Gus Dur, Pesantren dan Gelombang Dinamisasi

dinamisasi pesantren

Pecihitam.org – Memakai peci, sarung, dan baju muslim sambil membawa kitab tak lupa juga bolpoin yang selalu melekat dalam kitabnya. Aktivitas sebagai santri pondok pesantren merupakan aktivitas yang sangat menyenangkan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Menjadi seorang santri sebuah kebanggan tersendiri selain memiliki kewajiban belajar juga menjadi seorang yang “ngalim” dalam ilmu-ilmu agama.

Agama islam selalu mengingatkan kita semua untuk senantiasa belajar dimana saja dan kapan saja, bahkan sampai ke negeri china. Meskipun banyak yang mengira hidup menjadi santri ini jauh dari istilah kemewahan dan dengan model pembelajaran tradisional menjadi santri akan gaptek atau gagap teknologi. Nah, anggapan ini justru tidak hal adalah bangunan dari optimisme orang-orang yang tidak suka “mondok” atau “nyantri”.

Padahal sekarang banyak pondok pesantren yang sudah mulai menggunakan teknologi sebagai bagian dari pendukung pembelajaran bagi santri.

Model pembelajaran ala santri pesantren di era virtual seperti ini justru mengalami perkembangan, meskipun jika melihat hal ini dari kacamata lain adalah sebuah pergeseran.

Baca Juga:  Gus Abdul Haris: Ironi Ustadz Evie, Ngajinya Ngawur Kok Ngaku Muridnya Nabi

Pergeseran ini tidak lantas dimaknai sebagai sesuatu hal yang negatif malah justru pergeseran ini dapat dimaknai sebagai positif.

Bahkan melalui perubahan dengan masuknya teknologi dalam ranah pesantren pun tidak begitu merubah substansi dalam belajar islam di pesantren. Justru malah hal ini menjadi keunikan tersendiri sebagai lembaga pendidikan tertua.

Gus Dur (2009) dalam bukunya Menggerakkan Tradisi : Esai-esai Pesantren menyebut lingkungan pesantren yang selalu memperkaya dan merawat instrumen khazanah keislaman dan kebudayaan selalu memiliki tempat tersendiri. Lingkungan ini disebut sebagai lingkungan subkultul yang tidak jauh dari paham keislaman yang kultural.

Meskipun dengan lingkungan yang subkultural pesantren banyak mengalami benturan dari perkembangan pemahaman keislaman dari luar lingkungan tersebut.

Dengan adanya perubahan dalam lingkungan maupun tradisi pesantren yang mengakomodasi adanya perangkat teknologi sebagai hal lain yang dapat  membantu merawat khazanah tradisi keislaman.

Baca Juga:  Wacana Tentang Kemakhlukan al-Quran, Ada Apa di Baliknya?

Untuk memberikan gambaran khusus pesantren yang berkembang di era sekarang ini. Kita bisa meminjam istilah Gus Dur untuk menjelaskan perkembangan yang yakni terjadinya proses “dinamisasi” dalam lingkup lembaga pendidikan pesantren.

Gus Dur menyakini bahwa perkembangan dan perubahan ini akan terus terjadi pada pesantren. Dinamisasi yang digambarkan Gus Dur dalam berbagai hal dalam pesantren kerapkali menjadi tumpuan para pengamat dari luar pesantren.

Pesantren memiliki lahan yang subur dan sebagai tumpuan perkembangan khazanah keilmuan keislaman di Indonesia. Dari bilik-bilik pesantren inilah banyak lahir para pemikir dan para tokoh-tokoh yang memiliki sumbangsih besar terhadap dunia islam.

Sudah sejak dulu, perubahan dalam khazanah keislaman itu jika dikembangkan akan mengkokohkan peradaban yang lebih baik. Jika kita menilik kebelakang berkembangnya Imperium Bani Umayyah dan Abbasiyah itu banyak lahir para pemikir agung dalam keilmuan khazanah keislaman.

Baca Juga:  Kiai, Santri dan Budaya Korupsi di Lingkungan Pesantren

Jika kita melihat sampai saat ini pesantren masih menjadi entitas yang berfungsi dalam merawat khazanah keislaman. Kelahiran pesantren pada lingkungan subskultur ini menumbuhkan keyakinan tersendiri dalam usahanya merawat dan memberikan pemahaman islam kultural dalam masyarakat.

Akhirnya memang, Gus Dur mengingatkan untuk terus menjaga dan merawat tradisi yang sudah ada, meskipun banyak terjadi hal-hal yang lain diluar sana. Kalau tidak pesantren, santri terus siapa lagi yang merawat ? Wallahu a’lam bis showaf

Arief Azizy

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *