Hadits Shahih Al-Bukhari No. 431 – Kitab Shalat

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 431 – Kitab Shalat ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Orang yang Membangun Masjid” hadis ini menjelaskan tentang keutamaan dan pahala membangun masjid dengan niat ikhlas semata-mata karena Allah. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 3 Kitab Shalat. Halaman 200-206.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنِي ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي عَمْرٌو أَنَّ بُكَيْرًا حَدَّثَهُ أَنَّ عَاصِمَ بْنَ عُمَرَ بْنِ قَتَادَةَ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ عُبَيْدَ اللَّهِ الْخَوْلَانِيَّ أَنَّهُ سَمِعَ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ يَقُولُ عِنْدَ قَوْلِ النَّاسِ فِيهِ حِينَ بَنَى مَسْجِدَ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكُمْ أَكْثَرْتُمْ وَإِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ بَنَى مَسْجِدًا قَالَ بُكَيْرٌ حَسِبْتُ أَنَّهُ قَالَ يَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ اللَّهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ مِثْلَهُ فِي الْجَنَّةِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Sulaiman] telah menceritakan kepadaku [Ibnu Wahb] telah mengabarkan kepadaku [‘Amru] bahwa [Bukair] menceritakan kepadanya, bahwa [‘Ashim bin ‘Umar bin Qatadah] menceritakan kepadanya, bahwa dia mendengar [‘Ubaidullah Al Khaulani] mendengar [‘Utsman bin ‘Affan] berkata di tengah pembicaraan orang-orang sekitar masalah pembangunan masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia katakan, “Sungguh, kalian telah banyak berbicara, padahal aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang membangun masjid -Bukair berkata, “Menurutku beliau mengatakan- karena mengharapkah ridla Allah, maka Allah akan membangun untuknya yang seperti itu di surga.”

Keterangan Hadis: (Bab orang yang membangun masjid) yakni keutamaan yang diperolehnya.

عِنْدَ قَوْلِ النَّاسِ فِيهِ (ketika manusia memperbincangkannya) Penjelasan mengenai hal ini terdapat dalam Shahih Muslim dari jalur Muhammad bin Labid Al Anshari -seorang generasi akhir sahabat- dia berkata, “Ketika Utsman hendak membangun masjid, orang-orang tidak menyukainya, dan mereka lebih suka jika Utsman membiarkan masjid seperti keadaan pada zaman Nabi SAW.” Dari hadits ini diperoleh keterangan bahwa lafazh “ketika membangun” pada hadits di atas maksudnya adalah “ketika hendak membangun”.

Al Baghawi berkata dalam kitab Syarh Sunnah, “Barangkali perbuatan Utsman yang tidak disenangi oleh sahabat sehubungan dengan pembangunan masjid adalah tindakannya yang menggunakan batu berlukis, bukan perluasannya.” Pada dasarnya Utsman bin Affan tidak membangun masjid dari awal, akan tetapi beliau hanya memperluas dan merenovasinya sebagaimana dijelaskan pada bab ‘·Membangun Masjid”. Dari sini diperoleh keterangan bahwa kata “membangun” digunakan untuk mereka yang merenovasi, sebagaimana kata tersebut digunakan pula untuk mereka yang membangunnya dari awal. Atau dapat pula dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “masjid” dalam hadits ini adalah “sebagian masjid”.

إِنَّكُمْ أَكْثَرْتُمْ (sungguh kalian telah banyak memperbincangkan) Objek pembicaraan tidak disebutkan secara tekstual karena telah diketahui dari konteks kalimat. Adapun maksud pembicaraan di sini adalah pengingkaran atau sepertinya.

Catatan Penting: Pembangunan Masjid Nabawi yang dilakukan oleh Utsman berlangsung pada tahun 30 H menurut pendapat yang masyhur, namun ada pula yang mengatakan pada akhir masa pemerintahannya. Dalam kitab As-Siyar dari Al Harits bin Miskin dari lbnu Wahab, Malik telah mengabarkan kepadaku bahwa Ka’ab Al Ahbar berkata ketika Utsman membangun Masjid Nabawi, “Aku berharap pembangunan masjid ini tidak diteruskan, sebab setelah selesai niscaya Utsman dibunuh.” Malik berkata, “Demikianlah yang terjadi.” Saya (lbnu Hajar) katakan, mungkin kedua riwayat tersebut dapat dipadukan dengan mengatakan bahwa riwayat pertama menjelaskan waktu permulaan pembangunannya, sedangkan riwayat kedua menjelaskan waktu selesainya.

Baca Juga:  Memahami Hadits Tentang Harumnya Aroma Mulut Orang yang Berpuasa

مَنْ بَنَى مَسْجِدًا (barangsiapa membangun masjid) Makna pernyataan ini mencakup semua orang, kecil maupun besar. Lalu disebutkan dalam riwayat Anas yang dikutip oleh Imam Tirmidzi dengan lafazh, “kecil maupun besar”. Kemudian Ibnu Abi Syaibah menambahkan keterangan pada hadits bab ini melalui jalur lain dari Utsman, “Meski sebesar sarang”. Tambahan ini ditemukan pada riwayat Ibnu Hibban dan Al Bazzar dari hadits Abu Dzar, riwayat Abu Muslim Al Kujji dari hadits Ibnu Abbas, riwayat Ath-Thabrani dalam kitab Al Ausath dari hadits Anas dan Ibnu Umar, Abu Nu’aim dalam kitab Al Hilyah dari hadits Abu Bakar Ash-Shiddiq. Kemudian lbnu Khuzaimah juga meriwayatkan dari hadits Jabir dengan lafazh, “Meski sebesar sarang burung atau lebih kecil lagi”. Namun sebagian ulama memahami hadits ini sebagai suatu penekanan, sebab luas sarang yang dibuat oleh burung untuk digunakan menyimpan telur dan tempat tidurnya tidak mencukupi untuk dipakai melakukan shalat. Pernyataan ini diperkuat oleh riwayat Jabir di atas. Akan tetapi ada pula yang memahami sebagaimana makna lahiriahnya, yaitu apabila seseorang menambahkan sesuatu yang dibutuhkan di masjid maka tambahan tersebut dibalas dengan pahala sepertinya. Atau bisa pula sekelompok orang bersama-sama membangun masjid, maka ganjaran mereka sebesar partisipasi masing-masing.

Semua pendapat tersebut berdasarkan, bahwa yang dimaksud masjid dalam hadits adalah tempat yang digunakan untuk shalat. Adapun jika yang dimaksud adalah tempat sujud, yaitu tempat yang cukup untuk meletakkan kening, maka tidak membutuhkan penafsiran yang telah disebutkan. Akan tetapi, lafazh “Membangun” memberi indikasi adanya bangunan sebagaimana hakikatnya. Hal ini didukung oleh sabda beliau SAW dalam riwayat Ummu Habibah, “Barangsiapa yang membangun rumah karena Allah.” (Diriwayatkan oleh Samwaeh dalam kitab Al Fawa’id dengan sanad hasan). Demikian pula sabda beliau dalam riwayat Umar, “Barangsiapa yang membangun masjid yang disebut di dalamnya nama Allah.” (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban). An-Nasa’i juga meriwayatkan seperti itu dari Amr bin Anbasah. Semua itu memberi isyarat bahwa yang dimaksud masjid adalah tempat tersendiri, bukan sekedar tempat sujud. Meskipun demikian, tidak ada halangan bila makna lain masuk di dalamnya dari segi kiasan (majaz), sebab bangunan segala sesuatu sesuai dengan kebutuhan. Kami telah menyaksikan sejumlah masjid yang dibangun di tepi-tepi jalan untuk musafir, mereka menghadapkannya ke arah kiblat sementara ukurannya kecil bahkan ada di antaranya yang tidak lebih besar dari tempat sujud.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 260 – Kitab Mandi

Al Baihaqi meriwayatkan seperti hadits Utsman dalam kitab Syu ‘ab dari Aisyah, lalu beliau menambahkan, “Aku berkata, ‘Masjid­-masjid yang ada di tepi jalan?’ Beliau menjawab, ‘Ya’.” Riwayat senada dinukil pula oleh Ath-Thabrani dari hadits Abu Qurshafah, dan sanad kedua riwayat ini derajatnya hasan.

يَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ اللَّهِ (demi mengharapkan wajah Allah) Yakni ia mengharapkan keridhaan Allah, maksudnya adalah ikhlas. Lafazh ini tidak dinyatakan dengan tegas oleh Bukair dalam hadits yang diriwayatkannya, dan aku tidak menemukannya selain pada jalur periwayatan beliau. Seolah-olah dalam hadits ini tidak ada lafazh seperti itu, karena semua perawi yang menukil hadits ini dari Utsman dengan berbagai jalurnya menyebutkan (Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah). Sepertinya Bukair lupa lafazh tersebut, lalu menyebutkannya secara makna dengan sedikit ragu dikarenakan lafazh “karena Allah” sama dengan kalimat “mengharapkan ridha Allah,” sebab keduanya memiliki maksud yang sama yaitu ikhlas.

Pelajaran yang dapat diambil: Ibnu Al Jauzi berkata, “Barangsiapa yang menulis namanya pada masjid yang dibangunnya, maka ia sangat jauh dari keikhlasan.” Barangsiapa yang membangunnya dengan mengharapkan upah, maka ia tidak memperoleh apa yang telah dijanjikan dalam hadits karena tidak adanya rasa keikhlasan, meskipun ia tetap diberi pahala secara garis besarnya.

Para penulis kitab Sunan, Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim dari hadits Uqbah bin Amir telah meriwayatkan dari Nabi SAW, “Sesungguhnya Allah SWT memasukkan tiga orang ke dalam surga dengan sebab satu anak panah; orang yang membuatnya dengan mengharapkan ganjaran atas pekerjaannya, orang yang melemparkannya dan orang yang menyiapkannya.”

Kalimat “Orang yang membuatnya dengan mengharapkan ganjaran atas pekerjaannya”, yakni ia bermaksud membantu para mujahid. Namun lafazh tersebut lebih umum, bisa saja berupa perbuatan suka rela dan bisa pula mengharapkan imbalan. Akan tetapi keikhlasan tidak didapat kecuali pada orang yang melakukannya dengan suka rela.

Kemudian apakah pahala yang dijanjikan dalam hadits di atas diperoleh pula oleh orang yang menjadikan area tanah tertentu sebagai masjid, seperti dengan memagarinya tanpa membangun apapun di atasnya. Demikian pula dengan orang yang dengan sengaja menjadikan bangunan yang dimilikinya sebagai wakaf untuk digunakan sebagai masjid.

Jawabannya, “Apabila kita berhenti pada lahiriah lafazh hadits, maka orang tersebut tidak mendapatkan pahala yang disebutkan. Namun bila kita melihat kepada makna kandungan hadits, maka orang tersebut berhak mendapatkan pahala yang dimaksud.”

Demikian pula lafazh “Membangun”, secara hakikat adalah untuk mereka yang menangani langsung proses pembangunan. Akan tetapi jika dilihat dari maknanya, mencakup pula orang yang menyuruh untuk membangunnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Utsman bin Affan RA, dimana beliau berdalil dengan hadits di atas tentang apa yang terjadi dengan beliau sendiri, sementara diketahui secara umum bahwa beliau tidak mengerjakannya secara langsung.

مِثْلَهُ (serupa dengannya) Kata “serupa” digunakan pada dua makna. Pertama, untuk menyatakan kesamaan secara mutlak sebagaimana firman-Nya, “Maka mereka berkata, ‘Apakah kami akan beriman kepada dua orang manusia yang serupa dengan kami ‘.” (Qs. Al Mukminuun(23): 47) Kedua, untuk menyatakan makna kesamaan dari segala sisi seperti firman-Nya, “Umat-umat serupa dengan kamu.” (Qs. Al An’aam(6): 38)

Baca Juga:  Kajian Singkat Bagaimana Memahami Hadits Kullu Bid'atin Dholalah

Berdasarkan makna pertama, maka tidak tertutup kemungkinan bila ganjaran yang dijanjikan terdiri dari sejumlah bangunan. Maka dari sini diperoleh jawaban atas mereka yang mempertanyakan maksud disebutkannya lafazh “serupa” dalam hadits, sementara telah diketahui bahwa satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa. Karena, ada kemungkinan maksud hadits tersebut bahwa Allah SWT membangun untuknya sepuluh bangunan yang serupa dengan masjid yang dibangunnya. Namun pada dasarnya satu kebaikan dibalas dengan satu ganjaran menurut keadilan. Adapun bila dibalas lebih dari itu, maka hal itu termasuk karunia Allah SWT.

Adapun orang yang menjawab pertanyaan di atas dengan mengatakan bahwa ada kemungkinan beliau SAW mengucapkan sabdanya ini sebelum turunnya firman Allah, “Barangsiapa yang datang membawa kebaikan maka baginya sepuluh kebaikan serupa,” (Qs. Al An’aam(6):160) sungguh jawaban ini cukup jauh dari kebenaran. Demikian pula halnya dengan mereka yang menjawab bahwa pembatasan dengan satu ganjaran tidak menafikan (meniadakan) ganjaran yang lebih dari itu.

Di antara jawaban yang bisa diterima, bahwa keserupaan di sini ditinjau dari segi jumlah sedangkan tambahan ganjarannya ditinjau dari segi kualitasnya. Sebab, betapa banyak satu rumah yang lebih baik daripada sepuluh atau bahkan seratus rumah. Atau yang dimaksud dengan keserupaan dalam hadits ini, bahwa balasan kebaikan tersebut dilihat dari jenis bangunan itu sendiri bukan dari yang lainnya tanpa memperhatikan adanya ganjaran lainnya. Sementara perbedaan sudah didapatkan secara pasti bila ditinjau dari sisi sempitnya dunia dan keluasan surga, yang mana satu jengkal tempat di dalamnya lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya, sebagaimana disebutkan dalam kitab Shahih. Imam Ahmad meriwayatkan dari hadits Watsilah dengan lafazh, (Allah akan membangun untuknya di surga yang lebih baik darinya). Dalam riwayat Ath-Thabrani dari hadits Umamah disebutkan, (Lebih luas darinya). Semua ini mengisyaratkan bahwa keserupaan tidak dimaksudkan kesamaan dari segala sisi. Imam An-Nawawi berkata, “Kemungkinan yang dimaksud adalah bahwa keutamaannya atas rumah-rumah di surga seperti keutamaan masjid atas rumah-rumah di dunia.”

فِي الْجَنَّةِ (di surga) Di sini terdapat isyarat bahwa pelaku perbuatan itu akan masuk surga. Sebab, maksud dibangunnya rumah untuknya adalah untuk ditempati, sementara ia tidak akan menempatinya kecuali setelah masuk surga. Wallahu a ‘lam.

M Resky S