Ada Ruang Taqlid dan Ijtihad, Jangan Asal Ngomong “Back to Qur’an”

Ada Ruang Taqlid dan Ijtihad, Jangan Asal Ngomong "Back to Qur'an"

PeciHitam.org Menetapkan hukum dengan mengambil langsung kepada Al-Qur’an dan sunnah bukan hal yang mudah. Memerlukan seperangkat ilmu pengetahuan sebagai pisau analisis sebelum melakukan istinbath hukum kepada Al-Qur’an dan sunnah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Golongan orang yang mampu dalam melakukan istinbath hukum secara langsung kepada al-Qur’an dan sunnah disebut dengan Mujtahid atau orang yang berijtihad.

Ijtihad para mujtahid diposisikan sebagai sumber hukum ‘yang siap pakai’ karena sudah mengalami proses pemikiran mendalam berdasarkan nash dua sumber pokok islam.

Melihat kemampuan setiap Muslim dalam memahami sumber pokok hukum islam berbeda-beda, maka bertaqlid kepada mujtahid adalah jalan aman yang dapat ditempuh oleh Muslim.

Taqlid dan Ijtihad

Imam Asy-Syaukani menjelaskan bahwa realitas kemampuan Muslim dalam memahami teks hukum Islam berbeda-beda. Ketika dihadapkan kepada pilihan menetapkan suatu hukum, maka harus kembali kepada al-Qur’an dan sunnah.

Bagi mereka yang memiliki kualifikasi dan kemampuan berpikir untuk menetapkan hukum Islam langsung dari Al-Qur’an dan sunnah, maka dilarang untuk taqlid, dengan dalil;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ (٥٩

Baca Juga:  Masih Wajibkah Hukum Sholat Bagi Orang Pikun?

Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)” (Qs. An-Nisaa’: 59)

Ayat di atas menjelaskan ketika seorang berlainan pendapat harus dikembalikan kepada Allah SWT (al-Qur’an) dan Nabi Muhammad SAW (Sunnah). Maka setiap Muslim harus mampu memetik hikmah maupun hukum langsung kepada Al-Qur’an dan Sunnah.

Akan tetapi Asy-Syaukani menambahkan, ketika permasalahan tidak ditemukan dalam dua sumber pokok Islam, maka harus melakukan Ijtihad bil ra’yi.

Hal ini berdasarkan Hadits Sahabat Mu’adz bin Jabal ketika diutus Rasulullah SAW menjadi pemimpin local wilayah taklukan Islam. Dan tingkat kecerdasan berbeda (tidak masuk kelas mujtahid) meniscayakan betaqlid kepada orang yang memiliki kemampuan. Allah SWT berfirman;

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ (٤٣

Artinya; “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (Qs. An-Nahl: 43)

Simpulannya, ketika seseorang memiliki kemampuan dengan berbagai perangkat keilmuan memadai untuk langusung beristinbath hukum kepada al-Qur’an dan Sunnah, maka harus berIjtihad.

Ketika tidak memiliki kualifikasi untuk berijtihad maka harus/ wajib untuk bertanya dengan bertaqlid kepada mereka yang memiliki kualifikasi.

Baca Juga:  Batasan Aurat Wanita Saat Shalat Menurut Madzhab Syafii

Taqlid dan Fenomena Back To Qur’an

Memabayangkan masa Rasulullah SAW ketika terjadi perbedaan di antara Muslim, maka cukup dengan dikonfirmasikan langsung dengan Nabi SAW. Dengan demikian, maka tidak akan terjadi perselisihan dalam menentukan hukum untuk diamalkan di masyarakat.

Namun Nabi Muhammad SAW sudah intaqala ‘ala Rafi’il A’la sejak 14 abad silam, maka ketika ada permasalahan di masyarakat harus dikembalikan kepada peninggalan Rasulullah SAW, Al-Qur’an dan Sunnah. Memahami al-Qur’an dan Sunnah tidak segampang orang mengatakan back to Al-Qur’an dan cukup membaca sekilas kemudian berfatwa.

Ada seperangkat Ilmu untuk memahami al-Qur’an yang disebut dengan Ulumul Qur’an. Dan untuk memahami Sunnah lebih kompleks lagi, harus memahami dengan saksama ilmu Musthalahah Hadits dengan lengkap. Mereka yang menguasai dengan sempurna Ulumul Qur’an dan Musthalahah Hadits, maka bisa disebut Mujtahid.

Contohnya adalah Imam Syafii, Imam Hanafi, Imam Hanbali dan Imam Malik yang mana menguasai Ulumul Qur’an dan Ilmu Hadits dengan baik. Namun fenomena modern menunjukan gejala mengesampingkan keilmuan, untuk kemudian mengambil sikap menjadi mujtahid dengan banyak mengeluarkan fatwa tanpa mempertimbangkan pendapat Ulama.

Baca Juga:  Tata Cara Ziarah Kubur yang Dianjurkan dalam Islam

Fenomena back to qur’an bisa dipahami sebagai gejala modernitas yang sepintas sangat baik, namun harus berhati-hati jangan sampai mengklaim diri sebagai mujtahid yang mampu beristinbath hukum langsung. Tradisi keilmuan di dalam Islam sudah sangat banyak menyediakan alternatif hukum bagi mereka yang  tidak sampai golongan Mujtahid.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan