Bisakah MTA Disebut Ormas Islam yang Inkarus Sunnah?

Dalam pemahamanya MTA menggungakan metode memahami agama adalah mendahulukan akal, kadang mengesampingkan Hadis shahih

Pecihitam.org – Dalam sejarah kehidupan manusia, agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan, baik agama yang bersifat formal maupun sekedar kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agama menjadi sebuah proses yang terus-menerus digeluti dalam perjalanan hidup manusia karena berkaitan dengan kebahagian di dunia dan akhirat.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Bagi umat muslim, agama Islam merupakan jalan dan pandangan hidup bagi orang-orang yang mempercayai kehidupan setelah kematian untuk menggapai ridlo Allah. Namun, untuk bisa meraih kebahagiaan tersebut dibutuhkan sumber atau pedoman kitab suci seperti Alquran dan Hadis. Dalam memahami sumber hukum tersebut, jelas setiap aliran berbeda-beda, seperti aliran MTA (Majelis Tafsir Al-qur’an).

Yayasan Majelis Tafsir Alqur’an (MTA), didirikan di Surakarta pada tanggal 19 September 1972 oleh Abdullah Tufail Saputra, seorang keturunan Pakistan yang menjadi pedagang batik di Solo. Salah satu tujuan didirikannya MTA adalah mengajak umat Islam kembali kepada al-Qur’an dengan penekanan pada pemahaman, penghayatan, dan pengamalan al-Qur’an.

Sebab dalam kenyataannya banyak, umat Islam memahami al-Qur’an namun tidak melaksanakannya dalam kehidupan kesehariannya. Kejadian tersebut menjadikan umat Islam lemah dan tidak memiliki kemampuan untuk bersaing dengan kelompok masyarakat yang lain.

Sebagai sebuah organisasi keagamaan, Yayasan MTA secara resmi memiliki badan hukum sebagai yayasan pada tanggal 23 Januari 1974 dengan Akte Notaris R. Soegondo Notodireorjo. Sekarang MTA bersekratriat di Jl. Serayu No. 12, Semanggi 06/15, Pasar Kliwon, Solo kode pos 57117.

Baca Juga:  Perang dan Kekerasan Bukan Jalan untuk Membangun Kemaslahatan

Masyarakat yang ideal dalam pandangan MTA adalah masyarakat yang dalam kehidupannya selalu dibimbing oleh pemahaman, penghayatan, dan pengamalan al-Qur’an secara benar. Untuk mencapai cita-citanya tersebut gerakan yang dilaksanakan oleh MTA antara lain melalui program dakwah, ekonomi, pendidikan, gerakan sosial, pembukaan rumah sakit, serta kursus secara berkala dengan bekerjasama dengan Balai Latihan Kerja Surakarta (BLK).

Muhammad Najih Maimoen dalam bukunya “Membongkar Penyimpangan Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, MTA, LDII dan Ma’had al-Zaytun” mengemukakan ajaran kesesatan yang dianggapnya sudah menyalahi dari mayoritas ulama yang ada.

Berhubungan dengan hal di atas, mereka juga menghalalkan anjing buas, serigala, katak/kodok dan lain-lain dari hewan-hewan yang telah dinyatakan haram oleh Rasulullah SAW. Akan tetapi dalam rangka menutupi pendapat ini dihadapan para pengikut MTA yang masih pemula maka sang ketua dan para ustadznya menjawab: “MTA tidak berhak mengharamkan dan menghalalkan anjing, yang berhak mengharamkan dan menghalalkan hanyalah Allah”.

Paham seperti ini merupakan pemahaman yang Inkarus Sunnah yang mengadopsi model pemahaman khowarij. Perkataan ini untuk mengelabuhi umat agar pengikutnya tidak lari karena tahu bahwa ustadznya menghalalkan anjing walau dia tidak memakannya.

Baca Juga:  Perempuan dalam Agency Radikalisme

Semula tidak banyak yang saya selisihi mengenai pemahaman MTA tersebut, dalam perberkembangnya menjadi banyak, dan tersimpul dalam tiga masalah besar, yaitu masalah jama’ah, aqidah, dan manhaj.

Dalam masalah jama’ah misalanya, MTA memiliki Imam sendiri yang dibai’at, ditaati dan seterusnya, sebagaimana LDII, Jama’atul Muslimin (Hizbullah), MMI, Ikhwani dan lain-lain. Kalau mereka ini jama’ah sebagaimana Hadis Rasulullah, lantas mana firqah-firqah yang banyak yang disebutkan Rasulullah. Dari sini Sudah sangat jelas bahwa mereka membangun wala dan bara di atas kelompoknya. Bahkan di sebagian tempat ada boikot terhadap orang yang keluar dari MTA.

Dalam masalah aqidah, MTA mengingkari syafa’at di akhirat, maksudnya adalah mereka mengimani kalau orang Islam masuk neraka untuk selamanya sebagaimana pemahaman khawarij/mu’tazilah (tidak ada jahanamiyyun), mengingkari kesurupan jin, mengimani bahwa malam lailatul qadr sudah tidak ada lagi, mengimani bahwa Allah tidak menetapkan taqdir (tapi sebagai sebab akiba pemurnian pemahaman qadariyah mu’tazilah), tidak mengimani beberapa peristiwa hari akhir antara lain turunnya Isa, munculnya Dajjal, dan Imam Mahdi.

Dalam pemahamanya MTA menggungakan metode memahami agama adalah mendahulukan akal, kadang mengesampingkan Hadis shahih (bila dianggap menyelisihi Al Qur’an), apalagi atsar, atau perkataan para ‘ulama.

Baca Juga:  NKRI Bersyariah: Cuma Manifes Politik Kekecewaan

Dari metodologi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa anjingpun jadi halal, sutera dan juga emas untuk laki-laki menjadi mubah atau  makruh hukumnya. Disamping itu, dalam persoalan fikih syari’at MTA juga tergolong dalam bid’ah membid’ahkan yang tidak sesuai dengan cara pandang mereka, sehingga jargon MTA adalah memerangi bid’ah.

Dalam memahami sumber hukum Islam, MTA mempunyai pandangan bahwa Al-Qur’an dan Hadis adalah sumber hukum Islam yang mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar. Artinya bahwa tidak ada perkembangan makna dan ide moral yang menjawab realitas di era saat ini.

Pemhaman yang seperti ini adalah pemhaman yang tekstualis tanpa melibatkan era kontekstualis. Pentingnya pemahan kontekstualis adalah melihat ide moral yang berkembang saat ini tanpa meninggalkan hakekat teks, makna maupun konteks.

M. Dani Habibi, M. Ag