Hadits Shahih Al-Bukhari No. 569 – Kitab Adzan

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 569 – Kitab Adzan ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Berbincang-bincang dengan Tamu atau Keluarga” Hadis ini menjelaskan historis asal usul adzan diserukan untuk shalat.  Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 4 Kitab Adzan. Halaman 11-15.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي نَافِعٌ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَقُولُ كَانَ الْمُسْلِمُونَ حِينَ قَدِمُوا الْمَدِينَةَ يَجْتَمِعُونَ فَيَتَحَيَّنُونَ الصَّلَاةَ لَيْسَ يُنَادَى لَهَا فَتَكَلَّمُوا يَوْمًا فِي ذَلِكَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ اتَّخِذُوا نَاقُوسًا مِثْلَ نَاقُوسِ النَّصَارَى وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ بُوقًا مِثْلَ قَرْنِ الْيَهُودِ فَقَالَ عُمَرُ أَوَلَا تَبْعَثُونَ رَجُلًا يُنَادِي بِالصَّلَاةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا بِلَالُ قُمْ فَنَادِ بِالصَّلَاةِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Mahmud bin Ghailan] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abdurrazaq] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Ibnu Juraij] berkata, telah mengabarkan kepadaku [Nafi’] bahwa [Ibnu ‘Umar] berkata, “Ketika Kaum Muslimin tiba di Madinah, mereka berkumpul untuk shalat dengan cara memperkirakan waktunya, dan tidak ada panggilan untuk pelaksanaan shalat. Suatu hari mereka memperbincangkan masalah tersebut, di antara mereka ada yang mengusulkan lonceng seperti loncengnya Kaum Nashrani dan sebagaian lain mengusulkan untuk meniup terompet sebagaimana Kaum Yahudi. Maka ‘Umar pun berkata, “Mengapa tidak kalian suruh seseorang untuk mengumandangkan panggilan shalat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda: “Wahai Bilal, bangkit dan serukanlah panggilan shalat.”

Keterangan Hadis:  حِينَ قَدِمُوا الْمَدِينَة(Ketika mereka datang ke Madinah) Maksudnya datang dari Makkah waktu hijrah.

فَتَكَلَّمُوا يَوْمًا فِي ذَلِكَ ، فَقَالَ بَعْضهمْ اِتَّخِذُوا (Suatu hari mereka berbicara tentang hal itu, sebagian mereka berkata, “Gunakanlah.”) Tidak disebutkan siapa yang berbicara.

Dalam riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar disebutkan bahwa Nabi SAW minta pendapat sahabat tentang tanda yang dipakai dalam mengumpulkan mereka untuk melaksanakan shalat. Lalu mereka menyebutkan terompet, tapi Nabi SAW tidak menyukainya, karena terompet adalah milik orang Yahudi. Kemudian mereka menyebutkan lonceng, dan Nabi juga tidak menyukai, karena lonceng adalah milik orang Nasrani.

بَلْ بُوقًا (Tetapi terompet yang terbuat dari tanduk) Maksudnya mereka meniup terompet dari tanduk supaya orang-orang berkumpul ketika mendengamya. Itu adalah syiar orang-orang Yahudi .

يُنَادَى (Memanggil atau menyerukan) Al Qurthubi berkata, “Kemungkinan ketika Abdullah bin Zaid memberitahu tentang mimpinya dan dibenarkan oleh Nabi, maka Umar segera mengatakan, ‘Apakah kalian tidak mengutus seorang untuk mengumandangkan adzan’. Lalu Nabi berkata, ‘Wahai Bilal, berdiri dan kumandangkan adzan’. Untuk itu huruf fa’ dalam konteks hadits Ibnu Umar berfungsi sebagai fashihah, dimana ketika mereka berselisih pendapat tentang cara memberitahu masuknya waktu shalat, tiba-tiba Abdullah bin Zaid bermimpi, lalu dia datang kepada Nabi SAW menceritakan mimpinya. Kemudian Nabi SAW membenarkannya, maka Umar berkata (seperti yang disebutkan).”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 202-203 – Kitab Wudhu

Saya (Ibnu Hajar) katakan, bahwa konteks hadits Abdullah bin Zaid tidak seperti itu, karena ketika Abdullah bin Zaid menceritakan mimpinya kepada Nabi SAW, maka beliau berkata kepadanya, أَلْقِهَا عَلَى بِلَال فَلْيُؤَذِّنْ بِهَا (sampaikanlah kepada Bilal agar dia mengumandangkannya {adzan}). Ketika Umar mendengarkan suara adzan, ia langsung keluar dan mendatangi Nabi SAW seraya berkata, “Aku telah bermimpi seperti mimpinya Abdullah bin Zaid.” Hal itu menunjukkan bahwa Umar tidak hadir ketika Abdullah bin Zaid menceritakan mimpinya kepada Nabi SAW.

Secara lahiriah, isyarat Umar yang menyuruh orang untuk mengumandangkan adzan shalat adalah setelah mereka melakukan musyawarah, sedangkan mimpi Abdullah bin Zaid adalah setelah itu. Wallahu a ‘lam.

Abu Daud meriwayatkan dengan sanad shahih kepada Abu Umair bin Anas, bahwa mereka (sahabat) berkata, اِهْتَمَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلصَّلَاةِ كَيْفَ يَجْمَع النَّاس لَهَا ، فَقَالَ : اِنْصِبْ رَايَة عِنْدَ حُضُور وَقْت الصَّلَاة فَإِذَا رَأَوْهَا آذَنَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا ، فَلَمْ يُعْجِبْهُ (Nabi sangat memperhatikan shalat, bagaimana cara mengumpulkan orang-orang untuk shalat. Abu Umair bin Anas berkata, “Kibarkan bendera ketika tiba waktu shalat, jika mereka melihat, maka hendaknya sebagian mereka mengumandangkan adzan kepada sebagian yang lain. ” Tapi (pendapat) itu tidak membuat beliau merasa takjub).

Kemudian mereka menyebutkan lonceng (untuk memberitahu masuknya waktu shalat), maka Abdullah bin Zaid pulang dengan penuh perhatian terhadap apa yang diusulkan para sahabat. Lalu ia bermimpi tentang adzan. Keesokan harinya ia pergi menemui Nabi SAW. Perawi hadits mengatakan bahwa Umar telah bermimpi (adzan) sebelum itu, tapi ia meyembunyikannya selama dua puluh hari. Lalu ia memberitahukannya kepada Nabi SAW, maka beliau mengatakan kepadanya, مَا مَنَعَك أَنْ تُخْبِرَنَا (Apa yang menghalangimu untuk menceritakannya kepada kami?) Umar berkata, “Abdullah bin Zaid telah mendahului saya, sehingga saya merasa malu.” Rasulullah bersabda, يَا بِلَال قُمْ فَانْظُرْ مَا يَأْمُرك بِهِ عَبْد اللَّه بْن زَيْد فَافْعَلْهُ (Wahai Bilal, berdirilah dan lihat apa yang diperintahkan Abdullah bin Zaid, maka laksanakanlah).

Abu Umar bin Abdul Barr mengatakan, bahwa kisah Abdullah bin Zaid telah diriwayatkan oleh sejumlah sahabat dengan lafazh yang berbeda dan makna yang berdekatan, tapi riwayat ini adalah yang paling baik (hasan).

Saya (Ibnu Hajar) katakan, ini tidak bertentangan dengan apa yang telah disebutkan, bahwa ketika Abdullah bin Zaid menceritakan mimpinya, lalu Umar mendengar adzan sehingga datang dan berkata, “Saya telah bermimpi seperti itu,” karena hal itu mengandung kemungkinan bahwa Umar tidak mengabarkan tentang mimpinya setelah Abdulah bin Zaid menceritakannya, tetapi Umar menceritakannya setelah itu, berdasarkan pertanyaan Rasulullah kepada Umar, “Apa yang menghalangi kamu untuk tidak (langsung) mengabarkannya kepada kami?” Yakni, setelah Abdullah bin Zaid telah menceritakan mimpinya. Maka Umar mengungkapkan alasannya kepada Nabi, yaitu Umar malu karena Abdullah bin Zaid terlebih dulu mengabarkan mimpinya kepada beliau SAW.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 489-490 – Kitab Shalat

Dengan demikian, riwayat ini menunjukkan bahwa Umar tidak langsung memberitahukan mimpinya kepada Nabi SAW. Di samping itu dalam hadits Abu Umair tidak menjelaskan bahwa Umar hadir ketika Abdullah bin Zaid menceritakan mimpinya, berbeda dengan riwayat yang telah disebutkan, “lalu Umar mendengar suara (adzan), maka dia keluar dan berkata .. …. ” dimana riwayat ini telah menjelaskan bahwa Umar tidak hadir ketika Abdullah bin Zaid menceritakan mimpinya.

فَنَادِ بِالصَّلَاةِ (Maka serulah untuk shalat) Dalam riwayat Al Ismaili menggunakan lafazh فَأَذِّنْ بِالصَّلَاةِ (kumandangkan panggilan untuk shalat) Al Qadhi Iyadh mengatakan bahwa yang dimaksud adalah memberitahukan masuknya waktu shalat, bukan mengumandangkan adzan yang disyariatkan. Pendapat ini dianggap aneh oleh Al Qadhi Abu Bakar Ibnu Al Arabi, sehingga ia memahami bahwa adzan yang dimaksud adalah adzan yang disyariatkan. Dia juga menghujat keabsahan hadits Ibnu Umar, seraya berkata, “Sangat aneh, mengapa Abu Isa men-shahihkan-nya,” karena sebagaimana yang diketahui bahwa syariat adzan adalah berdasarkan mimpi Abdullah bin Zaid. Untuk itu, hendaknya hadits-hadits shahih yang ada tidak ditolak dengan sebab seperti ini padahal hadits-hadits tersebut sangat mungkin untuk dikompromikan. Ibnu Mandah mengatakan tentang hadits Ibnu Umar, bahwa hadits tersebut telah disepakati ke-shahihannya.

يَا بِلَال قُمْ (Wahai Bilal, berdirilah) Al Qadhi lyadh dan lainnya mengatakan bahwa kalimat ini mengandung dalil disyariatkannya adzan dengan berdiri. Demikian juga pendapat Ibnu Khuzaimah dan Ibnul Mundzir. Imam Nawawi menanggapi bahwa maksud dari perkataan قُمْ yaitu pergilah (wahai Bilal) ke tempat yang dapat dilihat orang dan serulah mereka untuk shalat agar mereka dapat mendengarkanmu. Imam Nawawi menambahkan bahwa di sini tidak ada penjelasan tentang perintah berdiri ketika adzan.

Al Qadhi Iyadh menukil bahwa semua madzhab ulama tidak membolehkan adzan dengan duduk, kecuali Abu Tsaur yang disepakati oleh Abu Al Faraj Al Maliki. Perbedaan ini telah diketahui dalam madzhab Syafi’i, sedangkan pendapat yang masyhur menurut pengikut madzhab Hanafi mengatakan bahwa hukum berdiri ketika adzan adalah sunah. Sehingga apabila seseorang menyerukan adzan dengan duduk, maka hukumnya sah. Adapun pendapat yang benar adalah apa yang dikatakan Ibnul Mundzir, dimana para ulama sepakat bahwa adzan dengan berdiri adalah Sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Pelajaran yang dapat diambil:

1. Lafazh yang digunakan Bilal untuk menyeru shalat adalah Ash-Shalaatu Jaami’ah. Lafazh tersebut diriwayatkan oleh lbnu Sa’ad dalam kitab Ath-Thabaqat. yang termasuk riwayat mursal yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Musayyab. Beberapa ulama menyangka bahwa ketika itu Bilal diperintahkan untuk menyerukan adzan dengan lafazh adzan sebagaimana yang kita ketahui sekarang.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 135 – Kitab Wudhu

Di sini ada korelasi yang sangat kuat mengapa Bilal yang diperintahkan untuk menyerukan adzan, bukan yang lainnya. Hal itu dikarenakan ketika Bilal disiksa orang kafir Quraisy agar keluar dari Islam, dia mengatakan “Ahad, ahad (Allah Maha Esa, Allah Maha Esa). Untuk itu, hanya Bilal yang diperintahkan Nabi SAW untuk mengumandangkan adzan yang mengandung kalimat tauhid. Memang nampak jelas korelasi mengapa Bilal yang diperintahkan untuk menyerukan adzan, bukan yang lainnya. Namun di sini bukan tempatnya untuk membicarakan masalah tersebut.

2. Dalam hadits Ibnu Umar terdapat perintah untuk mencari hukum-hukum agama dari makna-makna yang telah disimpulkan, bukan hanya melihat arti lahiriahnya saja. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Al Arabi.

3. Perintah untuk bermusyawarah dalam urusan yang penting. Dalam hal ini tidaklah mengapa orang yang ikut bermusyawarah mengajukan pendapatnya sesuai dengan hasil ijtihad yang telah dilakukan.

Di sini ada kejanggalan tentang penetapan hukum adzan berdasarkan mimpi Abdullah bin Zaid, sebab mimpi selain Nabi tidak bisa dijadikan landasan hukum syariat. Namun pendapat ini dijawab dengan kemungkinan untuk diadakan perbandingan antara mimpi tersebut dengan wahyu. Apalagi setelah melihat bahwa lafazh dan susunan kalimat adzan tersebut jauh dari kemungkinan adanya campur tangan manusia atau syetan dalam menentukannya. Inilah yang dijadikan landasan pendapat yang membolehkan Rasulullah SAW untuk melakukan ijtihad dalam masalah hukum syariat, sebagaimana yang dijelaskan dalam masalah ushul fikih.

Pendapat pertama telah dikuatkan dengan riwayat Abdurrazzaq dan Abu Daud dalam marasil (kumpulan hadits-hadits mursal) dari jalur Ubaid bin Umair Al-Laitsi -salah seorang tokoh dari kalangan tabi’in— bahwa ketika Umar bermimpi tentang adzan, dia datang untuk memberitahukan kepada Nabi SAW. Beliau telah mendapatkan bahwa wahyu telah membenarkan hal itu, maka beliau SAW hanya menetapkan adzan Bilal, dan beliau bersabda kepada Umar, “Wahyu telah mendahului kamu dengan apa yang kamu kabarkan.” Ini lebih shahih daripada apa yang diceritakan oleh Ad-Daudi dari Ibnu Ishaq, bahwa Jibril telah datang memberitahukan tentang adzan kepada Nabi delapan hari sebelum Abdullah bin Zaid memberitahukan tentang mimpinya kepada beliau.

As-Suhaili mengisyaratkan hikmah diawalinya syariat adzan bukan melalui lisan Nabi SAW, yaitu sebagai bentuk pujian dan pengakuan akan tingginya derajat beliau SAW melalui lisan orang Jain supaya kedudukan beliau lebih mulia. Wallahu a’lam.

M Resky S