Begini Status Hukum Anak Hasil Zina dan Perwaliannya dalam Nikah

Begini Status Hukum Anak Hasil Zina dan Perwaliannya dalam Nikah

PeciHitam.org Pergaulan bebas dikalangan anak muda, dewasa ini sudah sampai pada level mengkhawatirkan. Bukan hanya menjadi fenomena di kota-kpta besar, tetapi sudah banyak menjangkiti anak-anak muda di pedesaan. Gejala pergaulan bebas dengan penanda tidak lagi adanya sekat-sekat hukum agama yang diindahkan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Kurangnya perhatian orang tua dan minimnya peran agama dikalangan anak muda sering menjadi kambing hitam atas pergaulan bebas. Bagi mereka yang sudah lacur masuk dalam pergaulan bebas merasa nyaman akan perbuatannya dan tidak mendapat control sosial memadai.

Kasus yang banyak terjadi dimasyarakat Nusantara yang kental dengan budaya ketimuran tentunya tidak menoleransi pergaulan bebas tanpa sekat sama sekali. Pergaulan bebas dalam bentuk zina kategorikan sebagai Aib masyarakat.

Sejauh apapun aib, antara lain zina, dalam pandangan tradisi dan budaya  diperlukan tinjauan hukum. Landasan hukum anak hasil zina harus dipahami bagi mereka yang sering menjadi tambatan bertanya tentang hukum.

Daftar Pembahasan:

Zina Sebagai Fenomena Sosial

Zina merupakan salah satu imbas dari pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan dengan mengabaikan sekat-sekat agama. Perbuatan zina walaupun menjadi Aib dalam budaya, tradisi dan nilai Agama Islam akan tetapi kasusnya banyak ditemukan disekitar kita.

Tentunya hukuman bagi pelaku zina sudah jelas dalam Islam, yakni hukuman dera dan ancaman mendapat dosa yang sangat besar. Allah menyebutkan sekurangnya dalam dua ayat;

وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا (٣٢

Artinya; “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk” (Qs. Al-Israa’: 32)

Mendekati perbuatan zina saja terlarang dalam Islam, apalagi melakukan perbuatan zina niscaya masuk kedalam lubang perbuatan keji dan seburuk-buruknya jalan manusia. Sedangkan hukuman bagi orang berzina diabadikan dalam ayat;

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (٢

Baca Juga:  Khitan Perempuan: Maksud, Jenis, dan Hukum Melaksanakannya

Artinya; “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman” (An-Nuur: 2)

Perintah Allah SWT kepada umat Islam untuk mendera/ mencambuk/ merajam pelaku zina berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Tujuannya untuk memberikan kontrol sosial kepada siapapun agar tidak terjebak kedalam dosa zina.

Fenomena zina dalam tradisi dan budaya Nusantara jelas sebuah aib, serta ajaran agama Islam memandang sebagai dosa besar. Terjadinya zina dikalangan remaja maupun orang tua bukan semata-mata hasil pengaruh globalisasi dan melesatnya teknologi informasi sehingga memicu tindakan diluar nilai-nilai agama Islam.

Sebelum adanya era globalisasi dan majunya teknologi informasi, praktek zina sudah ada walaupun dalam skala lebih kecil atau memang tidak terekspos. Akan tetapi maklum dipahami, teknologi informasi dan globalisasi memicu fenomena zina lebih massif.

Teknologi informasi dan globalisasi mendorong seorang bisa lebih mudah mengakses content berbau pornografi dan pada gilirannya akan mencari pelampiasan. Dengan aplikasi media sosial akan sangat mudah untuk membuat seorang bertemu dengan lawan jenis, membuat janji dan melakukan perbuatan zina.

Kekhawatiran merebaknya fenomena zina, baik kalangan muda dan tua, perlu ditanggulangi dengan seksama dengan menguatkan nilai kontrol sosial dan agama. Perlu kiranya untuk menerapkan sangsi sosial berupa labeling atau semacamnya untuk membendung zina terus menjadi pelampiasan nafsu.

Anak Hasil Zina, Bagaimana Posisinya?

Zina yang sudah terlanjur terjadi perlu disikapi dengan arif dan bijaksana. Memang jaring pengendali sosial diperlukan sebagai upaya preventif mencegah zina. Akan tetapi mensikapi kejadian yang sudah kalang tanggung terjadi harus berpedoman dengan hukum yang baku.

Islam memandang bahwa hukum anak hasil zina tetap dalam posisi fitrah, sebagaimana manusia hasil perkawinan sah. Ia tidak berdosa karena tidak mengetahui apa-apa perbuatan ayah dan ibunya. Tidak bisa kita menyalahkan dan ‘membabat’ habis psikologis anak hasil zina.

Baca Juga:  Meneladani Rasulullah dengan Mengambil Manfaat Puasa Senin Kamis

Tinjauan hukum anak hasil zina dibutuhkan untuk menentukan posisi dan kedudunya dalam nasab, wali nikah, dan hukum waris yang menempel kepada masing-masing individu. Tidak dibenarkan untuk mengucilkan anak hasil zina dengan hukuman yang melampui batas, karena kesalahan ayah-ibunya.

Ulama sepakat tentang Nisbat Nasab dan Hukum anak hasil zina sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujathid wa Nihayatu Muqtashid;

وَاتَّفَقَ الْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّ أَوْلَادَ الزِّنَا لَا يُلْحَقُونَ بِآبَائِهِمْ إِلَّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ عَلَى اخْتِلَافٍ فِي ذَلِكَ بَيْنَ الصَّحَابَةِ

Artinya; “Mayoritas ulama sepakat bahwa anak zina tidak di-ilhaq-kan (dinasabkan) kepada bapak mereka  kecuali anak-anak yang lahir pada masa jahiliyah sebagaimana yang diriwayatkan dari sayyidina Umar bin al-Khaththab RA, dan dalam hal ini terjadi perbedaan di antara shahabat”

Nisbat keturunan dan Hukum anak hasil zina tidak boleh ditujukan kepada ayah biologis sang jabang bayi. Walaupun diketahui dengan jelas ayah yang terkandung baik secara medis atau pengakuan sang pelaku zina. Akan tetapi dalam konteks tersebut hukum anak zina dalam Islam, menurut Imam Syafi’i, tidak boleh dinisbatkan kepada ayah biologisnya.

Pendapat mayoritas Ulama di atas sesuai dengan pendapat Umar bin Khattab yang menetapkan bahwa anak hasil zina tidak masuk dalam hukum anak ayahnya.

Status hukum anak hasil zina dalam Islam menurut pendapat mayoritas Ulama adalah dinisbatkan kepada Ibunya sendiri. Oleh karenya jika Ando (laki-laki) berzina dengan Berby (perempuan) dan melahirkan Cupi (anak), maka nisbat nasabnya adalah Cupi bin Berby, bukan Cupi bin Ando.

Wali Nikah Anak Hasil Zina

Anak hasil zina sebagaimana menurut pendapat jumhur Ulama Syafiiyah tidak dapat dinisbatkan kepada ayah biologisnya. Nisbat hukum anak hasil zina ialah kepada Ibunya yang mengandung.

Baca Juga:  Landasan Amaliah Aswaja: Bacaan Bilal Jumat Menjelang Khatib Naik Mimbar

Maka ketika anak tersebut sudah menginjak usia dewasa dan berkenan untuk menikah harus memenuhi rukun nikah, salah satunya perwalian.

Konsekuensi hukum anak hasil zina bagi anak perempuan yakni tidak adanya wali bagi dirinya. Karena tidak boleh seorang anak perempuan diwalikan perempuan (ibunya). Hal ini diakibatkan nisbah nasab hukum anak hasil zina tidak bisa merujuk kepada ayah biologisnya.

Dalam hal ini, Rasulullah SAW pernah bersabda tentang ketiadaan wali nikah bagi anak perempuan yang tidak punya wali.

اَلسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ

Artinya; Bahwa bagi anak perempuan yang tidak memiliki Wali (nikah), maka Walinya adalah Sulthan atau penguasa daerah tempat ia tinggal.

Riwayat di atas disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Simpulannya adalah jika ada seorang perempuan yang akan menikah sedangkan ia berposisi hukum anak hasil zina, maka wali nikahnya adalah Sulthan atau Pemegang kekuasaan didaerah terkait.

Kepanjangan dari kata Sulthan bisa berwujud Hakim atau Petugas Pemerintahan yang diserahi kewenangan untuk mengurus pernikahan. Sederhananya, dalam Konteks Indonesia, wali sulthan/ Hakim jatuh kepada petugas Kantor Urusan Agama (KUA).

Maka anak yang lahir dari hasil zina memiliki wali hakim yang berasal dari unsur Kantor Urusan Agama/ Pegawai KUA. Kiranya dengan melihat keruwetan hukum di atas, menjadi perhatian untuk orang tidak melakukan zina. Karena korbannya adalah anak yang menjadi hasil hubungan gelap. Jika tidak kuat menahan nafsu, pernikahan adalah jalan yang diberkahi Allah SWT.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan