Tanda-Tanda Islam Radikal Menurut KH Ali Mustafa Yaqub

islam radikal

Pecihitam.org – Menurut Gus Nadirsyah Hosen, tiga Khalifah Rasulullah saw yaitu Umar, Utsman, Ali ra semua mati dibunuh. Utsman dan Ali dibunuh oleh kaum muslim itu sendiri. Utsman ra dibunuh saat ia sedang membaca al-Qur’an, Ali dibunuh saat ia melaksanakan shalat.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Zubair dan Thalhah juga dibunuh oleh kaum muslimin. Salman pun demikian. Abu Dzar al-Ghifari meninggal dalam pengasingan. Hasan diracun oleh istrinya sendiri, Husain bersama dengan keluarganya dibantai lalu dipenggal kepalanya oleh pasukan Yazid bin Muawiyah bin Abi Sofyan. Tragedi demi tragedi terjadi dikalangan umat Islam, seakan-akan sejarah Islam adalah sejarah pedang dan darah.

Yang lebih memperihatikan, tragedi terjadi dengan mengatasnamakan agama, prilakunya karena dianggap bagian dari ajaran agama. Seperti khawarij, yang begitu mudah mengkafirkan selain dari golongannya, begitu juga dengan Muawiyah, Yazid dan Bani Abbasiyah.

Dari perjalanan sejarah dapat disimpulkan bahwa dikalangan umat Islam “selalu” ada kelompok yang suka mengatasnamakan agama demi melakukan kekerasan kepada kelompok yang berbeda dengannya. Mereka menjadi kelompok yang ekstrim, keras terhadap yang lain.

Menurut Ali Mustafa Yaqub tanda-tanda kelompok Garis Keras[1] (Paham Islam Radikal), antara lain:

1. Fanatik terhadap pendapatnya sendiri dan tidak mengakui pendapat yang lain.

Manusia itu penuh keterbatasan informasi, pengetahuan. Karena ada kesadaran bahwa manusia itu terbatas maka dalam berpendapat atau mengambil pendapat orang lain, tidak boleh memutlakkan pendapat tersebut sebab tidak ada jaminan bahwa hanya pendapatnya yang benar.

Pendapat tersebut tidak lahir dari petunjuk langsung dari Allah swt, berbeda dengan Nabi yang menerima langsung dari Allah swt. Sekiranya Nabi saw keliru maka ia akan “ditegur” langsung oleh Allah swt. Berbeda dengan ulama, lalu atas dasar apa kita memutlakkan pendapat satu ulama tidak terjamin kebenarannya seperti Nabi saw?

Baca Juga:  Bencana dalam Sudut Pandang Islam, Benarkah Sebuah Ujian?

2. Terikat dengan amalan-amalan yang kaku

Ibadah ritual baik yang sifatnya wajib maupun sunnah pada hakikatnya dapat menyebabkan manusia terjebak pada ibadah ritual tersebut. Melakukan ibadah tanpa makna, tanpa member efek positif pada pelakunya.

Tentu saja ibadah yang seperti ini tidak sesuai dengan tujuan ibadah itu sendiri. Karena itu, jenis ibadah ritual apapun itu ada fungsi dan kegunaannya bukan hanya diwajibkan begitu saja. Ibadah shalat agar kita menjauhi sifat fakhsya dan sifat munkar.

Puasa agar kita memiliki sifat simpati, lebih bagus lagi sifat empati pada orang lain. Zakat bertujuan melahirkan keperhatian kepada orang lain, haji agar kita terhidar dari sifat rafas, fusuq, jidal. Semua ibadah sederhananya membentuk akhlak mulia dan jauh dari akhlak buruk.

3. Keras Kepala yang Tidak pada Tempatnya

Wabah Virus Corona paling tidak mengajarkan kepada kita, tentang satu kelompok yang keras kepala yang tidak pada tempatnya. Saat ahli kesehatan, Pemerintah, Ulama allamah (diakui keilmuannya) menyarankan untuk tidak shalat jumat untuk sementara namun sebagian dari mereka menunjukkan sifat keras kepalanya.

Pemahaman merekan tidak jauh berbeda dari anak kecil yang baru percaya bahayanya sesuatu bila terjadi secara langsung. Tidak boleh taku selain Allah, tetapi dari sanubarinya paling dalam mengakui bahwa kita harus takut pada Ular, Singa, Harimau sebab itu berbahaya.

4. Kasar dalam Ucapan dan Perbuatan

Entah kenapa sebagian umat Islam hari ini, semakin beragama secara lahiriah tetapi sangat kasar ucapannya begitu juga perbuatannya. Kadang saya temukan orang yang tidak rajin ibadah lebih mulia akhlaknya daripada yang rajin ibadah. Bukan ibadahnya yang salah tetapi menangkap intisari dari ibadah itu yang salah.

5. Prasangka Buruk

Selain ucapan dan perbuatannya kasar, ia pun mudah berprasangka buruk kepada orang lain. Kadang saya temukan pertanyaan dari mahasiswaku, apa hukumnya membeli ayam potong di pasar? Atau membeli ditempat yang non muslim?

Baca Juga:  Tunggu Apa Lagi? Sambutlah Kehadiran Nabi dengan Berdiri Saat Mahallul Qiyam

Tentu saja pertanyaan ini tidak salah, namun saya menangkap kesan bahwa seakan-akan selain yang beragama Islam semuanya buruk. Padahal manusia secara fitrah semuanya baik dan menyukai kebaikan. Oleh karena itu, agama menganjurkan untuk mendahulukan positif thinking daripada negatif thinking

6. Mengkafirkan Orang Lain

Sifat yang paling berbahaya dari paham Islam garis keras (radikal) adalah suka atau terkadang mudah mengkafirkan orang lain, hanya karena berbeda paham. Karena menganggap orang lain kafir maka perlakuan kita kepada si kafir itupun penuh dengan kecurigaan, bahkan terkadang karena sudah dianggap kafir maka dihalalkan darahnya untuk ditumpahkan. Seperti yang terjadi pada Imam Ali. 

Sebab-sebab Paham Garis Keras (radikal), antara lain:

1. Pandangan yang Sempit terhadap Hakikat Agama

Ulama dalam menyimpulkan hukum teks-teks agama itu pada umumnya berbeda, kenapa berbeda? Sebab teks agama itu sendiri memungkinkan terjadinya multitafsir. Soal yang membatalkan wudhu saja ulama berbeda-beda, Imam Syafii berpendapat bahwa laki-laki bersentuhan langsung dengan perempuan wudhunya batal. Tentang menjamak dan menqashar shalat, pengambilan illat-nya dikalangan ulama pun berbeda-beda. Dan terlalu banyak perbedaan yang “mustahil” dipecahkan hingga saat ini

2. Tekstual

Aliran tektualis adalah kelompok yang memahami teks-teks agama secara lahiriah. Bagi Jabariah segala perbuatan kita, nasib kita hari ini ditentukan oleh Allah tidak ada ruang bagi manusia untuk berbuat kecuali telah ditentukan oleh Allah.

Qadariah sebaliknya, bahwa manusia punya kemandirian untuk bertindak tanpa harus “terikat” dengan Allah. Keduanya menggunakan teks-teks agama untuk membenarkan pendapatnya masing-masing. 

3. Mempelajari Agama dari Satu Aliran Saja

Baca Juga:  Larangan bagi Manusia Bersifat Sombong Walau Hanya Seberat Dzarroh

Perkembangan tehnologi semestinya berjalan beriringan dengan kedewasaan berpikira manusia sebab segala infomasi tentang segala hal telah tersedia, namun realitasnya tidak demikian. Semakin maju perkembangan teknologi ternyata semakin mundur cara berpikir sebagian manusia.

Semakin banyak bahan bacaan buku ternyata semakin menutup diri dari bacaan tersebut, semakin banyak tempat untuk belajar kepada ulama, namun hanya ulamanya saja yang dianggap ulama. Mempelajari agama dari satu aliran saja, dapat memenjarakan manusia dalam kefanatikan mazhab, merasa diri paling benar.

4. Kurang mengetahui Sejarah, Realitas Kehidupan, dan Sunnatullah

Sejarah umat Islam penuh dengan perbedaan. Imam Syafi’i berbeda dengan gurunya Imam Malik, Imam Malik berbeda dengan Imam Abu Hanifah. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berguru pada Imam Ja’far ash-Shadiq dan merekapun berbeda pendapat. Imam Ahmad berbeda dengan gurunya Imam Syafi’i.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah berbeda dengan gurunya Ibn Taimiyah. Muhammad Rasyid Ridha berbeda dengan gurunya Muhammad Abduh, Abduh pun berbeda dengan gurunya Jamaluddin al-Afghani. Yusuf Qardhawi berbeda dengan gurunya Muhammad al-Ghazali.

Bahkan para sahabat pun berbeda-beda pendapatnya satu denga lainnya. Abdullah bin Mas’ud berbeda dengan Utsman soal menqashar shalat, Aisyah ra berbeda memahami hadis dengan Abdullah bin Umar.

Sejarah perjalanan para sahabat, para ulama adalah sejarah perbedaan. Oleh karena karena itu, perbedaan itu adalah sunnatullah, perpecahan melanggar sunnatullah. Realitas kehidupan adalah perbedaan, karena perbedaan itu sebuah realitas maka menjalaninya ada sebuah keharusan.

Wallahu A’lam bis Shawab.


[1] Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Cet.IV; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2015), h.40.

Muhammad Tahir A.