Bahasa sebagai Media dan Simbolisasi dalam Kekuasaan

bahasa dan kekuasaan

Pecihitam.org – Sebagaimana kekuasaan di masa lalu, bahasa menjadi bagian penting dalam membedakan dominasi kekuasaan. Dominasi kekuasaan ini nampak pada penggunaan bahasa tertentu dalam mengukuhkan status kekuasaan atas bangsa atau penguasa dalam lingkup sosial.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sehingga terjadi pembentukan persepsi mengenai penggunaan bahasa sebagai simbol pembeda kekuasaan dalam lingkup kehidupan sosial. Hal ini dilakukan untuk membedakan kekuasaan kaum bangsawan/kaum intelektual dengan masyarakat biasa.

Bahasa bukan sekedar sebagai alat perekat komunikasi, namun lebih dari itu, yaitu sebagai alat melegitimasi kekuasaan. Bahasa mampu menjadi alat efektif dalam pembentukan kekuasaan, utamanya digunakan dalam menandai dominasi kaum dominan di dalam kekuasaan.

Jika kita amati bahwa bahasa selama ini menjadi salah satu alat kekuasaan. Dimana penggunaan bahasa sopan lebih melekat pada rakyat jelata yang ketika berkomunikasi dengan kaum bangsawan.

Jika bisa bedakan, bahasa khususnya bahasa Jawa yang mempunyai beberapa bentuk. Pertama bahasa Jawa Krama dan bahasa Jawa Kasar. Umumnya bahasa Jawa kasar sering kita temui dalam konteks rakyat jelata, pesisir selatan, atau di pedesaan.

Baca Juga:  Ketika Toleransi Tercederai, Apakah Karena Agama atau Ego Manusianya?

Hal tersebut menujukan bahwa masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa kasar adalah masyarakat yang mempunyai ekonomi menengah kebawah. Namun berbeda dengan masyarakat menengah ke atas.

Masyarakat kaum menengah ke atas, bangsawan, tokoh ulama, kiai atau orang yang di hormati di daerahnya. Mereka menggunakan bahasa Jawa Krama. Tidak hanya itu, ketika masyarakat jelata hendak berkomunikasi kepada orang-orang seperti orang kaya, kiai, pemerintah dan tokoh agama. Kaum menengah kebawah selalu menggunakan bahsa Jawa Krama.

Disisi yang lain, penggunaan bahasa sebagai simbol mempertahankan kekuasaan menandakan bahwa bahasa adalah modal sosial yang menentukan kapasitas seseorang dalam ranah kehidupan sosial.

Jika kita amati lebih jauh, kekuasaan simbolik atas penggunaan bahasa merupakan bentuk kekuasaan untuk mengkonstruksi realitas melalui pemaknaan yang paling dekat dengan kehidupan sosial/kelompok atau seseorang.

Perspektif ini lebih menekankan bahwa bahasa tidak hanya sebagai cara komunikasi dalam dunia sosial. Namun lebih dari itu bahasa dapat digunakan untuk mengkonstruksi realitas melalui pemaknaan dunia sosial.

Baca Juga:  Kontroversi Fatwa Al-Bani, Setiap Orang yang Tinggal di Palestina adalah Kafir?

Selanjutnya, fenomena-fenomena seperti di atas dapat dilihat dari konstruksi atas bahasa sopan yang dikonstruksikan oleh para bangsawan dalam suku Jawa. Pemaknaan atas lingkup kehidupan sosial yang masih lekat dengan kehidupan kerajaan.

Kehidupan yang mengenal struktur sosial dalam tata kehidupan dan relasi sosial, misalnya golongan masyarakat biasa, bangsawan, atau dalam konteks Jawa dikatakan sebagai priayi.

Tujuan dari konstruksi tidak lain untuk mengukuhkan pengakuan atas kaum bangsawan yang mempunyai tingkat pendidikan yang baik dan kekuasaan atas bawahannya.

Pemanfaatan bahasa sebagai simbol mempertahankan kekuasaan dapat dilihat dari penggunaan bahasa oleh para aktor pemegang kekuasaan dalam mengendalikan jalannya hirarki. Tidak hanya itu bahasa mampu dijadikan alat untuk mengalihkan isuisu yang bisa membahayakan penguasa.

Hal ini dapat dilihat dari cara politisi dalam membenarkan keputusan terhadap suatu kebijakan yang telah diambil. Sekalipun hal tersebut adalah hal yang kontroversial dikalangan publik yang terdominasi, pembenaran atas kasus tertentu dapat dilakukan melalui bahasa.

Penggunaan bahasa sebagai simbolisasi mempertahankan kekuasaan secara sadar digunakan oleh para penguasa, cendikia, atau bangsawan guna menunjukkan pengakuannya dalam dominasi kelas sosial. Dominasi ini ditunjukkan melalui status yang dikonstruksi melalui simbol kebahasaan.

Baca Juga:  Pantaskah Maaher At-Thuwailibi Dipanggil dengan Sebutan Ustadz?

Tidak hanya itu, dengan bahasa para politisi menggunakannya untuk melegitimasi berbagai kepentingan kekuasaan. Upaya inilah yang kemudian memberikan pemahaman bagi peneliti bahwa ada relasi atas penggunaan bahasa dengan simbol kekuasaan. Semua bertujuan membentuk dan mempertahankan kekuasaan.

M. Dani Habibi, M. Ag