Ketika Meja Hijau Jadi Solusi Perbedaan Pendapat Ulama Dibanding Musyawarah

Ketika Meja Hijau Jadi Solusi Perbedaan Pendapat Ulama Dibanding Musyawarah

Pecihitam.org – Dalam perkembangan agama Islam sejak Nabi Muhammad Saw perbedaan pendapat Ulama sudah menjadi hal yang wajar. Seperti contoh dalam hal suksesi kepemimpinan pada masa Khulafaur Rasyidin proses pemilihan khalifah pun berbeda-beda.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Khalifah Abu Bakar diangkat atas kesepakatan bersama para sahabat sepeninggal Rasulullah Saw. Namun Khalifah Umar ditunjuk langsung oleh Khalifah Abu Bakar untuk menggantikannya sebelum beliau wafat.

Pada perkembangan selanjutnya, misalnya dalam hal ilmu fiqh terdapat beragam madzhab yang paling terkenal sampai sekarang berjumlah empat-disamping madzhab yang lain. Sebutlah madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali yang kesemuanya dinisbatkan kepada pelopor madzhab tersebut. Namun perbedaan pendapat ulama tersebut bukan menjadi alat untuk saling menyalahkan, justru yang terjadi adalah saling menghormati.

Perbedaan pendapat tersebut juga terjadi di Indonesia dari awal masuknya agama Islam sampai sekarang. Kisah perbedaan pendapat Ulama yang paling mencolok sebut saja antara Syekh Siti Jenar dengan Walisongo.

Namun karena penulisan sejarah yang dilakukan oleh beberapa sarjana Eropa mengakibatkan label sesat pada ajaran Syekh Siti Jenar. Hal yang sama juga terjadi antara Syekh Hamzah Fansuri dan Nuruddin ar-Raniri.

Baca Juga:  Menelisik Kontroversi Pemberitaan Tentang Muslim Uighur di Tiongkok

Lagi-lagi karena pengaruh Eropa yang pada akhirnya mempertentangkan semua ajaran antara kedua ulama tersebut tanpa mempertimbangkan konteks yang sedang terjadi.

Dalam perkembangan selanjutnya, muncullah dua organisasi massa Islam (ormas) Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1912. Disusul oleh K.H. Hasyim Asy’ari dengan berdirinya Nahdlatul Ulama pada tahun 1926. Keduanya merupakan sahabat karib dalam pengembaraan ilmunya mulai dari Nusantara sampai Makkah.

K.H. Ahmad Dahlan yang hidup di perkotaan Yogyakarta melahirkan pemikiran yang berbeda dengan K.H. Hasyim Asy’ari yang hidup dengan latar belakang petani di Jombang, Jawa Timur.

Perbedaan yang paling mencolok dari kedua ormas tersebut adalah terkait dengan berbagai tradisi yang ada di masyarakat. NU lebih akomodatif terhadap tradisi yang mengakar kuat seperti tahlilan, maulidan, manaqiban dll.

Sedangkan Muhammadiyah menghukuminya sebagai sesuatu hal yang dianggap bid’ah. Namun karena akar sejarah yang kuat, kedua ormas tersebut sama-sama menerima konsep bernegara Indonesia, tanpa perlu menjadikannya sebagai negara Islam secara formal.

Baca Juga:  Fokus Belajar atau Ikut Demo? Pahami Dulu Agar Tak Salah Langkah

Setelah kejatuhan Orde Baru yang dilanjutkan dengan era Reformasi beragam ormas Islam pun muncul. Perbedaan pendapat di kalangan ulama pun makin beragam dalam menyikapi perkembangan masyarakat.

Bahkan sejak era tersebut mulai bermunculan pemikiran-pemikiran radikal yang tumbuh subur sampai hari ini. Tuduhan-tuduhan sesat bahkan liberal mewarnai perbedaan pendapat di antara para pengikutnya.

Namun hari ini perbedaan pendapat di kalangan Ulama diwarnai dengan kebencian terhadap sesama umat Islam. Terlebih dengan adanya KUHP pasal 156 huruf a tentang penistaan agama yang menjadi senjata untuk saling melaporkan ke meja hijau.

Kemudahan mengakses informasi terhadap ceramah-ceramah para ulama (walaupun beberapa tidak dapat dianggap ulama) membuat orang lain mencari-cari kesalahan.

Sifat khilaf (kesalahan) yang melekat pada diri seorang manusia termasuk seorang ulama sekalipun menjadi celah bagi kelompok lain untuk mempidanakan. Yang terbaru adalah Gus Muwafiq yang dianggap merendahkan Nabi Muhammad Saw melalui ceramahnya dilaporkan ke pengadilan-meskipun laporan tersebut ditolak. Permintaan maaf dari yang bersangkutan pun tidak dapat meredakan kebencian antara umat Islam.

Baca Juga:  Nomen et Omen "Manusiaisme"

Aksi saling lapor yang mewarnai keberagaman pendapat dikalangan umat Islam harus segera dihentikan. Atas nama apapun kalau kebencian yang menjadi bungkusnya tidak dapat memajukan peradaban Islam mejadi lebih baik.

Bahkan umat Islam hanya akan disibukkan dengan persoalan-persoalan yang sebenarya dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah, bukan di meja hijau. Menggali kembali khazanah pengetahuan Islam, bukan hanya mengedepankan kebencian.