Hadits Shahih Al-Bukhari No. 61 – Kitab Ilmu

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 61 – Kitab Ilmu ini, Keterangan tentang ilmu,diantaranya firman Allah Ta’ala: “Dan katakanlah, Ya Rabb tambahkanlah aku ilmu…”. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 1 Kitab Ilmu. Halaman 279-287.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ سَعِيدٍ هُوَ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ شَرِيكِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي نَمِرٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ دَخَلَ رَجُلٌ عَلَى جَمَلٍ فَأَنَاخَهُ فِي الْمَسْجِدِ ثُمَّ عَقَلَهُ ثُمَّ قَالَ لَهُمْ أَيُّكُمْ مُحَمَّدٌ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَّكِئٌ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِمْ فَقُلْنَا هَذَا الرَّجُلُ الْأَبْيَضُ الْمُتَّكِئُ فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ يَا ابْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَجَبْتُكَ فَقَالَ الرَّجُلُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي سَائِلُكَ فَمُشَدِّدٌ عَلَيْكَ فِي الْمَسْأَلَةِ فَلَا تَجِدْ عَلَيَّ فِي نَفْسِكَ فَقَالَ سَلْ عَمَّا بَدَا لَكَ فَقَالَ أَسْأَلُكَ بِرَبِّكَ وَرَبِّ مَنْ قَبْلَكَ أَاللَّهُ أَرْسَلَكَ إِلَى النَّاسِ كُلِّهِمْ فَقَالَ اللَّهُمَّ نَعَمْ قَالَ أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ أَاللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ نُصَلِّيَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ قَالَ اللَّهُمَّ نَعَمْ قَالَ أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ أَاللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ نَصُومَ هَذَا الشَّهْرَ مِنْ السَّنَةِ قَالَ اللَّهُمَّ نَعَمْ قَالَ أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ أَاللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ تَأْخُذَ هَذِهِ الصَّدَقَةَ مِنْ أَغْنِيَائِنَا فَتَقْسِمَهَا عَلَى فُقَرَائِنَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ نَعَمْ فَقَالَ الرَّجُلُ آمَنْتُ بِمَا جِئْتَ بِهِ وَأَنَا رَسُولُ مَنْ وَرَائِي مِنْ قَوْمِي وَأَنَا ضِمَامُ بْنُ ثَعْلَبَةَ أَخُو بَنِي سَعْدِ بْنِ بَكْرٍ وَرَوَاهُ مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ وَعَلِيُّ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ المُغِيرَةِ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَذَا

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Yusuf] berkata, telah menceritakan kepada kami [Al Laits] dari [Sa’id Al Maqburi] dari [Syarik bin Abdullah bin Abu Namir] bahwa dia mendengar [Anas bin Malik] berkata: Ketika kami sedang duduk-duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam didalam Masjid, ada seorang yang menunggang unta datang lalu menambatkannya di dekat Masjid lalu berkata kepada mereka (para sahabat): “Siapa diantara kalian yang bernama Muhammad?” Pada saat itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersandaran di tengah para sahabat, lalu kami menjawab: “orang Ini, yang berkulit putih yang sedang bersandar”. Orang itu berkata kepada Beliau; “Wahai putra Abdul Muththalib” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ya, aku sudah menjawabmu”. Maka orang itu berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Aku bertanya kepadamu persoalan yang mungkin berat buatmu namun janganlah kamu merasakan sesuatu terhadapku.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Tanyalah apa yang menjadi persoalanmu”. Orang itu berkata: “Aku bertanya kepadamu demi Rabbmu dan Rabb orang-orang sebelummu. Apakah Allah yang mengutusmu kepada manusia seluruhnya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Demi Allah, ya benar!” Kata orang itu: “Aku bersumpah kepadamu atas nama Allah, apakah Allah yang memerintahkanmu supaya kami shalat lima (waktu) dalam sehari semalam?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Demi Allah, ya benar!” Kata orang itu: “Aku bersumpah kepadamu atas nama Allah, apakah Allah yang memerintahkanmu supaya kami puasa di bulan ini dalam satu tahun?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Demi Allah, ya benar!” Kata orang itu: “Aku bersumpah kepadamu atas nama Allah, apakah Allah yang memerintahkanmu supaya mengambil sedekah dari orang-orang kaya di antara kami lalu membagikannya kepada orang-orang fakir diantara kami?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Demi Allah, ya benar!” Kata orang itu: “Aku beriman dengan apa yang engkau bawa dan aku adalah utusan kaumku, aku Dlamam bin Tsa’labah saudara dari Bani Sa’d bin Bakr.” Begitulah (kisah tadi) sebagaimana yang diriwayatkan oleh [Musa bin Isma’il] dan [Ali bin Abdul Hamid] dari [Sulaiman bin Al Mughirah] dari [Tsabit] dari [Anas] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Keterangan Hadis: Membaca berbeda dengan ardh, karena membaca lebih umum daripada ‘ardh. Seorang murid tidak dapat melakukan ‘ardh, kecuali dengan membaca, karena ‘ardh adalah apa yang dikemukakan oleh seorang murid kepada syaikhnya atau kepada orang lain dengan kehadiran syaikhnya, dimana hal itu lebih khusus daripada qira’ah (membaca).

Sebagian orang memperluas pengertian ‘ardh, yaitu jika seseorang menghadirkan syaikhnya yang asli dan melihatnya serta ia mengetahui kebenarannya, lalu ia mengizinkan untuk meriwayatkan darinya. Sebenarnya, pengertian semacam ini disebut dengan ‘Ardhul Munawalah.

Sebagian ulama salaf tidak menambah apa yang mereka dengar dari para syaikhnya, tanpa harus membaca kepada syaikhnya. Untuk itu, Bukhari menulis bab khusus tentang bolehnya hal tersebut dan mengemukakan perkataan Hasan Al Bashri yang membolehkan qira’ah kepada orang yang berilmu, kemudian Imam Bukhari bersandar kepadanya setelah mengkritiknya. Kemudian diriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsauri, dan Malik berpendapat bahwa mendengar dari orang-orang berilmu adalah sama dengan membaca kepadanya.

Hal itu dijadikan dalil oleh Humaidi, guru Imam Bukhari yang dijelaskan dalam bukunya An-Nawadir. Ini juga dikatakan sebagian orang yang bertemu dengannya atau mengikutinya. Kemudian saya melihat ada perbedaan dalam hal ini, bahwa yang mengatakannya adalah Abu Said Al Haddad yang diriwayatkan Baihaqi dalam kitab Ma ‘rifah dari Ibnu Kliuzaimah. Ia berkata, “Saya mendengar Muhammad bin Ismail Al Bukhari mengatakan bahwa, Abu Said Al Haddad berkata, ‘Saya mempunyai berita dari Nabi tentang membaca kepada orang yang berilmu.’ Maka ditanyakan kepadanya, dan ia menceritakan kisah Dhimam bin Tsa’labah.”

Dalam matan hadits yang dijelaskan oleh Imam Bukhari, tidak terdapat hadits Anas dalam kisah Dhimum yang memhentahu kaumnya tentang masalah tersebut. Tetapi hal itu terdapat dalam jalur lain yang disebutkan Ahmad dan lainnya dari jalur Ibnu lshaq. la berkala, “Dari Ibnu Abbas, bahwa Bani Saad Bin Bakar mengutus Dhimam bin Tsa’labah, maka disebutkan hadits panjang dan diakhimya Dhimam berkata pada kaumnya saat kembali pada mereka,

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 303 – Kitab Haid

Sesungguhnya Allah telah mengutus rasul dan menurunkan kitab kepadanya. Saya telah datang kepada kalian dengan apa yang dibawanya dan dengan apa-apa yang diperintahkan dan dilarang untuk kalian. Demi Allah, tidak ada pada hari itu dan selelahnya laki-laki dan perempuan, kecuali lelah menjadi muslim’.” Perkataan Bukhari “membolehkan” atau memberi izin, tidak dimaksudkan memberi ijazah seperti istilah yang digunakan diantara ahli hadits.

Perkataannya (Malik berdalil dengan buku atau tulisan) Imam Jauhari berkata,bahwa kata “asshakku” berarti buku, kata tersebut berasal dari bahasa Persia yang teiah masuk ke dalam kosa kata Arab. Adapun maksudnya di sini, adalah sesuatu yang tertulis di dalamnya pengakuan seseorang apabila dibacakan sesuatu kepadanya, kemudian ia mengatakan, “Ya atau benar”. Maka boleh bersaksi dengannya atau memberi izin, meskipun orang itu belum melafazhkan apa-apa. Begitu juga apabila dibacakan kepada orang-orang berilmu dan ia mengakuinya, maka dibenarkan untuk meriwayatkan darinya.

Sedangkan Imam Malik dalam menganalogikan membaca hadits dengan membaca Al Qur’an seperti yang diriwayatkan Khatib dalam kitab Kifayah dari jalur Ibnu Wahab, ia berkata, “Saya mendengar Malik ditanya tentang buku yang dibacakan kepadanya, apakah seseorang akan mengatakan حَدَّثَنِي  (dia telah menceritakan kepadaku)?’ 1 Maka ia menjawab, “Ya, begitu juga dengan Al Qur’an.” Bukankah hal ini juga benar jika seorang membaca kepada orang lain, lalu ia berkata, “Fulan telah membacakan untuk saya?”

Diriwayatkan hakim dalam Ulumul Hadits dari jalur Mutharrif, ia mengatakan, “Saya berteman dengan Malik selama 17 tahun. Saya tidak melihat dia membacakan Al Muwatha’ kepada seorang pun, bahkan merekalah yang membacakan kepadanya, dan saya mendengar dia menolak keras siapa yang mengatakan, ‘Tidak cukup, kecuali mendengar dari lafazh syaikh.'” Beliau berkata, “Bagaimana hal ini tidak cukup bagi anda, sesuatu yang telah disebutkan dalam hadits dan dibenarkan dalam Al Qur’an, padahal Al Qur’an adalah lebih mulia dan agung?”

Sesungguhnya sebagian perawi yang berhaluan keras dari Irak mengatakan, bahwa telah diriwayatkan oleh Khatib dari Ibrahim bin Sa’ad, “Janganlah kamu menganggap bahwa membaca seperti mendengar, karena sebagian penduduk Madinah dan lainnya berbeda pendapat dengan mereka dan mengatakan, ‘Sesungguhnya membaca pada syaikh lebih mulia dari pada mendengar lafazhnya.”

Dari Abu Ubaid, ia berkata, “Membaca pada saya lebih melekat dan lebih paham daripada saya yang membacakan. Tetapi yang masyhur dari Malik sebagaimana dinukil oleh Bukhari dan Sufyan Tsauri bahwa dua hal mi adalah sama. Adapun yang masyhur dari jumhur ulama, bahwa mendengar dari syaikh lebih mulia tingkatannya daripada membacakan kepadanya.”

Adapun perkataan Hasan, “Membaca kepada orang yang berilmu adalah diperbolehkan.” Hadits ini diriwayatkan oleh Khatib. Dikeluarkan dan Jalur Ahmad bin Hambal dari Muhammad bin Hasan Al Wasilh dan Auf Al A’rabi, bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Hasan, maka ia berkata, “Wahai Abu Said, rumah saya jauh, sehingga membuat saya susah. Apabila kamu mengizinkan, maka saya akan membaca (belajar) kepadamu. Saya tidak peduli, saya membacakan padamu atau kamu membacakan pada saya.” Ia berkata, “Maka saya mengatakan Hasan telah menceritakan kepada saya?” la menjawab, “Ya, katakan bahwa Hasan berbicara kepada saya.”

Diriwayatkan oleh Abu Fadhl Sulaimani dalam Kitab Al Hatstsu ‘ala Thalabil Hadits dari jalur Sahal bin Mutawakkil, ia berkata, “Muhammad bin Salam mengatakan kepada saya dengan lafazh,’Kita berkata kepada Hasan, apakah yang patut kita katakan untuk buku yang kita bacakan kepadamu?'” Ia mengatakan, “Katakanlah, Hasan telah menceritakan kepada kami.”

Dalam riwayat Ismail dari jalur Yunus bin Muhammad dari Laits, حَدَّثَنِي سَعِيد Demikian juga Ibnu Mundih dari jalur Ibnu Wahab dari Laits. Hal ini mengandung dalil bahwa riwayat Imam Nasa’i dari jalur Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’ad dari Laits, “Muhammad bin Al ‘Ajlani dan lainnya menceritakan kepada saya dari Said,” adalah riwayat yang masih diragukan dan banyak tambahan dalam sanad-sanadnya, atau mungkin Imam Laits mendengar dari Sa’id dengan perantara, kemudian ia bertemu dengannya dan berbicara.

Dalam perbedaan yang lain, apa yang diriwayatkan oleh Nasa’i dan Baghawi dari jalur Harits bin Umair dari Ubaidillah bin Umar, disebutkan oleh Ibnu Mundih dari jalur Adh-Dhahhak bin Utsman yang keduanya dari Said dari Abu Hurairah.

Namun menurut Imam Bukhari perbedaan ini tidak mengapa, karena Laits lebih menguatkan Said Al Maqburi dengan kemungkinan bahwa Said memiliki dua guru. Tetapi riwayat Laits yang dikuatkan, karena riwayat Al Maqburi dari Abu Hurairah telah dikenal.

Imam Daruquthni mengatakan, bahwa telah diriwayatkan oleh Ubaidillah bin Umar dan saudaranya -Abdullah dan Adh-Dhahhak bin Utsman- dari Maqburi dari Abu Hurairah, namun mereka meragukan bahwa perkataan tersebut adalah perkataan Laits.

Sedangkan Imam Muslim tidak meriwayatkan dan” jalur ini, tetapi ia meriwayatkanya dari jalur Sulaiman bin Mughirah dari Tsabit dari Anas. Hal itu telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar setelah jalur ini.

Tidak diketahui nama sebenarnya dari Ibnu Abi Namtr, namun Ibnu Saad menyebutkan bahwa ia termasuk salah seorang sahabat. Yang dimaksud dengan masjid dalam hadits ini, adalah masjid Rasulullah.

Keberadaan Rasulullah bersama para sahabatnya menandakan bahwa beliau telah meninggalkan sifat takabur. Beliau dikelilingi oleh mereka dari segala sisi. Dalam riwayat Musa bin Ismail disebutkan, “Dari Anas, ia berkata, “Kami dilarang untuk bertanya kepada Nabi mengenai Al Qur’an. Kemudian terjadi sesuatu yang mengejutkan kita, yaitu datangnya seorang laki-laki badui yang cerdas yang bertanya kepada Muhammad SAW dan kita mendengarkannya,” seakan-akan Anas mengisyaratkan kepada suatu ayat dalam surah Al Maa’idah. Pembicaraan lebih luas tentang hal ini akan dibahas dalam tafsir, insya Allah.

Baca Juga:  Kajian Aswaja: Apa Sih Yang Dimaksud Bid'ah Dalam Hadits Rasulullah SAW?

Ibnu Baththal mengambil kesimpulan dari kalimat (Dalam Masjid), bahwa air kencing dan tahi unta adalah suci, karena Nabi tidak menolak keberadaannya dalam masjid. Pendapat ini hanya sebuah kemungkinan, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu’aim, “Dia membawa untanya sampai mendatangi masjid, lalu turun dari unta dan mengikatnya kemudian masuk ke dalam masjid.” Hal itu dijelaskan lagi dalam suatu riwayat dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Hakim, “Dia turun dari untanya di depan pintu masjid kemudian mengikatnya dan masuk.”

Kalimat putih atau kemerah-merahan terdapat dalam riwayat Harits bin Umair. Hamzah bin Harits berkata, “Dia putih kemerahmerahan.” Riwayat ini untuk menguatkan sifat Nabi SAW, bahwa beliau tidak putih dan tidak pula sawo matang atau tidak putih sekali.

قَدْ أَجَبْتُكَ (saya mendengarmu) atau turunnya ketetapan Nabi kepada para sahabat untuk memberitahukan sesuatu dari beliau. Konon dikatakan bahwa beliau belum mengatakan “Ya“, karena orang badui im tidak berbicara kepada Nabi sesuai dengan kedudukan beliau yang mulia, sebagaimana firman Allah, “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian yang lain. “(Qs. An-Nuur {24); 63)

Merupakan sesuatu yang dimaafkan, jika kita mengatakan bahwa dia datang dalam keadaan muslim dan larangan itu belum sampai kepadanya, karena perbuatan tersebut merupakan sisa-sisa tabiat kasar orang Arab. Kita dapat melihatnya dalam ucapannya setelah itu, “Saya mendesak kamu dalam masalah,” dan perkataannya dalam riwayat Tsabit, “Utusanmu menganggap bahwa kamu menduga.”

Inilah yang terdapat pada awal riwayat Tsabit dari Anas, “Kita dilarang dalam Al Qur’an untuk bertanya kepada Rasulullah tentang sesuatu, dan yang mengejutkan kita adalah datangnya seorang laki-laki dari badui yang cerdas dan bertanya kepada Rasul sedangkan kita mendengarkan.”

Abu Awanah menambahkan dalam Shahihnya, “Mereka lebih berani daripada kita.” Para sahabat berhenti saat ada larangan, dan mereka mendapatkan keringanan karena ketidaktahuan mereka. Sahabat berangan-angan supaya badui yang cerdas itu tahu apa-apa yang ditanyakannya.

Dalam riwayat Tsabit dari Ziyad bahwa dia membenarkan apa yang ia tanyakan dan mengulang sumpah dalam setiap masalah sebagai penguat ketetapannya, semua itu merupakan dalil atas tingkah lakunya yang baik dan kecerdasan akalnya. Maka Umar berkata dalam riwayat Abu Hurairah, “Saya tidak melihat seorang pun yang lebih teliti dan kritis dalam setiap permasalahan daripada Dhimam.”

Perkataannya أَنْشُدُكَ (Meninggikan suara), artinya saya bertanya padamu dengan meninggikan suara, sebagaimana perkataaan Al Baghawi dalam Syarah Sunnah. Jauhari berkata, “Kamu meminta kepada Allah, seolah-olah kamu mengingat dan diingat.”

Sebenarnya jawaban Rasul itu menggunakan kata “Ya” (na’am). Tetapi dalam hadits ini Rasul menyebutkan Allahumma, karena untuk mencari berkah, seakan-akan beliau bersaksi kepada Allah untuk menguatkan keimanannya.

Dalam riwayat Musa dikatakan, “Kamu benar”. Kemudian ia bertanya, “Siapa yang menciptakan langit?” Dijawab, “Allah.” Siapa yang menciptakan bumi dan gunung? Dijawab, “Allah.” Siapa yang menciptakan manfaat? Dijawab, “Allah.” Siapa yang menciptakan langit, bumi, mendirikan gunung dan menciptakan manfaat di dalamnya, apakah Allah yang mengutusmu? Rasul menjawab, “Ya.” Demikianlah yang dijelaskan dalam riwayat Imam Bukhari.

أَنْ تُصَلِّ (Hendaknya kamu mengerjakan shalat). Dalam riwayat Al Ushaili menggunakan “nun” أَنْ نُصَلِّيَ (hendaknya kita mengerjakan shalat). Hal ini dikuatkan oleh riwayat Tsabit, “Hendaknya kita shalat lima waktu sehari semalam).

أَنْ تَأْخُذ هَذِهِ الصَّدَقَة (Kamu ambil sedekah ini). Ibnu Tin berkata, bahwa hal ini mengandung dalil tidak diperbolehkannya seseorang untuk membedakan sedekahnya sendiri. Saya katakan bahwa pendapat ini masih harus diteliti kembali.

عَلَى فُقَرَائِنَا (Kepada fakir miskin kita). Ha! ini tidak termasuk keumuman mereka, karena mayoritas mereka adalah ahli shadaqah.

آمَنْت بِمَا جِئْت بِهِ (Saya beriman dengan apa yang kamu bawa). Kemungkinan ungkapan ini adalah khabar dan merupakan pilihan Bukhari yang dikuatkan Qadhi ‘lyadh, bahwa dia (orang badui) datang setelah masuk Islam untuk meyakinkan kepada Rasul apa yang dikhabarkan utusan beliau kepada mereka (Dhimam bin Tsa’labah).

Dalam riwayat Tsabit dari Muslim dikatakan, “Utusan kamu menduga.” Dalam riwayat Karib dari Ibnu Abbas dan Thabrani, “Telah datang kepada kita kitabmu dan urusanmu.” Hakim mengambil kesimpulan dari kisah tersebut, yaitu anjuran untuk mengambil hadits dari sanad yang paling tinggi. Dalam hal ini orang badui tersebut tidak hanya mempercayai apa yang didengar dari Rasulullah SAW, tetapi dia ingin mendengarkan langsung dari Rasulullah.

Imam Al Qurtubi mengatakan, bahwa kata الزَّعْم adalah perkataan yang tidak dapat dipercaya, demikian juga kata Ibnu Sakir. Namun saya mengatakan, bahwa pedapat itu masih harus diteliti kembali, karena الزَّعْم juga digunakan dalam perkataan yang benar atau yang terjadi, seperti yang dinukil Abu Umar Zaid dalam menjelaskan kefasihan Syaikh Tsa’lab.

Adapun Syibawaih banyak mengatakan زَعَمَ الْخَلِيل untuk dijadikan dasar dalil. Hal itu telah kami jelaskan dalam hadits Abu Sufyan tentang permulaan turunnya wahyu.

Sedangkan penyusunan bab “Orang Musyrik Masuk Masjid” oleh Abu Daud, bukan berarti bahwa Dhimam datang dalam keadaan musyrik, tetapi maksudnya adalah mereka membiarkan seseorang datang dan masuk masjid.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 481 – Kitab Shalat

Adapun perkatannya (Saya beriman) merupakan pemberitahuan bahwa dia tidak menanyakan tentang tauhid, tetapi menanyakan keumuman risalah dan syariat Islam. Sebaliknya, Al Ojjrtubi mengambil kesimpulan dari hadits tersebut untuk menyatakan keabsahan iman seorang muqallid (orang yang bertaqlid) kepada rasul, walaupun belum nampak mukjizatnya. Demikian yang diisyaratkan oleh Ibnu Shalah.

Peringatan

Dalam riwayat Syarik tidak disebutkan (haji), tapi Muslim dan yang lainnya menyebutkannya. Musa mengatakan dalam riwayatnya, “Melaksanakan haji ke Baitullah merupakan kewajiban bagi yang mampu?” Hal ini diriwayatkan juga oleh Muslim dalam hadits Abu Hurairah dan Ibnu Abbas.

Ibnu Tin menjadi kaget dan berkala, “Sesungguhnya tidak disebutkannya haji, adalah karena haji belum diwajibkan pada saat itu. Seakan-akan hal itu sebagaimana yang diungkapkan Al Waqidi dan Muhammad bin Habib, bahwa datangnya Dhimam adalah tahun kelima, dimana pada tahun itu belum diwajibkan haji. Tetapi, pendapat ini tidak dapat diterima dari berbagai segi.

Pertama, dalam riwayat Muslim bahwa kedatangannya adalah setelah turunnya larangan dalam Al Qur’an untuk bertanya kepada Nabi, dan ayat larangan ini (surah Al Maa’idah) turunnya terakhir.

Kedua, bahwa pengiriman utusan untuk menyerukan kepada Islam dimulai setelah perjanjian Hudaibiyah dan pengiriman sebagian besar utusan itu setelah fathu Makkah.

Ketiga, dalam hadits Ibnu Abbas bahwa kaumnya mentaati dan masuk Islam setelah dia kembali kepada mereka, dan Bani Saad – yaitu Ibnu Bakr bin Hawazin – belum masuk Islam, kecuali setelah terjadinya perang Hunain dan itu pada bulan syawal tahun ke-8.

Maka benar bahwa kedatangan Dhimam terjadi pada tahun ke-9 yang dikuatkan Ibnu Ishaq dan Abu Ubaid serta lainnya. Badar Zarkasyi lupa dan mengatakan, bahwa tidak disebutkannya haji dalam riwayat tersebut, karena haji telah diketahui mereka dalam syariat Ibrahim. Seakan-akan dia belum merujuk kepada Shahih Muslim, apalagi yang lainnya.

وَأَنَا رَسُول مَنْ وَرَائِي (Saya utusan dari kaum saya). Dalam riwayat Karib dari Ibnu Abbas dikatakan, bahwa seorang laki-laki dari bani Saad bin Bakr datang menemui Rasulullah yang sedang bersama dengan mereka, maka ia berkata, “Saya utusan kaum saya.” Dalam riwayat Ahamd dan Hakim dikatakan, “Bani Saad bin Bakr mengutus Dhimam bin Tsa’labah sebagai utusan menemui Rasulullah yang sedang bertemu dengan kami,” maka disebutkan hadits ini.

Perkataan Ibnu Abbas “Lalu datang bertemu dengan kami” menunjukkan keterlambatan datangnya utusan itu, karena Ibnu Abbas datang ke Madinah setelah fathu Makkah. Imam Muslim pada akhir hadits mengatakan, “Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak akan mengurangi atau menambah.” Maka Nabi berkata, “Kalau seandainya ia benar beriman, maka akan masuk surga. “Hadits ini juga diriwayatkan Musa bin Ismail.

Dalam riwayat Ubaidillah bin Umar dari Makburi dari Abu Hurairah yang ditujukan kepadanya sebelum tambahan dalam kisah ini, Dhimam berkata, “Sedangkan larangan-larangan ini, demi Allah .sesungguhnya kami telah mensucikan sejak zaman jahiliyah,” yakni keburukan. Ini diucapkannya setelah perkataan, “Saya Dhimam bin Tsa’labah”. Setelah dia pergi. Nabi berkala, “Laki-laki yang cerdas.”

Umar bin Khaththab berkata, “Saya tidak melihat seseorang lebih baik dan teliti dari Dhimam.” Dalam akhir hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Abu Daud dikatakan, “Kita tidak mendengar utusan kaum yang lebih baik dari Dhimam.”

Dari hadils ini terdapat beberapa faidah yang lain, diantaranya kedatangan Dhimam yang bertujuan untuk bertemu dan berbicara kepada Rasulullah seperti yang dipaparkan oleh Hakim. Kemudian kembalinya Dhimam kepada kaumnya dan mereka mempercayainya, seperti dalam hadits Ibnu Abbas. Disamping itu boleh menisbatkan seseorang kepada kakeknya apabila ia lebih masyhur dari bapaknya, diantara perkataan Rasulullah SAW pada saat perang Hunain, “Saya anak Abdul Muthalib.” Hal lain adalah diperbolehkannya bersumpah untuk menguatkan apa yang terjadi.

Musa adalah Ibnu Ismail Abu Salamah At-Tabudzuki, guru Imam Bukhari. Haditsnya sampai kepada Nabi menurut Abu Awanah dalam Shahihnya. Sesungguhnya Bukhari mengkritiknya karena dia tidak mengambil dalil dari gurunya, Sulaiman bin Mughirah.

Adapun mengenai apakah hadits ini sampai kepada Rasul (maushul) atau tidak masih diperselisihkan, karena riwayat Hamman bin Salmah dari Tsabit menyebutkan secara mursai dan dikuatkan oleh Daruquthni.

Sebagian yang lain menganggap bahwa hadits ini mempunyai cacat yang menghalanginya untuk dikategorikan dalam hadits shahih. Padahal sebaliknya, hal itu menunjukkan bahwa hadits syarik mempunyai asal.

Peringatan

Ada beberapa teks yang hilang dalam naskah Baghdad yang dibenarkan Abu Muhammad bin Shaghani setelah mendengar dari sahabat-sahabat Abi Waqt dan menerimanya dari banyak catatan, membuatkan untuknya tanda-tanda- setelah perkataannya. “Diriwayatkan Musa dan Ali bin Abdul Hamid dari Sulaiman bin Mughirah dari Tsabit,” dimana teks tersebut adalah, ‘Telah menceritakan kepada kami Musa bin Ismail, Sulaiman bin Mughirah, Tsabit dari Anas.” Lalu ia menjelaskan hadits ini dengan sempurna.

Shaghani berkata, “Hadits ini hilang dari semua naskah, kecuali naskah yang dibacakan kepada Firabri, teman imam Bukhari, sebagaimana pernyataannya, ‘Demikianlah telah hilang teks ini dan semua naskah yang saya teliti dan ketahui.'”

M Resky S