Sekilas Tentang Kehidupan Masyarakat Bugis Saat Islam Menjadi Agama Baru

Sekilas Tentang Kehidupan Masyarakat Bugis Saat Islam Menjadi Agama Baru

Pecihitam.org – Jika membahas tentang Agama yang tengah di anut pada suatu daerah atau tempat, pastinya yang pertama kali hadir dalam benak kita ialah kapan Agama itu bisa masuk ke dalam ruang lingkup Masyarakat atau bahasa lainnya ialah bagaimana proses Agama yang bersangkutan masuk dan diterima masyarakat. Tentu jawaban pertanyaan ini tidak membutuhkan jawaban singkat dengan pernyataan “Masuk begitu saja dan diterima dengan senang hati” .

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Lantas bagaimana sejarah masuknya Islam di kalangan Masyarakat bugis?

Diketahui bahwa kepercayaan orang Bugis mengalami perubahan besar besaran ketika pada awal abad ke 17 masehi, agama Islam diterima sebagai agama baru pada waktu itu. Kemudian Agama baru tersebut disebarkan melalui jalur politik dan birokrasi sehingga persebarannya berlangsung begitu cepat.

Pertama-tama Islam diterima oleh Kerajaan Gowa pada tahun 1605 M, dan seterusnya Sidenrang dan Soppeng pada tahun 1609, Wajo dalam tahun 1610, dan terakhir Bone dalam tahun 1611 Proses pengislaman dilakukan oleh para ulama dari Minangkabau bernama Abdul Makmur Khatib Tunggal yang kemudian dikenal dengan nama Dato’ ri Bandang, Khatib Sulung atau Dato ri Patimang, dan Khatib Bungsu atau Dato ri Tiro.

Apabila Tomanurung merupakan unsur pemersatu bagi komunitas-komunitas gaukeng untuk mengintegrasikan diri ke dalam komunitas kerajaan yang lebih besar, maka Islam merupakan unsur pemersatu bagi kerajaan-kerajaan tersebut untuk mengintegrasikan diri ke dalam masyarakat yang lebih luas, masyarakat Islam.

Baca Juga:  Kilas Balik Sejarah dan Kebrutalan Wahabi (Bag 1)

Kerajaan-kerajaan Gowa, Bone, Luwu, dan kerajaan-kerajaan lokal yang sebelumnya terlibat konflik satu sama lain, lambat laun menemukan cara baru untuk bersatu di bawah naungan agama yang sama.

Penyebaran Islam secara politis dan birokratis membawa konsekuensi pada keharusan kompromi-kompromi. Pertama, kompromi dengan sistem pemerintahan yang berlaku; dan kedua, kompromi antara islam dengan aspek-aspek panngaderreng yang lain. Artinya, penganutan Islam oleh masyarakat tidak serta merta mengubah struktur kepercayaan dan struktur sosial masyarakat.

Bahkan menurut Anthony Reid (Sejarawan), mengutip pendapat Kooreman, sampai akhir abad ke-19 orang-orang Makassar dan Bugis dalam realitasnya masih menyembah arajang atau kalompoang lebih dari menyembah Allah dan mengikuti Rasul-Nya.

Jabatan struktural yang bersifat keagamaan (Islam) pada semua kerajaan tetap dipegang oleh para bangsawan Bugis, sehingga dengan demikian potensi Islam untuk menggantikan adat amat minim.

Enclave sisa-sisa kepercayaan lama bahkan masih ditemukan dalam komunitas-komunitas tertentu seperti pada komunitas To-Lotang di Sidenreng Rappang dan komunitas Ammatowa di Kajang Kabupaten Bulukumba.

To-Lotang menganut konsep Dewa Tertinggi yang disebut To-PalanroE, sisa kepercayaan periode Galigo, zaman pemerintahan raja-raja Bugis tertua. Konsep Dewa tertinggi komunitas Ammatowa disebut Turie A’ra’na (Orang Yang Maha Berkehendak).

Hingga perihal ini Anton Lucas menemukan contoh yang baik mengenai adaptasi struktural dan kultural berkaitan dengan Islam dan adat di Selayar. Onderafdeeling Selayar dan pulau-pulau tetangganya dibagi atas beberapa distrik. Setiap distrik dikepalai oleh seorang kepala distrik yang bergelar Opu. Setiap distrik terdiri dari sejumlah gallarang atau penggawa yang memimpin sejumlah kampung.

Baca Juga:  Sejarah Perkembangan Ilmu Tafsir Al-Qur’an

Di sisi lain, jabatan keagamaan tersusun dalam satu struktur disebut pegawai syara’. Pegawai syara’ berada di bawah otoritas Opu, akan tetapi dengan kepalanya sendiri yang disebut kadi, yang juga masih terikat hubungan kekerabatan dengan penguasa setempat. Kadi bertanggung jawab mengurus urusan keagamaan.

Di bawah kadi terdapat imam, beberapa orang khatib, bidal, dan doja, dengan fungsi-fungsi tertentu berkaitan dengan tugas-tugas keagamaan, yang berpusat di masjid. Karena latar belakang para pejabat agama tersebut berasal dari kalangan keluarga yang berkuasa, mereka pun dipanggil opu kali, opu imam, opu katte.

Keharusan adaptasi kultural dan struktural semacam itu, merupakan hal yang wajar dalam proses akulturasi. Karena, makin besar rasa pengorbanan dari penerima, maka makin seretlah proses itu berjalan. Sebaliknya, makin terasa persambungan dengan tradisi, makin lancar proses tersebut berjalan.

Dalam proses seperti ini, agama universil, Islam atau agama apapun, tidak saja harus menjinakkan sasarannya, tetapi dirinya sendiri terpaksa diperjinak. Dengan begini, terjadilah keragaman dalam Islam.

Perbenturan dengan kebudayaan-kebudayaan setempat memaksanya untuk mendapatkan simbol-simbol yang selaras dengan kemampuan penangkapan kulturil dari masyarakat yang ingin dimasukkan ke dalam pangkuan dunia Islam.

Baca Juga:  Inilah Sejarah "Hitam" Kaum Salafi Wahabi

Adanya akulturasi antara Islam dan adat telah mengakibatkan terjadinya sinkretisme Islam di masyarakat Bugis. Sinkretisme ini, menurut Christian Pelras, tidak timbul secara spontan, tetapi sengaja diciptakan untuk memungkinkan penerimaan Islam oleh para raja, yang mengaku sebagai keturunan langsung dari Tomanurung dan yang kedaulatannya sangat terikat pada arajang dan upacara bissu.

Yang khas dari pendapat Pelras tersebut ialah bahwa yang memprakarsai sinkretisme tersebut adalah justru ketiga Dato’ (Dato’ ri Bandang, Dato’ ri Tiro, dan Dato’ Patimang) sendiri.

Itulah sebabnya langkah pertama yang memungkinkan pengislaman Sulawesi Selatan adalah pengucapan kalimat syahadat oleh Raja. Langkah selanjutnya adalah memilih pendekatan jenis ilmu (Islam) yang tepat dalam hal ini Tasawuf dengan pertimbangan bahwa, lebih baik masuk Islam dahulu dan nanti akan diperbaiki secara berangsur-angsur.


Sumber referensi: Dr. Abd. Kadir Ahmad, M.S. 2008. Ulama Bugis. Makassar: indobis publishing (Cetakan I, hlm. 58-62)

Rosmawati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *