Mengenang 4 Produk Hukum NU Terkait Partisipasi Perempuan dalam Kekuasaan dari 1967 – 1999

Mengenang 4 Produk Hukum NU Terkait Partisipasi Perempuan dalam Kekuasaan dari 1967 - 1999

Pecihitam.org – Banyak sekali contoh produk hukum NU yang berkaitan dengan partisipasi perempuan di ruang publik, khususnya dalam hal-hal yang berhubungan dengan kekuasaan. Dalam artikel ini ada empat keputusan NU yang akan dikaji, yaitu:

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pertama, Perempuan Menjadi Anggota DPR/DPRD. Perempuan boleh menjadi anggota DPR/DPRD sebagai lembaga permusyawaratan untuk menentukan hukum (subutu  amrin li amrin), bukan sebagai lembaga yang menentukan qada  (lizamil hikmi).

Kebolehan ini disertai dengan berbagai syarat, yaitu, ‘afifah (menjaga diri), mempunyai kapabilitas, menutup aurat, mendapat izin dari yang berhak memberi izin, aman dari fitnah, dan tidak menjadi sebab timbulnya kemungkaran menurut syara’ (Mughni al-Muhtaj, jilid 4, hlm. 371). Keputusan ini diambil dalam Konferensi Besar Syuriyah NU di Surabaya tanggal 19 Maret 1957.

Kedua, Perempuan Menjadi Kepala Desa. Perempuan mencalonkan diri menjadi Kepala Desa tidak boleh, kecuali dalam keadaan terpaksa, karena hukumnya disamakan dengan larangan perempuan menjadi hakim.

Pendapat ini menurut Mazhab Syafi’i, Maliki, Hanbali, dan para ulama salaf dan khalaf. Namun, menurut Mazhab Hanafi, perempuan boleh menjadi pemimpin dalam urusan harta benda, dan menurut Imam Ibn Jarir diperbolehkan dalam segala urusan.

Baca Juga:  Tips Meningkatkan Kualitas Diri bagi Wanita yang Mau Menikah

Dasar keputusan ini dari kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibn Rusyd, juz 2, hlm. 707, dan al-Mizan al-Kubra karya Abdul Wahhab asy-Sya’rani, juz 2, hlm. 189. Keputusan ini diambil dalam Rapat Dewan Partai NU di Salatiga pada tanggal 25 Oktober 1961 M.

Ketiga, Kedudukan Perempuan dalam Islam. Perempuan mendapat tempat mulia dalam Islam. Islam tidak menempatkan perempuan dalam posisi sub ordinat dalam kehidupan masyarakat.

Peran domestik dan publik perempuan bisa berjalan secara seimbang. Sebagai warga negara, perempuan mempunyai hak untuk berpolitik dan melakukan peran sosialnya secara tegas, transparan, dan terlindungi.

Peran-peran publik bagi perempuan diperbolehkan sepanjang perempuan tersebut mempunyai kemampuan dengan tidak melupakan peran domestik.

Partisipasi perempuan di sektor publik merupakan wujud tanggungjawab NU dalam mendorong proses transformasi kultur yang mampu menjadi dinamisator pembangunan nasional di era globalisasi. Hal ini diputuskan dalam Munas NTB 1997.

Baca Juga:  Adab Berhias dalam Islam bagi Muslimah

Keempat, Islam dan Kesetaraan Gender. Islam adalah agama yang menekankan keadilan dan keseimbangan. Relasi gender yang kurang adil dalam masyarakat adalah kenyataan yang menyimpang dari spirit Islam yang menekankan keadilan.

Ada tiga penghalang yang harus dihilangkan untuk mewujudkan hubungan gender yang adil, yaitu teologi, budaya, dan politik. Dalam bidang politik, sistem sosial dan politik harus dibangun secara demokratis dan lepas dari diskriminasi gender dengan mengedepankan prinsip persamaan, keadilan, kebebasan, menghindari penggunaan kekerasan, dan mempunyai keahlian.

Selain itu, harus ada tindakan afirmasi (affirmative action) dan menghilangkan praktek kekerasan dalam politik. Keputusan ini diambil dari Muktamar ke-30 di Lirboyo Jawa Timur tanggal 21-27 Nopember 1999.

Produk hukum NU yang bersifat inklusif dan sensitif gender tidak lepas dari perjuangan para pembaru dalam tubuh NU yang gigih memperjuangkan keadilan gender dalam forum Bahtsul Masail NU.

Mereka siap berhadapan dengan para kiai yang mayoritas masih eksklusif dan eternal dalam memahami teks-teks fikih. Namun, dengan semangat dan cita-cita besar untuk menegakkan keadilan gender, para pembaru di tubuh NU akhirnya berhasil menggolkan keputusan yang spektakuler, seperti dalam Munas NTB tahun 1997 dan Muktamar ke-30 di Lirboyo tahun 1999.

Baca Juga:  Apakah Dagu Wanita Termasuk Aurat dalam Shalat?

Para pembaru tersebut adalah K.H. Masdar Farid Mas’udi, K.H. Said Aqil Siradj, K.H. Said Agil Munawar, K.H. Ahmad Machasin, K.H. Afifuddin Muhajir, Najihah Muhtaram, Machrusah Taufik, Dr. Zaitunah Subhan, dan lainlain.

Mereka tidak mengedepankan argumentasi teks yang biasa digunakan para ulama fiqh, tetapi pendekatan personal, sosiologis, antropologis, historis, dan nasionalis dikedepankan, sehingga para ulama memahami argumentasi mereka.

Mochamad Ari Irawan