Hadits Shahih Al-Bukhari No. 240 – Kitab Mandi

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 240 – Kitab Mandi ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Wudhu Sebelum Mandi” hadis ini menjelaskan tentang tatacara mandi junub Rasulullah saw, sebagaimana dijelaskan oleh istrinya Aisyah ra. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Mandi. Halaman 389-393.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي الْمَاءِ فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعَرِهِ ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Yusuf] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Malik] dari [Hisyam bin ‘Urwah] dari [Bapaknya] dari [‘Aisyah] isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mandi karena janabat, beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya, kemudian berwudlu sebagaimana wudlu untuk shalat, kemudian memasukkan jari-jarinya ke dalam air lalu menggosokkannya ke kulit kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas kepalanya dengan cidukan kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengalirkan air ke seluruh kulitnya.”

Keterangan Hadis: (Wudhu sebelum mandi), maksudnya disukai berwudhu sebelum mandi wajib.

Imam Syafi’i mengatakan dalam kitabnya, Al Umm, “Allah SWT mewajibkan mandi secara mutlak (tanpa batas) dengan tidak menyebutkan satu perbuatan pun yang harus dilakukan sebelumnya. Bagaimanapun cara seseorang mandi, maka itu sudah cukup dengan syarat ia membasuh (mengalirkan air) ke seluruh tubuhnya. Adapun cara yang paling baik adalah sebagaimana yang diriwayatkan Aisyah.”

Hadits yang disebutkan dalam bab ini juga dikutip dari Imam Malik dengan silsilah periwayatannya, sebagaimana dalam kitab Al Muwaththa  Ibnu Abdil Barr mengatakan, bahwa hadits tersebut adalah hadits yang paling baik yang diriwayatkan dalam bah ini. Aku (lbnu Hajar) katakan, “Hadits ini juga diriwayatkan dari Hisyam lbnu Urwah oleh beberapa orang ahli hadits selain Malik seperti yang akan dijelaskan.”

كَانَ إِذَا اِغْتَسَلَ (Apabila beliau mandi), yakni memulai mandi. Lafazh مِنْ pada kalimat مِنْ الْجَنَابَةِ berfungsi sebagai keterangan sebab (sababiyah ).

بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ (Beliau memulainya dengan mencuci kedua tangannya) Kemungkinan maksudnya adalah membersihkan tangannya dari kotoran, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam hadits Maimunah. Ada kemungkinan juga bahwa mencuci kedua tangan ini termasuk hal yang disyariatkan sebagaimana ketika bangun tidur. Kemungkinan terakhir ini dikuatkan dengan riwayat Ibnu Uyainah dari Hisyam, yang menambahkan lafazh, قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهُمَا فِي الْإِنَاءِ (Sebelum ia memasukkan keduanya ke dalam bejana). Demikian diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dan Tirmidzi.

Baca Juga:  Imam Nawawi Tidak Pernah Menikah, Bagaimana dengan Maksud Hadis "An-Nikahu Sunnati?

Ia juga menambahkan, ثُمَّ يَغْسِلُ فَرْجَهُ (Kemudian ia mencuci kemaluannya). Demikian juga diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Mu’awiyah seperti dikutip oleh Abu Dawud dari Hammad bin Zaid, keduanya dari Hisyam.

Tambahan keterangan ini merupakan hal yang sangat berharga, karena dengan mencuci kemaluan terlebih dahulu dapat lebih memberi rasa aman bagi seseorang untuk tidak menyentuhnya saat mandi.

كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلَاة (Sebagaimana wudhu untuk shalat). Pemyataan ini sebagai langkah untuk menghindari timbulnya pemahaman, bahwa yang dimaksud wudhu di sini adalah berdasarkan makna secara bahasa (yaitu sekedar membersihkan anggota badan).

Tidak tertutup kemungkinan bahwa berwudhu sebelum mandi merupakan sunah tersendiri, dimana anggota wudhu wajib pula dibasuh bersama seluruh badan ketika mandi. Ada pula kemungkinan anggota badan yang telah dibasuh saat wudhu tidak perlu dibasuh kembali saat mandi, maka seseorang harus bemiat mandi wajib ketika mencuci anggota wudhu yang pertama.

Didahulukannya membasuh anggota wudhu adalah sebagai bentuk penghormatan. Dengan demikian, dapat diperoleh dua bentuk thaharah (bersuci) sekaligus; thaharah shugra (bersuci kecil) dan thaharah kubra (bersuci besar). Pandangan seperti ini menjadi kecenderungan Ad­Dawudi -pensyarah Al Mukhtashar dari madzhab Syafi’i- dimana ia mengatakan, “Lebih dahulu membasuh anggota wudhu sesuai dengan urutannya, tetapi dengan niat mandi junub.”

Kemudian lbnu Baththal menukil adanya kesepakatan para ulama yang mengatakan, “Apabila seseorang telah mandi wajib, maka ia tidak wajib berwudhu.” Tetapi klaim adanya ijma’ mengenai perkara ini tidak dapat diterima, karena sejumlah ulama di antaranya; Abu Tsaur, Daud, dan lainnya berpendapat bahwa mandi tidak bisa menggantikan wudhu bagi orang yang berhadats.

فَيُخَلِّلُ بِهَا (Setelah itu menggosokkannya), yakni menggosokkan jari­jari tangannya yang sudah dimasukkan ke dalam air. Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Kemudian beliau mengambil air, setelah itu memasukkan jari-jari tangannya ke akar-akar rambut.” Dalam riwayat Tirmidzi dan Nasa’ i dari lbnu Uyainah dikatakan, “Kemudian beliau memercikkan air ke rambutnya.”

أُصُول الشَّعْرِ (Di sela-sela rambutnya), maksudnya rambut kepala beliau SAW. Hal ini didukung oleh riwayat Hammad bin Salamah dari Hisyam sebagaimana dinukil oleh Baihaqi dengan lafazh, “Beliau menyela-nyela kepalanya yang sebelah kanan dengan jari tersebut sampai ke akar rambut, kemudian ia melakukan hal yang sama pada bagian kepala sebelah kiri.”

Al Qadhi Iyadh mengatakan, “Sebagian ulama menjadikan lafazh ini sebagai hujjah (alasan) untuk mengharuskan mencuci (menyela-nyela) bulu badan ketika mandi, baik berpedoman dengan keumuman lafazh “ushulu sya’r” (akar-akar rambut) ataupun dengan menganalogi kannya dengan rambut kepala.”

Baca Juga:  Tingkatan Hadits Berdasarkan Kualitas Hadisnya (Bagian 1)

Adapun faidah menyela-nyela rambut tersebut adalah untuk meratakan air ke rambut dan kulit. Menyentuh rambut dengan mengguna­kan tangan secara langsung adalah untuk meratakan air ke seluruh rambut.

Kemudian para ulama sepakat bahwa menyela-nyela rambut kepala dengan tangan saat mandi junub hukumnya tidak wajib, kecuali apabila pada rambut itu ada sesuatu yang menghalangi sampainya air ke akar­akarnya, wallahu a ‘lam.

ثَلَاث غُرَفِ ( Tiga kali cidukan ). Lafazh غُرَفِ adalah bentuk plural (jamak) dari kata غُرْفَةٌ dan ukuran satu غُرْفَةٌ cidukan) itu sendiri adalah sama dengan banyaknya air yang dapat ditampung oleh telapak tangan manusia.

Lafazh ini menerangkan disukainya menyiram air ke badan ketika mandi sebanyak tiga kali-tiga kali. Imam Nawawi mengatakan, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini kecuali pendapat yang dikemukakan oleh Al Mawardi, dimana beliau berkata, “Tidak dianjurkan mengulang-ulang (siraman) ketika mandi. ‘”

Aku (Ibnu Hajar) katakan, “Pendapat ini dikemukakan pula oleh Syaikh Abu Ali As-Sanji dalam kitab Syarhul furu’ serta Imam Al Qurthubi. Adapun lafazh tiga kali dalam riwayat ini mereka memahaminya, bahwa setiap cidukan digosokkan pada salah satu bagian kepala. Di akhir pembahasan tentang hadits Maimunah akan disebutkan tambahan mengenai masalah ini.

ثُمَّ يُفِيضُ (Setelah itu ia meratakan), maksudnya mengalirkan air ke seluruh tubuh. Lafazh ini dijadikan dalil oleh orang yang tidak mewajibkan menggosok badan saat mandi, dan konteks kesimpulan ini dengan hadits tersebut cukup jelas. Namun Al Maziri mengatakan, “Lafazh ini tidak dapat dijadikan hujjah untuk menyatakan tidak wajibnya menggosok badan saat mandi, karena lafazh أفاض artinya غسل (mencuci). Sementara mencuci itu sendiri menjadi obyek perselisihan.” Aku katakan, “Kelemahan perkataan ini cukup jelas.” Wallahu a ‘lam.

Al Qadhi lyadh berkata, “Tidak ditemukan dalam riwayat-riwayat yang berkenaan dengan wudhu ketika hendak mandi junub lafazh yang menyebutkan pengulangan dalam mencuci anggota wudhu.” Aku (lbnu Hajar) katakan, “Ada riwayat yang shahih menyebutkan hal tersebut, yakni hadits yang dinukil oleh Imam Nasa ‘i dan Baihaqi dari riwayat Abu Salamah dari Aisyah bahwa ia menggambarkan cara Nabi SAW mandi junub, dimana disebutkan dalam hadits tersebut, ‘Kemudian ia berkumur-kumur tiga kali, memasukkan air ke hidung tiga kali, mencuci muka tiga kali, tangan tiga kali dan kemudian menyiram kepalanya tiga kali. “‘

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 308-309 – Kitab Haid

عَلَى جِلْدِهِ كُلّه (Keseluruh tubuhnya) Penegasan ini memberi makna, bahwa beliau SAW meratakan (air) ke seluruh bagian tubuhnya ketika mandi setelah melakukan hal-hal di atas. Ini menguatkan kemungkinan pertama bahwa wudhu merupakan sunah yang tersendiri sebelum mandi. Oleh karena itu orang yang mandi Uunub) harus bemiat untuk wudhu jika ia berhadats, sedangkan bila tidak berhadats maka ia bemiat sunah mandi.

Hadits ini juga dijadikan dalil disunahkannya menyempumakan wudhu sebelum mandi, dan mencuci kaki tidak diakhirkan sampai selesai mandi. Kesimpulan seperti itu dapat ditarik dari makna lahiriah perkataan Aisyah RA, “Sebagaimana beliau berwudhu untuk shalat.”

Lafazh inilah yang diriwayatkan secara akurat dari Aisyah melalui jalur periwayatan ini. Akan tetapi telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Muawiyah dari Hisyam, ia berkata di bagian akhir, “Kemudian ia mengalirkan air ke seluruh tubuh, kemudian mencuci kedua kakinya.”

Adapun lafazh yang menjadi tambahan tersebut hanya diriwaya­tkan oleh Abu Muawiyah saja tanpa ada murid-murid Hisyam lain yang turut menukilnya. Oleh sebab itu Imam Baihaqi mengatakan, “Tambahan ini gharib (ganjil) namun shahih.” Aku katakan, “Tetapi riwayat Abu Muawiyah dari Hisyam menjadi bahan perbincangan.” Namun diakui bahwa hadits tersebut memiliki penguat yang dinukil melalui riwayat Abu Salamah dari Aisyah sebagaimana dikutip oleh Abu Daud At­Thayalisi, dimana ia menyebutkan hadits mandi yang terdapat dalam riwayat Nasa’i.

Lalu beliau menambahkan, “Tatkala beliau telah selesai man di, beliau mencuci kedua kakinya.” Dengan demikian bisa jadi yang dimaksudkan riwayat-riwayat Aisyah -dengan perkataannya- “Wudhu sebagaimana ,wudhu untuk shalat” adalah membasuh sebagian besar anggota wudhu, yakni selain kedua kaki. Atau hadits tersebut dapat pula dipahami menurut makna lahiriahnya.

Hadits riwayat Abu Muawiyah ini juga dapat dijadikan dalil bolehnya memisah-misahkan wudhu. Ada kemungkinan yang dimaksud dalam riwayat Abu Muawiyah “Kemudian beliau mencuci kedua kakinya”, adalah beliau mengulangi mencuci keduanya untuk menyempumakan mandi setelah sebelumnya beliau mencuci kedua kaki tersebut ketika berwudhu. Sehingga perkataan ini sesuai dengan lafazh hadits di bab ini yaitu, ثُمَّ يُفِيضُ عَلَى جِلْدِهِ كُلّه (Kemudian beliau menyiramkan air ke seluruh tubuhnya).

M Resky S