manfaat itu, hanya disebut secara umum saja. Penyebutan secara umum kemanfaatan-kemanfaatan yang akan diperoleh orang yang mengerjakan ibadah haji dalam ayat ini, menunjukkan banyaknya macam dan jenis kemanfaatan yang akan diperoleh itu.

Kemanfaatan-kemanfaatan itu sukar menerangkannya secara terperinci, hanya yang dapat menerangkan dan merasakannya ialah orang yang pernah mengerjakan ibadah haji dan melaksanakannya dengan niat ikhlas.

Kemanfaatan itu ada yang berhubungan dengan rohani dan ada pula dengan jasmani, dan ada yang langsung dirasakan oleh individu yang melaksanakannya, dan ada pula yang dirasakan oleh masyarakat, baik yang berhubungan dengan dunia maupun yang berhubungan dengan akhirat.

Para ulama banyak yang mencoba mengungkap bentuk-bentuk manfaat yang mungkin diperoleh oleh para jamaah haji, setelah mereka mengalami dan mempelajarinya kebanyakan mereka itu menyatakan bahwa mereka belum sanggup mengungkap semua manfaat itu. Di antara manfaat yang diungkapkan itu ialah:

  1. Melatih diri dengan mempergunakan seluruh kemampuan mengingat Allah dengan khusyu’ pada hari-hari yang telah ditentukan dengan memurnikan kepatuhan dan ketundukan hanya kepada-Nya saja. Pada waktu seseorang berusaha mengedalikan hawa nafsunya dengan mengikuti perintah-perintah Allah dan menjuahi larangan-larangan-Nya walau apapun yang menghalangi dan merintanginya.

Latihan-latihan yang dikerjakan selama mengerjakan ibadah haji itu diharapkan membekas di dalam sanubari kemudian dapat diulangi lagi mengerjakannya setelah kembali dari tanah suci, sehingga menjadi kebiasaan yang baik dalam penghidupan dan kehidupan.

  1. Menimbulkan rasa perdamaian dan rasa persaudaraan di antara sesama kaum Muslimin. Sejak seorang calon haji mengenakan pakaian ihram, pakaian yang putih yang tidak berjahit, sebagai tanda ia sedang mengerjakan ibadah haji, maka sejak itu ia telah menanggalkan pakaian duniawi, pakaian kesukaannya, pakaian kebesaran, pakaian kemewahan dan sebagainya.

Semua manusia kelihatan sama dalam pakaian ihram itu; tidak dapat dibedakan antara si kaya dengan si miskin, antara penguasa dengan rakyat jelata, antara yang pandai dengan yang bodoh, antara tuan dengan budak, semuanya sama tunduk dan menghambakan diri kepada Tuhan semesta alam, sama-sama tawaf, sama-sama berlari antara bukit Safa dan bukit Marwa, sama-sama berdesakan melempar Jamrah, sama-sama tunduk dan tafakkur di tengah-tengah padang Arafah.

Dalam keadaan demikian akan terasa bahwa diri kita sama saja dengan orang yang lain. Yang membedakan derajat antara seorang dengan yang lain hanyalah tingkat ketakwaan dan ketaatan kepada Allah. Karena itu timbullah rasa ingin tolong menolong, rasa seagama, rasa senasib dan sepenanggungan, rasa hormat menghormati sesama manusia.

  1. Mencoba membayangkan kehidupan di akhirat nanti, yang pada waktu itu tidak seorang pun yang dapat memberikan pertolongan kecuali Allah, Tuhan Yang Mahakuasa. Wukuf di Arafah ditempat berkumpulnya manusia yang banyak pada hari Arafah, merupakan gambaran kehidupan di Padang Mahsyar nanti. Semua itu menggambarkan saat-saat ketika manusia berdiri di hadapan Mahkamah Allah di akhirat.
  2. Menghilangkan rasa harga diri yang berlebih-lebihan. Seseorang waktu berada di negerinya, biasanya terikat oleh adat istiadat yang biasa mereka lakukan sehari-hari dalam pergaulan mereka. Sedikit saja perubahan dapat menimbulkan kesalahpahaman, perselisihan dan pertentangan. Pada waktu melaksanakan ibadah haji, bertemulah kaum Muslimin yang datang dari segala penjuru dunia,

dari negeri yang berbeda-beda, masing-masing mempunyai adat istiadat dan kebiasaan hidup dan tata cara yang berbeda-beda pula maka terjadilah persinggungan antara adat istiadat dan kebiasaan hidup itu. Seperti cara berbicara, cara makan, cara berpakaian, cara menghormati tamu dan sebagainya.

Di waktu menunaikan ibadah haji terjadi persinggungan dan perbenturan badan antara jama’ah dari suatu negeri, dengan jama’ah dari negara yang lain, seperti waktu tawaf, waktu sa’i, waktu wukuf di Arafah, waktu melempar jumrah dan sebagainya.

Waktu salat di Masjidil Haram, tubuh seorang yang duduk dilangkahi oleh temannya yang lain karena ingin mendapatkan saf yang paling depan, demikian pula persoalan bahasa dan isyarat, semua itu mudah menimbulkan kesalahpahaman dan perselisihan.

Bagi seorang yang sedang melakukan ibadah haji, semuanya itu harus dihadapi dengan sabar, dengan dada yang lapang, harus dihadapi dengan berpangkal kepada dugaan bahwa semua jamaah haji itu melakukan yang demikian itu bukanlah untuk menyakiti temannya dan bukan untuk menyinggung perasaan orang lain, tetapi semata-mata untuk mencapai tujuan maksimal dari ibadah haji. Mereka semua ingin memperoleh haji mabrur, apakah ia seorang kaya atau seorang miskin dan sebagainya.

  1. Menghayati kehidupan dan perjuangan Nabi Ibrahim beserta putranya Nabi Ismail dan Nabi Muhammad beserta para sahabatnya. Waktu Ibrahim pertama kali datang di Mekah bersama istrinya Hajar dan putranya Ismail yang masih kecil, kota Mekah masih merupakan padang pasir yang belum didiami oleh seorang manusia pun. Dalam keadaan demikianlah Ibrahim meninggalkan istri dan putranya di sana, sedang ia kembali ke Palestina.
Baca Juga:  Surah Al-Hajj Ayat 26-27; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Hajar dan putranya yang masih kecil merasakan berbagai penderitaan, tidak ada tempat mengadu dan minta tolong kecuali hanya kepada Tuhan saja. Sesayup-sayup mata memandang, yang ada hanyalah gunung batu, tanpa tumbuh-tumbuhan yang dapat dijadikan tempat berlindung. Dapat dirasakan kesusahan Hajar berlari antara Safa dan Marwa mencari setetes air untuk diminum anaknya.

Dapat direnungkan dan dijadikan teladan tentang ketaatan dan kepatuhan Ibrahim kepada Allah. Setelah itu beliau menyembelih putra tercintanya, Ismail, sebagai kurban, semata-mata untuk memenuhi dan melaksanakan perintah Allah.

Kaum Muslimin selama mengerjakan ibadah haji dapat melihat bekas-bekas dan tempat-tempat yang ada hubungannya dengan perjuangan Nabi Muhammad beserta sahabatnya dalam menegakkan agama Allah.

Sejak dari Mekah di saat beliau mendapat halangan, rintangan bahkan siksaan dari orang-orang musyrik Mekah, kemudian beliau hijrah ke Medinah, berjalan kaki, dalam keadaan dikejar-kejar orang-orang kafir.

Demikianlah pula usaha-usaha yang beliau lakukan di Medinah, berperang dengan orang kafir, menghadapi kelicikan dan fitnah orang munafik dan Yahudi. Semuanya itu dapat diingat dan dihayati selama menunaikan ibadah haji dan diharapkan dapat menambah iman ketakwaan kepada Allah Yang Mahakuasa, Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

  1. Setiap Muktamar Islam seluruh dunia. Pada musim haji berdatanganlah kaum Muslimin dari seluruh dunia. Secara tidak langsung terjadilah pertemuan antara sesama Muslim, antara suku bangsa dengan suku bangsa dan antara bangsa dengan bangsa yang beraneka ragam coraknya itu. Antara mereka itu dapat berbincang dan bertukar pengalaman dengan yang lain, sehingga pengalaman dan pikiran seseorang dapat diambil dan dimanfaatkan oleh yang lain, terutama setelah masing-masing mereka sampai di negeri mereka nanti.

Jika pertemuan yang seperti ini diorganisir dengan baik, tentulah akan besar manfaatnya, akan dapat memecahkan masalah-maslaah yang sulit yang dihadapi oleh umat Islam di negara mereka masing-masing. Semuanya itu akan berfaedah pula bagi individu, masyarakat dan agama. Alangkah baiknya jika pada waktu itu diadakan pertemuan antara kepala negara yang menunaikan ibadah haji, pertemuan para ahli, para ulama, para pemuka masyarakat, para usahawan dan sebagainya.

Walaupun amat banyak manfaat yang akan diperoleh oleh orang yang mengerjakan ibadah haji, tetapi hanyalah Allah yang dapat mengetahui dengan pasti semua manfaat itu. Dari pengalaman orang-orang yang pernah mengerjakan haji didapat keterangan bahwa keinginan mereka menunaikan ibadah haji bertambah setelah mereka selesai menunaikan ibadah haji yang pertama.

Makin sering seseorang menunaikan ibadah haji, makin bertambah pula keinginan tersebut. Rahasia dan manfaat dari ibadah haji itu dapat dipahamkan pula dari doa Nabi Ibrahim kepada Allah, sebagaimana yang tersebut dalam firman-Nya: Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka. (Ibrahim/14: 37)

Manfaat lain dari ibadah haji, yaitu agar manusia menyebut nama Allah pada hari-hari yang ditentukan dan melaksanakan kurban dengan menyembelih binatang kurban atau hadyu (dam) bagi jamaah haji yang melanggar kewajiban haji.

Adapun pelaksanaannya yaitu sesudah melempar jamrah ‘aqabah dan hanya dilaksanakan di tanah Haram Mekah. Sedangkan daging hadyu (dam) hanya diperuntukan bagi fakir miskin Mekah, kecuali jika sudah tidak ada fakir miskin di kota Mekah, maka daging tersebut boleh diberikan kepada orang miskin di kota/negara lain.

Yang dimaksud dengan hari-hari yang ditentukan ialah hari raya haji dan hari-hari tasyriq, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah. Pada hari-hari ini dilakukan penyembelihan binatang kurban. Waktu menyembelih binatang kurban ialah setelah pelaksanaan salat Idul Adha sampai dengan terbenamnya matahari tanggal 13 Zulhijjah. Rasulullah saw bersabda:

Siapa yang menyembelih kurban sebelum salat Idul Adha maka sesungguhnya ia hanyalah menyembelih untuk dirinya sendiri dan siapa yang menyembelih sesudah salat Idul Adha (dan setelah membaca dua Khutbah) maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan ibadahnya dan telah melaksanakan sunnah kaum Muslimin. (Riwayat al-Bukhari dari al-Barra)

Dan sabda Rasulullah saw: “Semua hari-hari tasyriq adalah waktu dilakukannya penyembelihan kurban.” (Riwayat Ahmad dari Jubair bin Muth’im)

Setelah binatang kurban itu disembelih, maka dagingnya boleh dimakan oleh yang berkurban dan sebagiannya disedekahkan kepada orang-orang fakir dan miskin. Menurut jumhur ulama, sebaiknya orang-orang yang berkurban memakan daging kurban sebagian kecil saja, sedang sebagian besarnya disedekahkan kepada fakir miskin. Orang yang berkurban dibolehkan untuk menyedekahkan seluruh daging kurbannya itu kepada fakir miskin.

Tafsir Quraish Shihab: Itu semua agar mereka mendapatkan keuntungan ukhrawi dari pelaksanaan ibadah haji dan keuntungan duniawi dengan saling berkenalan antara teman-teman seagama mereka dan membicarakan urusan-urusan dunia dan akhirat yang bermanfaat bagi mereka.

Juga agar mereka menyebut asma Allah saat menyembelih unta, sapi atau kambing–tergantung kemampuan–pada hari raya kurban atau salah satu dari tiga hari tasyrik berikutnya. Makanlah setelah itu sekehendak hati kalian, dan berikanlah kepada siapa saja yang sedang menderita kesusahan dan kefakiran.

Surah Al-Hajj Ayat 29
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

Terjemahan: Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).

Baca Juga:  Surah Al-Hajj Ayat 63-66; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Tafsir Jalalain: ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ (Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka) maksudnya hendaklah mereka merapihkan ketidakrapihan diri mereka seperti memotong rambut dan kuku yang panjang,

وَلْيُوفُوا (dan hendaklah mereka menunaikan) dapat dibaca Walyuufuu dan Walyuwaffuu نُذُورَهُمْ (nazar-nazar mereka) dengan menyembelih hewan ternak sebagai hewan kurban وَلْيَطَّوَّفُوا (dan hendaklah mereka melakukan tawaf) tawaf ifadah بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ (sekeliling rumah yang tua itu) yakni rumah kuno, karena ia adalah rumah pertama yang dibuat untuk ibadah manusia.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman-Nya: ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ (“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka.”) ‘Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu ‘Abbas: “Yaitu, membersihkan ihram dari mencukur rambut, memakai baju dan menggunting kuku dan yang sejenis dengan itu.” Mujahid dan ‘Atha’ meriwayatkannya juga. Demikian pula yang dikatakan oleh ‘Ikrimah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi.

Firman-Nya: وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ (“Dan hendaklah menyempurnakan nadzar-nadzar mereka.”) Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu ‘Abbas: “Yaitu, menyembelih binatang yang dinadzarkan.” Ibnu Abi Najih berkata dari Mujahid: “Yaitu, nadzar haji dan memotong hewan serta apa saja yang dinadzarkan manusia di saat haji. Al-Laits bin Abi Sulaim berkata dari Mujahid: “Dan hendaklah menyempurnakan nadzar-nadzar mereka,” yaitu setiap nadzar hingga batas tertentu.

Imam Ahmad dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, telah bercerita kepada kami Ubay, bercerita kepadaku Ibnu Abi ‘Umar dari Sufyan tentang firman-Nya, “Dan hendaklah menyempurnakan nadzar-nadzar mereka,” ia berkata: “Yaitu nadzar-nadzar haji. Setiap orang yang masuk melakukan haji, maka wajiblah dia melakukan thawaf di Baitullah, thawaf diantara Shafa dan Marwa (sa’i), wukuf di ‘Arafah, bermalam di Muzdalifah dan melempar jumrah sesuai yang diperintahkan kepada mereka.”

Pendapat yang serupa diriwayatkan dari Malik. Firman-Nya: وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ (“Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu [Baitullah],”) Mujahid berkata: “Yaitu, thawaf wajib padahari raya penyembelihan.”

Di dalam ash-Shahihain, bahwa Ibnu ‘Abbas berkata: “Manusia diperintahkan untuk menjadikan akhir perjanjian mereka (dalam meninggalkan Makkah) adalah thawaf di Baitullah, kecuali diringankan bagi wanita yang haidh.”

Firman-Nya: بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ (“Rumah yang tua itu,”) ini menjadi dalil bagi orang yang berpendapat bahwasanya wajib thawaf dari belakang Hijir Isma’il, karena tempat itu adalah asal Baitullah yang dibangun oleh Ibrahim, sekalipun orang Quraisy telah mengeluarkannya dari Baitullah, ketika pembiayaan mereka berkurang.

Untuk itu, Rasulullah melakukan thawaf daribelakang Hijir Isma’il dan Dia mengabarkan bahwa Hijir itu bagian dari Baitullah dan tidak istilam (menyentuh) dua rukun Syam (sudut-sudut Ka’bah yang menghadap Syam), karena keduanya tidak sempurna atas pondasi pertama Ibrahim.

Untuk itu, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, bahwa Ibnu ‘Abbas ber-kata: “Tatkala ayat ini turun: wal yath-thawwafuu bil baitil ‘atiiq (“Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu [Baitullah],”) Rasulullah i thawaf dibelakangnya.”

Qatada berkata dari al-Hasan al-Bashri tentang firman-Nya: وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ (“Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu [Baitullah],”) ia berkata: “Karena Baitullah adalah rumah pertama yang diletakkan bagi manusia.”

Abdullah bin az-Zubair berkata, Rasulullah bersabda: “Baitullah dinamakan Baitul ‘Atiq, karena tidak ada satu raja dhalim pun yang menguasainya.” (Demikian yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dan at-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan gharib.”)

Tafsir Kemenag: Ayat ini menerangkan bahwa setelah orang yang mengerjakan ibadah haji selesai mnyembelih binatang kurbannya, hendaklah mereka melakukan tiga hal:

  1. Menghilangkan dengki atau kotoran yang ada pada diri mereka, yaitu dengan menggunting kumis, menggunting rambut, memotong kuku dan sebagainya. Hal ini diperintahkan karena perbuatan-perbuatan itu dilarang melakukannya selama mengerjakan ibadah haji.
  2. Melaksanakan nazar yang pernah diikrarkan, karena pada waktu, tempat dan keadaan inilah yang paling baik untuk menyempurnakan nazar.
  3. Melakukan tawaf di Ka’bah. Yang dimaksud dengan tawaf adalah mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali. Tawaf ada tiga macam, yaitu:

a. Tawaf qudum, yaitu tawaf yang dilakukan ketika pertama kali memasuki/datang di Mekah.

b. Tawaf Wada’ yaitu tawaf yang dilakukan ketika akan meninggalkan Mekah setelah selesai melaksanakan ibadah haji.

c. Tawaf Ifadhah yaitu tawaf yang dilakukan dalam rangka melaksanakan rukun haji.

Dalam ayat ini Baitullah disebut Baitul ‘Atiq, yang berarti “rumah tua” karena Baitullah adalah rumah ibadah pertama kali didirikan oleh Nabi Ibrahim as beserta putranya Nabi Ismail as kemudian barulah didirikan Baitul Maqdis Palestina oleh Nabi Daud as beserta Nabi Sulaiman as.

Tafsir Quraish Shihab: Setelah itu mereka harus menghilangkan kotoran yang melekat di badan akibat perjalanan jauh dan pengaruh keringat pada saat berihram, membayar nazar atas nama Allah apabila mereka memang bernazar, dan melakukan tawaf di sekeliling rumah ibadah yang pertama-tama dibangun di muka bumi.

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Al-Hajj Ayat 28-29 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S