Kebijakan Pemberlakuan Hukum Adat dan Hukum Islam Masa Penjajahan Belanda

Kebijakan Pemberlakuan Hukum Adat dan Hukum Islam Masa Penjajahan Belanda

Pecihitam.org- Pada masa penjajahan Belanda, paling tidak ada dua pendekatan kebijakan pemberlakuan hukum Islam masa penjajahan oleh pemerintah Belanda, yaitu pendekatan pada masa VOC dan masa pemerintahan Hindia Belanda.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pada zaman VOC (1602-1880), tanggal 25 Mei 1670 hukum Islam masa Penjajahan Belanda terutama perdata Islam telah mendapatkan legalitas pemberlakuanya secara positif, yaitu adanya resolusi pemberlakuan kumpulan hukum berisi hukum perkawinan dan hukum kewarisan yang dikenal dengan Compendium Freijer.

Resolusi ini adalah peraturan yang berisi kompilasi hukum Islam yang pertama kali terbit. Tersebar juga kumpulan-kumpulan hukum yang lain di berbagai daerah selain Compendium Freijer, seperti Semarang dengan Koleksi Hukum Jawa Primer Kitab Mukharrar, Cirebon dengan Cirbonsche Rechtboek, dan Makasar yang memiliki Koleksi Hukum Hindia Belanda dari Hoven van Bone di Goa.

Toleransi pemberlakuan hukum Islam pada waktu itu, dikarenakan VOC sedang tersibukan oleh tugas tugas ekspedisi pengambilan komoditi pertanian dari negeri jajahan.

Permulaan abad ke-19 menandai suatu titik balik dengan berakhirnya kontrol VOC dan mulainya pemerintahan yang langsung oleh pemerintah Kerajaan Belanda.

Baca Juga:  Asal Usul Dinasti Mamluk, Dari Kehidupan Budak Hingga Keruntuhannya

Dalam tahun-tahun berikutnya, hukum Islam secara bertahap dikebiri oleh otoritas penjajah Belanda. Ini dapat dilihat pada kebijakan Gubernur Jenderal Daendeles (1808-1811) yang mengeluarkan suatu ordonansi pada tahun 1808 untuk daerah pantai pesisir pantai utara Jawa.

Ia menentukan bahwa kepala masjid (penghulu) harus bertindak hanya sebagai penasehat dalam suatu pengadilan umum ketika para pihak yang berperkara adalah orang-orang Islam. 

Keputusan ini dilestarikan oleh Rafles (Inggris) dan juga pemerintahan Belanda selanjutnya, bahkan diberlakukan bukan hanya di pesisisr utara Jawa, tetapi juga kepada seluruh penduduk pribumi, kecuali Batavia, Semarang, dan Surabaya. Akibat dari kebijakan ini adalah fungsi dari penghulu hanya sebagai penasehat saja, tidak bisa sebagai penentu kebijakan atau pemutus hukum.

Pemerintah Hindia Belanda, pasca tahun Napoleonis bersikap lebih liberal terhadap agama-agama non Kristen dari orang pribumi, namun kecenderungan mereka tetap lebih memihak kepada hukum adat.

Hal tersebut terlihat dalam sikap ketidakpastian Belanda dalam memperlakukan hukum Islam. Hingga akhir abad ke-19, kecenderungan ini tetap bertahan dalam pikiran mereka.

Baca Juga:  Karl Von Smith, Seorang Insinyur Belanda yang jadi Murid Mbah Hasyim Asy'ari

Salah satu prinsip penjajahan yang dipegang belanda adalah memberikan toleransi terhadap masyarakat dan institusi pribumi dan berusaha menyatukan mereka demi agenda penjajahan.

Kebijakan inilah yang mendasari dipertahankannya hukum adat oleh pemerintah Belanda. Pada masa VOC sebenarnya telah dimulai kajian hukum adat, tetapi istilah “hukum adat” (adatrecht) baru pertama kali digunakan pada tahun 1900 oleh Hurgronje, yang digunakan untuk menunjuk bentuk-bentuk adat yang mempunyai konsekwensi hukum.

Perkembangan studi hukum adat selama periode penjajahan Belanda, dapat dibagi ke dalam tiga periode:

Pertama, periode tahun 1602 hingga tahun 1800. Secara relatif kajian-kajian tentang hukum adat yang dilakukan pada masa VOC (1602-1800) masih sedikit, kecuali beberapa karya dari beberapa orang seperti Marooned (1754-1836), seorang pegawai Kolonial yang banyak mengumpulkan bahan-bahan tentang adat di Sumatera, Raffles (1781-1826) Gubernur Jawa Tengah selama masa kekuasaan Inggris sejak tahun 1811 hingga 1816, Crawford (1783-1868) yaitu anak buah Raffles, dan Muntinghe (1773-1827) seorang Belanda yang menjadi pegawai di Jawa.

Baca Juga:  Ternyata Malaikat Inilah yang Menggali Sumur Zam-Zam

Kedua, periode tahun 1800 hingga tahun 1865. Oleh van Vollenhoven masa ini disebut sebagai masa “eksplorasi Barat” (Wertern reconnoitering). Tidak dihasilkan banyak karya hukum adat pada masa ini.

Ketiga, periode pasca tahun 1865 hingga masa kemerdekaan. Pada masa ini, Belanda didorong untuk semakin peduli terhadap hukum adat. Tiga figure utama penemu hukum adat pada waktu itu adalah G.A Wilken, Liefrinck, dan Cristian Snouck Hurgronje. Ketiga orang inilah yang membangun fondasi tentang hukum adat di Indonesia.

Mochamad Ari Irawan