Hadits Shahih Al-Bukhari No. 162-163 – Kitab Wudhu

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 162-163 – Kitab Wudhu ini, Imam Bukhari memberi judul dengan “mendahulukan yang kanan saat berwudhu dan mandi” kedua hadits ini menjelaskan tentang kebiasaan Rasulullah saw mendahulukan yang kanan ketika berwudhu dan mandi. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Wudhu. Halaman 114-119.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Hadits Shahih Al-Bukhari No. 162

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدٌ عَنْ حَفْصَةَ بِنْتِ سِيرِينَ عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُنَّ فِي غَسْلِ ابْنَتِهِ ابْدَأْنَ بِمَيَامِنِهَا وَمَوَاضِعِ الْوُضُوءِ مِنْهَا

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Musaddad] berkata, telah menceritakan kepada kami [Isma’il] berkata, telah menceritakan kepada kami [Khalid] dari [Hafshah] dari [Ummu ‘Athiyah] berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada mereka saat memandikan puterinya: “Hendaklah kalian mulai dari yang sebelah kanan dan anggota wudlunya.”

Hadits Shahih Al-Bukhari No. 163

حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ أَخْبَرَنِي أَشْعَثُ بْنُ سُلَيْمٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبِي عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Hafsh bin ‘Umar] berkata, telah menceritakan kepada kami [Syu’bah] berkata, telah mengabarkan kepadaku [Asy’ats bin Sulaim] berkata, Aku mendengar [Bapakku] dari [Masruq] dari [‘Aisyah] berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suka memulai dari sebelah kanan saat mengenakan sandal, menyisir rambut, bersuci dan selainnya.”

Keterangan Hadis: فِي غَسْل اِبْنَته (Saat memandikan puterinya) yakni puteri Nabi SAW yang bemama Zainab RA. Keterangan mengenai hal ini akan dijelaskan dalam pembahasan tentang Al Jana’iz (Jenazah), insya Allah.

Imam Bukhari sengaja menyebutkan penggalan hadits Ummu Athiyah untuk menjelaskan maksud perkataan Aisyah dalam hadits berikutnya, yaitu “Telah menjadi kebiasaan Nabi SAW menyukai bagian kanan“, sebab lafazh bagian kanan dalam bahasa Arab disebut “Tayammun”.

Lafazh ini merupakan lafazh musytarak (memiliki makna lebih dari satu). Kata tersebut dapat berarti memulai dari bagian kanan, melakukan sesuatu disertai sumpah, tabarruk (memohon berkah) dan mengambil arah kanan. Maka, dengan adanya hadits Ummu Athiyah menjadi jelas bahwa yang dimaksud adalah makna yang pertama.

فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ (Saat memakai sandal, menyisir rabut dan bersuci). Dalam riwayat Abu Dawud dari Muslim bin Ibrahim dari Syu ‘bah terdapat tambahan, وَسِوَاكه (Serta saat menyikat gigi).

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 194 – Kitab Wudhu

كَانَ يُعْجِبهُ التَّيَمُّن (Telah menjadi kebiasaan Nabi SAW menyukai bagian kanan ). Sebagian ulama mengatakan bahwa penyebab disukainya perbuatan ini karena beliau SAW menyukai sikap optimis, dimana golongan kanan adalah penghuni surga. Lalu dalam kitab Shalat, Imam Bukhari memberi tambahan riwayat ini dengan lafazh مَا اِسْتَطَاعَ (selama ia mampu). Adanya tambahan riwayat ini merupakan pemberitahuan bahwa mendahulukan yang kanan dilakukan selama tidak ada penghalang.

فِي شَأْنه كُلّه (dalam segala urusannya). Demikianlah lafazh yang dinukil dari sebagian besar para perawi, yakni tanpa menggunakan kata sambung و Sementara dalam riwayat Abu Al Waqt tercantum kata sambung yang dimaksud.

Syaikh Taqiyuddin berkata, “Ini adalah lafazh yang bersifat umum, namun cakupannya terbatas. Karena masuk tempat buang hajat dan keluar masjid atau yang seperti keduanya, hendaknya dimulai dengan bagian kiri.” Sehingga kalimat و فِي شَأْنه yang dipertegas dengan كُلّه (Secara keseluruhan), adalah untuk menunjukkan keumumam, artinya mendahulukan yang kanan berlaku untuk semua perbuatan.

Dengan adanya penegasan tersebut menutup kemungkinan bahwa yang dimaksud adalah makna majaz (kiasan). Sehingga mungkin dikatakan, bahwa hakikat “urusan” adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sementara perbuatan yang disukai dengan mendahulukan yang kiri bukanlah perbuatan yang dilakukan secara sengaja. Bahkan, mungkin merupakan perbuatan yang harus ditinggalkan atau perbuatan yang tidak ada unsur kesengajaan.

Semua pembicaraan ini dikemukakan atas dasar bahwa riwayat tersebut menggunakan kata sambung (waw). Sedangkan jika yang menjadi dasar pembahasan adalah riwayat yang tidak menggunakan kata sambung, maka perkataannya “Dalam segala urusannya secara keseluruhan” berkaitan dengan kata يُعْجِبهُ (menyukai), dan bukan berkaitan dengan kata التَّيَمُّن (bagian kanan). Artinya, beliau menyukai dalam segala keadaannya untuk mendahulukan bagian kanan saat memakai sandal … dan seterusnya. Beliau tidak pemah meninggalkan perbuatan seperti itu baik saat berada dalam perjalanan maupun tidak, pada waktu luang maupun di tengah kesibukan.

Ath-Thaibi berkata, kalimat فِي شَأْنه (dalam segala urusannya) merupakan penjelas kalimat فِي تَنَعُّله (Saat memakai sandal). Lalu dia menambahkan, “Seakan-akan beliau menyebutkan memakai sandal karena perbuatan ini berhubungan dengan kaki, beliau menyebutkan menyisir karena perbuatan ini berhubungan dengan kepala dan beliau menyebutkan bersuci karena perbuatan ini merupakan kunci ibadah. Dengan demikian, seakan-akan beliau telah menyebutkan semua anggota badan.” Aku katakan, “Dalam riwayat Muslim lafazh “Dalam segala urusannya secara keseluruhan’ disebutkan lebih dahulu daripada kata ‘saat mernakai sandal. .. dst’. Inilah yang menjadi landasan penjelasan Ath-Thaibi.”

Baca Juga:  Tahukah Kamu Apa Maksud Hadits Muttafaq 'alaih? Ini Penjelasannya

Semua pernbahasan yang kami kernukakan di atas berdasarkan makna lahir dari konteks kalimat hadits yang disebutkan di tempat ini. Akan tetapi telah dijelaskan oleh Imam Bukhari pada kitab Ath ‘imah (tentang makanan) melalui riwayat Abdullah bin Mubarak dari Syu’bah, bahwa Asy’ats menceritakan hadits ini kepada Syu’bah dimana beliau terkadang hanya menyebutkan lafazh ”Dalam segala urusannya secara keseluruhan”, dan terkadang pula hanya menyebutkan lafazh “Saat memakai sandal …. dan seterusnya.”

Al Isma’ili menambahkan bahwa Aisyah RA terkadang mencerita­kan hadits ini secara global, dan terkadang pula menceritakannya secara terperinci. Atas dasar ini, timbul kesan bahwa yang rnenjadi dasar riwayat ini adalah lafazh “Saat memakai sandal, menyisir rambut dan bersuci”. Hal ini diperkuat oleh riwayat Imam Muslim dari jalur Abu Al Ahwash serta lbnu Majah dari jalur periwayatan Amru bin Ubaid, yang mana keduanya (Abu Al Ahwash dan Amru bin Ubaid) meriwayatkan hadits ini dari Asy’ats. Dalam riwayat ini, lafazh فِي شَأْنه كُلّه (Dalam segala urusannya secara keseluruhan) tidak dicanturnkan. Sedangkan riwayat yang hanya menyebutkan lafazh tersebut, adalah riwayat yang dinukil dengan makna (riwayat bil ma ‘na).

Hadits ini merupakan keterangan yang menjelaskan disukainya memulai rambut kepala bagian kanan saat menyisir, mandi maupun mencukur. Tidak boleh dikatakan bahwa perbuatan-perbuatan ini masuk kategori menghilangkan sesuatu, sehingga harus dimulai dengan bagian kiri. Bahkan, semua perbuatan tersebut termasuk ibadah dan berhias. Pada pembahasan selanjutnya akan dinukil riwayat yang memberi keterangan untuk memulai bagian kanan saat mencukur rambut.

Hadits ini juga merupakan keterangan disukainya mendahulukan kaki kanan saat memakai sandal, dan mendahulukan yang kiri saat melepaskannya. Disukai pula untuk rnendahulukan tangan kanan saat berwudhu, demikian juga dengan kaki serta disukai mendahulukan badan bagian kanan saat mandi.

Hadits ini juga dijadikan dalil untuk mendukung pendapat yang mengatakan disukainya shalat di shaf  bagian kanan imam atau bagian kanan masjid, serta menggunakan tangan kanan ketika makan dan minum. Imam Bukhari telah menyebutkan hadits ini sehubungan dengan perbuatan-perbuatan tersebut.

Imam An-Nawawi berkata, “Kaidah syara’ senantiasa menyukai mendahulukan yang kanan dalam hal-hal yang bersifat penghormatan dan berhias, sementara kebalikan dari yang demikian maka disukai memulai dengan yang kiri.” Beliau berkata pula, “Para ulama telah sepakat bahwa mendahulukan bagian kanan saat berwudhu adalah sunah.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 400 – Kitab Shalat

Adapun orang yang menyelisihinya tidak mendapat keutamaan, meskipun wudhunya dianggap sempuma.” Maksud beliau adalah ulama Ahli Sunnah, karena ulama madzhab Syi’ah mewajibkan hal tersebut. Dari sini diketahui kesalahan yang dilakukan oleh Al Murtadha saat menisbatkan pendapat yang mewajibkan mendahulukan bagian kanan saat wudhu kepada Imam Syafi’i. Seakan beliau (Al Murtadha) beranggapan bahwa pendapat seperti ini merupakan konsekuensi pandangan Imam Syafi’i yang mewajibkan pelaksanaan wudhu secara berurutan (tertib). Akan tetapi sesungguhnya Imam Syafi’i tidak mewajibkan hal itu pada saat membasuh tangan dan kaki, sebab kedua tangan maupun kaki dianggap sebagai satu anggota wudhu, disamping keduanya disebutkan dengan lafazh jamak (plural) dalam Al Qur’ an. Hanya saja yang menjadi pertanyaan tersendiri bagi para ulama pengikut madzhab Syafi’i, yaitu pemyataan mereka bahwa air dianggap musta’mal (bekas dipakai) apabila berpindah dari satu tangan ke tangan yang lainnya. Sementara di sisi lain mereka mengatakan, bahwa air tidaklah dianggap musta’mal (bekas dipakai) selama belum berpisah dari satu anggota wudhu.

Adapun dalil yang mereka pergunakan untuk mendukung pendapat wajibnya melakukan perbuatan wudhu secara berurutan (tertib ), karena tidak seorang pun perawi tentang sifat wudhu Nabi SAW yang menyebutkan bahwa beliau pemah berwudhu dengan tidak berurutan (tertib), sebagaimana tidak seorang pun yang meriwayatkan bahwa beliau pemah mendahulukan yang kiri atas yang kanan (dalam berwudhu).

Dalam kitab Al Bayan oleh Al Umrani serta kitab At-Tajrid oleh Al Bandaniji disebutkan, bahwa pendapat yang mewajibkan pelaksanaan wudhu secara berurutan (tertib) merupakan pandangan para ahli fikih yang tujuh (fuqaha sab’ah). Namun pada dasarnya pernyataan ini adalah suatu kekeliruan dalam penyalinan naskah, sebab sesungguhnya yang dimaksud adalah ahli fikih Syi’ah bukan sab’ah.

Pada perkataan Ar-Rafi’i terdapat keterangan yang mengindikasikan bahwa Ahmad mewajibkan pula hal tersebut, akan tetapi pendapat demikian tidak dikenal dari beliau. Bahkan Syaikh Al Muwaffiq (lbnu Qudamah) berkata dalam kitab Al Mughni, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan mengenai tidak wajibnya perbuatan ini.”

M Resky S