Zuhud dan Wara’ Bukan Berarti Harus Jadi Orang Miskin, Tapi …

zuhud dan wara

Pecihitam.org – Zuhud dan Wara sama-sama punya arti suatu sikap yang tidak cinta dunia namun memiliki implikasi yang berbeda. Zuhud diambil dari kalimat زَهِدَ – يَزْهُدُ – زَهَادَةً (zahida – yazhudu – zahadatan), yang artinya menunjukkan makna “sedikit“. Sedangkan wara’ diambil dari kalimat وَرِعَ – يَرِعُ – وَرَعًا (wari’a – yari’u – wara’an). Wari’a (وَرِعَ) menunjukkan makna “menahan diri”.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Zuhud merupakan suatu sikap dalam hati seseorang untuk meninggalkan kecintaan dengan dunia. Atau meninggalkan perkara-perkara yang menyibukan dirinya dalam urusan dunia sehingga memfokuskan diri kepada Allah ta’ala. Sedangkan wara’ lebih kepada menahan diri kepada sesuatu perkara dunia yang belum ia raih.

Sebagai contoh yaitu khalifah Umar bin Abdul Azis, seorang ulama sekaligus umara yang memiliki harta dunia yang melimpah, namun darinya ia tidak disibukan dengan harta dunianya tersebut, maka dari itu beliau disebut sebagai seorang yang zuhud.

Rasulullullah adalah manusia yang dilarang menerima shadakah namun ia menerima hadiah, suatu ketika ia dapati kurma, ia tidak berani mengambilnya, karena ia takut itu kurma yang berasal dari shadaqah. Dari hal itulah beliau dikatakan sebagai orang yang wara’ (yaitu menahan dirinya)

Baca Juga:  Bingung dalam Memilih Jodoh? Coba Shalat Istikharah dengan Cara Ini

Orang yang zuhud tidak berarti ia harus mengosongkan tangannya dari harta dunia, keliru jika dikatakan orang yang zuhud adalah orang yang tidak punya apa-apa dengan kehidupan yang menyedihkan.

Justru hal itu yang perlu kita ragukan, sebenarnya dia memang orang yang zuhud beneran atau bukan, jangan-jangan kalau dititipi harta nanti ia tersibukan oleh hartanya. Jadi belum tentu orang yang tidak punya harta berarti dia orang yang zuhud.

Namun tidak dipungkiri memang ada orang yang demikian, yang tidak memiliki harta karena ia memilih menjadi orang yang zuhud, karena takut dari hartanya malah nanti di disubukan olehnya. Tugas kita adalah khusnudzan kepada orang lain.

Namun yang lebih afdhol, orang yang benar-benar zuhud adalah orang yang memiliki banyak harta atau jabatan yang tinggi  namun ia tidak tersibukan oleh hartanya dan jabatannya.

Baca Juga:  4 Sifat Ahli Surga Berdasarkan Surat Qaaf 31 - 35

Hidupnya santai saja, dia tidak terpengaruh harta dan jabatannya sama sekali, mau banyak harta dia biasa, dengan sedikit hartapun ia biasa, mau jabatannya sebagai raja, presiden, menteri hidupya biasa.

Dalam kitab Al-Hikam karya Syekh Ibnu Aththoillah Al-Iskandari yang disyarahi KH Sholeh Darat tentang kezuhudan sebagai pencapaian amal yang baik diterangkan bahwa:

“Amal yang baik buah dari kondisi yang baik. Sementara kondisi spiritual yang baik bersumber dari kemampuannya menerima berbagai kedudukan atau tingkatan yang Allah berikan.”

Kondisi hati menjadi baik, sebab mempunyai sifat zahid atau tidak suka terhadap dunia, ikhlas dalam segala amal ibadah, tawadlu’,dan sifat terpuji lainnya. Hal demikian menjadi sebab indahnya seluruh amal dzahir yang bersih dari riya’.

Adapun kondisi hati yang baik ini bersumber dari rahmat dan kasih sayang Allah, tugas manusia adalah selalu berusaha untuk memperbaiki hati dan selalu berdoa agar diberikan cahaya uluhiyyah yang membuat hati bersinar.

Baca Juga:  Inilah Pidato Abu Bakar Saat Akan Dibaiat Menjadi Seorang Khalifah

Menurut Syekh Ibnu Aththoillah “Tidak disebut sedikit amal yang bersumber dari kalbu yang zuhud. Dan tidak disebut banyak amal yang bersumber dari kalbu yang tamak.”

Walapun secara lahiriyah seseorang yang zuhud melakukan amal yang sedikit namun hakikatnya ia telah melakukan amal mulia, karena hati yang zuhud terbebas dari riya’, sombong dan ujub.

Berbeda dengan yang dalam hatinya tidak terdapat kezuhudan, secara lahiriyah ia beramal banyak namun hakikatnya ia tidak melakukan amal apapun, karena amalnya termakan oleh rasa riya’, rasa sombong dan ujubnya.

Demikian pengertian zuhud dan wara. Maka dari itu wajib bagi kita untuk selalu berusaha menata hati dengan senantiasa memohon pertolongan dari Allah agar terhindar dari penyakit-penyakit hati, dan dari situlah kita diberi rahmat oleh-Nya untuk menjadi orang yang zuhud. Wallahua’lam.

Lukman Hakim Hidayat