Analisis Tentang Kesetaraan Gender Perspektif Sejarah Islam Periode Pertengahan dan Modern

Analisis Tentang Kesetaraan Gender Perspektif Sejarah Islam Periode Pertengahan dan Modern

Pecihitam.org- Kesetaraan gender dalam perspektif sejarah Islam dapat dikategorikan dalam tiga periode yakni, periode klasik, pertengahan, dan modern.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pada artikel sebelumnya sudah dijelaskan terkait kesetaraan gender dalam perspektif sejarah Islam pada masa periode klasik, melanjutkan pembahasan tersebut maka artikel ini akan memfokuskan pada masa periode pertengahan dan modern.

Pada periode pertengahan ini membahas peran perempuan pada masa dinasti-dinasti Islam. Dalam buku berjudul History of Arabs karya Philip K. Hitti menjelaskan bahwa dalam sejarah kehidupan masyarakat dinasti Abbasiyah, ada budak yakni ibu Harun yang dikenal sebagai al-Khayzuran, perempuan pertama yang memiliki pengaruh penting dalam urusan kenegaraan Dinasti Abbasiyah.

Pada masa awal Dinasti Ababasiyah, kaum wanita cenderung menikmati tingkat kebebasan yang sama dengan kaum wanita pada masa Dinasti Umayyah; tapi menjelang akhir abad ke-10, pada masa Dinasti Buwayhi, system pemingitan yang ketat berdasarkan jenis kelamin menjadi fenomena umum.

Pada masa itu, banyak perempuan yang berhasil mengukir prestasi dan berpengaruh di pemerintahan, baik dari kalangan atas, seperti Khayzuran, istri al-Mahdi dan ibu al-Rasyid; ‘Ulayyah, anak perempuan al-Mahdi; Zubaydah, istri al-Rasyid dan ibu al-Amin; dan Buran, istri al-Ma’mun, atau dari kalangan awam, seperti wanita-wanita muda Arab yang pergi berperang dan memimpin pasukan, menggubah puisi dan bersaing dengan laki-laki di bidang sastra, atau mencerahkan masyarakat dengan kecerdasan, musik dan keindahan suara mereka. Di antaranya adalah Ubaydah al-Thunburiyah yahng kondang di seluruh negeru pada masa al-Mu’tashim sebagai biduanita dan musisi yang cantik

Baca Juga:  Senggama Dan Rahasianya Kajian Kitab Fathul Izaar Bagian 3

Pada masa kemundurannya, yang ditandai dengan praktik perseliran yang berlebihan, merosotnya moralitas seksual dan berfoya-foya dalam kemewahan, posisi perempuan menukik tajam seperti yang disebutkan dalam kisah Seribu Satu Malam.

Pada masa itu, perempuan ditampilkan sebagai perwujudan dari sikap licik dan khianat, serta wadah bagi semua perilaku tercela dan pemikiran yang tidak berguna. Walaupun partikel tidak menyebutkan secara detail satu persatu peran perempuan pada periode pertengahan ini tetapi paling tidak pembaca bisa mengetahui gambaran peran perempuan pada saat itu juga mengalami pasang surut.

Selanjutnya pada periode modern, yang dimaksud adalah zaman kemerdekaan. Dalam pendahuluan buku berjudul “Perempuan dan Politik dalam Islam”, dikatakan bahwa saat ini gerakan perempuan sudah melewati fase kedua, yaitu dari fase pembebasan menuju fase kepemimpinan.

Buktinya, dalam konteks kesejarahan perempuan dan politik di Indonesia masa kini, keberadaan organisasi Pusat Reformasi Pemilu (Cetro-Centre for Electoral reform) pada tahun 1999, yang dipimpin seorang perempuan antara lain penulis buku, Ani Soetjipto, telah membuktikan bahwa perempuan Indonesia telah menunjukkan keberadaannya secara konsisten sebagai “agen pembaru” di berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, termasuk di bidang politik.

Baca Juga:  Inilah 7 Keutamaan Bulan Dzulhijjah yang Harus Kamu Ketahui

Lebih jauh lagi Ani mengungkapkan bahwa pemilu langsung 2004 merupakan kontribusi dari pemerintahan (mantan) Presiden Megawati Soekarnoputri yang merupakan presiden perempuan pertama di Indonesia.

Di lingkungan NU, perhatian besar terhadap hak-hak perempuan sudah lama bergulir. Dalam organisasi massa Islam terbesar di kawasan Asia Tenggara ini, lahirlah organisasi Muslimat, Fatayat, serta IPPNU jelas diproyeksikan untuk lebih memberikan peran kepada kaum perempuan.

Sebelumnya di era pra-kemerdekaan hingga awal kemerdekaan, perempuan dianggap tidak lebih sebagai “konco wingking” (teman belakang). Keberadaan badan-badan otonom NU itu bagi kaum perempuan secara ikhlas menunjukkan dinamisasi organisasi tersebut.

Perkembangan menggembirakan tentang hak-hak perempuan dalam NU muncul dalam kesempatan Konferensi Besar Syuriah NU pada Sya’ban 1376 H/19 Maret 1957 M di Surabaya. Salah satu keputusannya menyebutkan bahwa kaum peremouan diperbolehkan menjadi anggota DPR/DPRD.

Apalagi kemudian, keputusan Syuriah tesebut dikuatkan lagi oleh keputusan Muktamar NU 1961 di Salatiga, Jawa Tengah, bahwa seorang perempuan diperkenankan menjadi kepala desa. Bahkan, NU sudah memberikan lampu hijau atas peran serta perempuan dalam berbagai sector kehidupan, sekalipun untuk posisi kepala Negara atau presiden.

Baca Juga:  Benarkah Hubungan Agama dan Negara Harus Dipisahkan? Begini Penjelasan Para Ahli

Kini, bisa dilihat bahwa dalam berbagai sektor kehidupan yang tidak bisa disebutkan semuanya dalam artikel ini, namun secara umum bisa dikatakan bahwa dalam konteks sejarah Islam perempuan sudah memperoleh kesetaraan dengan kaum laki-laki.

Walaupun kadang kala masih terjadi ketidaksetaraan gender disebabkan oleh pihak yang memang tidak menghendaki kesetaraan gender dengan memanfaatkan dalil-dalil agama sebagai legitimasi ataupun yang sekedar memiliki pengetahuan yang kurang memadai tentang kesetaraan gender.

Mochamad Ari Irawan