Argumentasi Pembentukan Hukum dengan Ta’lil pada Sifat Dhahir yang Terstandari

Argumentasi Pembentukan Hukum dengan Ta’lil pada Sifat Dhahir yang Terstandari

Pecihitam.org- Berbeda dengan ta’lil pada hikmah, Mayoritas ulama sepakat menetapkan bolehnya ta’lil pada sifat dhahir yang terstandari menjadi alasan pembentukan sebuah hukum.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Mereka menyatakan bahwa pada dasarnya hukum yang disyari’atkan Allah bersifat implisit yang didalamnya pasti mengandung kemashlahatan yang mengusung hikmah baik itu menolak mudharat maupun menarik manfaat bagi kehidupan manusia.

Di antara mereka adalah ulama Syafi’iyah, Ibnu Hajib, Imam Syaukani. Dalam ta’lil pada sifat dhahir yang menjadi alasan pensyari’atan hukum, para ulama berbeda pendapat. Melihat dari syarat illat, maka sifat dhahir yang dimaksud adalah illat.

Namun tidak sedikit ulama juga yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sifat dhahir adalah sebab. Untuk lebih memahami pembahasan ini maka perlu kiranya kita mengetahui dahulu hal-hal yang berkaitan dengan illat dan sebab.

Secara etimologis kata illat adalah bentuk mashdar yang berasal dari akar kata عل- يعل- علة atau اعتل yang mempunyai dua arti, terkadang digunakan untuk makna penyakit, terkadang digunakan untuk arti sebab dari sesuatu.

Sedangkan, secara terminologis ditemukan sejumlah definisi atau pengertian tentang illat yang dikemukakan oleh ulama ushul. Imam Ghazali sebagaimana dijelaskan oleh as-Subki juga mendefinisikan illat sebagai sesuatu yang mempengaruhi lahirnya ketetapan hukum dengan penetapan Allah.

Istilah ini juga menurut as-Subki adalah istilah yang digunakan oleh kalangan Mu’tazilah, namun Mu’tazilah menilai bahwa illat adalah sesuatu yang mempengaruhi lahirnya ketetapan hukum dengan dirinya sendiri bukan dengan penetapan Allah.

Ibn Subki sendiri mendefinisikan illat hukum dengan sesuatu yang memberitahu atau menjadi tanda bagi adanya ketetapan hukum. Sementara Imam al-Amidy mendefinisikan illat sebagai sesuatu yang menjadi motivasi atas adanya hukum.

Baca Juga:  Menyegerakan Berbuka Puasa dengan Melakukan Jima', Apakah Mendapatkan Kesunnahan?

Pengertian al-Amidy ini sebagaimana diungkapkan Mushthafa Syalabi dalam kitabnya Ta’lil al-Ahkam juga sejalan dengan Ibnu Hajib dalam mendefinisikan illat sebagai suatu motif atau pendorong dan sesuatu yang menuntut adanya pensyari’atan hukum yaitu menciptakan mashlahah dan menolak mudharat dalam kehidupan manusia.

Dari kesemua sebutan atau nama bagi illat ini sekalipun memiliki redaksi yang berbeda, namun secara subtansi menuju pada satu pandangan bahwa tidak ada suatu ketetapan hukum yang tidak didasari pada illat.

Artinya suatu ketetapan hukum yang disyari’atkan tentu terdapat sesuatu yang mendorong, mempengaruhi, dan memunculkannya yaitu apa yang disebut illat.

Sebab, jika tidak demikian, tentu hukum tidak disyari’atkan. Istilah illat yang telah dikemukakan di atas merupakan redaksi yang banyak ditemukan dalam redaksi kitab Ushul Fiqh yang lahir pada masa klasik dan pertengahan.

Namun demikian, apa yang dirumuskan para ulama ushul pada periode ini masih merupakan kerangka dasar yang mempunyai nilai dan pengaruh yang amat penting dalam pengembangan dan aplikasi dalam pendefinisian illat pada masa berikutnya.

Pendefinisian illat pada masa klasik belum menggambarkan sebuah teori yang komprehensif dan menyeluruh. Sifatnya baru memberikan konsep-konsep dasar yang selanjutnya pengembangannya terlihat dalam pemikiran ushul fiqh kontemporer pada masa berikutnya.

Dalam pemikiran Ushul Fiqh kontemporer (periode modern) illat didefinisikan sebagai suatu teori yang jelas dan tegas atau sebagai sesuatu yang berisi hikmah-hikmah dan kemashlahatan.

Kebanyakan ulama mendefinisikan illat sebagai suatu sifat yang jelas (dzahir) yang terstandari (mundhabith) yang relevan (munasib) dengan (dasar) penetapan hukum”.

Baca Juga:  Perbedaan Hukum Bekerja di Asuransi Menurut Islam

Sebagian ulama ada yang menambahkan pengertian tersebut dengan sesuatu yang jelas yang dijadikan oleh Syari‘ sebagai tambatan hukum yang tujuannya adalah untuk merealisasikan hikmah yang terkandung dalam ketetapan hukum tersebut”.

Seperti contoh dengan kebolehan meng-qashar shalat bagi musafir. Adanya ketetapan hukum tentang bolehnya meng-qashar shalat bagi musafir illat-nya adalah safar (bepergian) itu sendiri. Karena inilah yang tampak dengan jelas (zhahir) dan terstandari sebagai dasar tambatan hukum.

Sebab, jika tidak bepergian, maka tidak boleh meng-qashar shalat. Di sini, memang menimbulkan pertanyaan, yaitu kenapa safar (bepergian) yang dijadikan illat bukan masyaqqat?

Menurut Khallaf, bahwa adanya qashar shalat hukumnya adalah memberikan keringanan dan menghilangkan kesulitan bagi musafir, sementara kesulitan itu sendiri sesuatu yang tidak pasti dan tidak mungkin dijadikan sebagai alasan penetapan hukum.

Oleh karena itu, safar lebih tepat dijadikan sebagai illat bolehnya mengqashar shalat dan diakui bahwa memang dalam safar itu ada kesulitan.

Namun ada pula ulama yang mendefinisikan illat sebagai hikmah penetapan suatu hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh asy-Syatibi. Menurutnya illat adalah hikmah-hikmah dan kemaslahatan yang berkaitan dengan perintah atau pembolehan, atau illat adalah kerusakan yang berkaitan dengan larangan.

Dalam arti illat adalah maslahah atau mafsadah itu sendiri bukan wadahnya (mazhinnahnya) sama saja keduanya tampak jelas atau sebaliknya, memiliki standar pasti atau tidak.

Dalam pendefinisian ini asySyatibi memberikan contoh bahwa masyaqqah merupakan illat dari bolehnya shalat qashar dan bolehnya tidak berpuasa ketika bepergian.

Sejalan dengan definisi-definisi yang dikemukakan di atas, Wahbah az-Zuhaili mendefinisikan illat dengan sesuatu yang menjadi dasar pensyari’atan hukum dengan maksud untuk mewujudkan kemashlahatan bagi manusia atau sebagai suatu sifat yang menjadi pertanda lahirnya ketetapan hukum”.

Baca Juga:  Hukum Suap Penerimaan CPNS, PNS Kok Main Suap!!

Sehingga dari definisi tersebut, illat memiliki dua pengertian. Pertama, illat adalah hikmah yang menjadi motif utama pensyari’atan hukum, yaitu menghasilkan mashlahah yang mesti diwujudkan dan menolak mafsadah yang mesti dienyahkan.

Zuhaili memberikan contoh dengan tercapainya berbagai manfaat bagi orang-orang yang melakukan transaksi jual beli yang ditimbulkan dari diperbolehkannya jual beli.

Terpeliharanya keturunan yang diakibatkan oleh diharamkannya perzinaan dan wajibnya had bagi pelakunya. Serta terpeliharanya akal manusia disebabkan diharamkannya meminum khamr.

Kedua, sesuatu yang jelas yang memiliki batasan-batasan jelas-tegas dan memiliki relevansi terhadap hukum dalam mewujudkan kemashlahatan manusi, baik dengan menghasilkan manfaat bagi mereka atau menolak sesuatu yang bakal menyengsarakan mereka.

Pendefinisian Zuhaili menimbulkan konsekuensi yang berbeda sehingga illat memiliki dua kemungkinan, makna pertama mendefinisikan illat tak berbeda dengan hikmah.

Sedangkan pengertian yang kedua, illat merupakan istilah yang memiliki makna berbeda dengan hikmah. Dan tampaknya makna kedua ini merupakan makna yang lebih populer.

 

Mochamad Ari Irawan