Hadits Shahih Al-Bukhari No. 12 – Kitab Iman

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 12 – Kitab Iman ini, menjelaskan bahwa mencintai saudara sesama Muslim itu adalah merupakan bagian-bagian dari kesempurnaan iman seseorang. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 1 Kitab Iman. Halaman 95-96.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Musaddad] berkata, telah menceritakan kepada kami [Yahya] dari [Syu’bah] dari [Qotadah] dari [Anas] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Dan dari [Husain Al Mu’alim] berkata, telah menceritakan kepada kami [Qotadah] dari [Anas] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tidaklah beriman seseorang dari kalian sehingga dia mencintai untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai untuk dirinya sendiri”.

Keterangan Hadis: Al Karmani mengatakan, bahwa lafazh iman sudah dikemukakan pada bab sebelumnya, namun pada bab ini permasalahan yang diangkat berbeda dengan permasalahan sebelumnya, dimana pada pembahasan sebelumnya disebutkan (memberi makan adalah sebagian dari iman). Seakan-akan beliau mengatakan, bahwa kecintaan di sini adalah bagian dari iman.

Baca Juga:  Latar Belakang Munculnya Hadis Palsu, Bagian 1

لَا يُؤْمِن (tidak sempurna keimanan) orang yang mengaku beriman. Pada redaksi hadits yang diriwayatkan Al Mustamli menggunakan kata أَحَدكُمْ. Ushaili menggunakan kata أَحَد, sementara Ibnu Asakir, Muslim dan Abu Khaitsamah menggunakan kata عَبْد.

Apabila dikatakan, bahwa seseorang yang melaksanakan perintah dalam hadits ini (mencintai saudaranya), berarti imannya telah sempurna walaupun tidak melaksanakan rukun iman yang lain. Jawabnya, pengertian seperti ini diambil dari kalimat لِأَخِيهِ الْمُسْلِم melihat sifat-sifat yang lain bagi seorang muslim.

Dalam hadits riwayat Ibnu Hibban dijelaskan لَا يَبْلُغ عَبْد حَقِيقَة الْإِيمَان (seseorang tidak akan mencapai hakikat keimanan), maksudnya adalah kesempurnaan iman. Tetapi orang yang tidak melakukan apa yang ada dalam hadits ini, dia tidak menjadi kafir.

حَتَّى يُحِبّ (sampai mencintai) hal ini bukan berarti bahwa tidak adanya keimanan menyebabkan adanya rasa cinta. مَا يُحِبّ لِنَفْسِهِ (sebagaimana mencintai diri sendiri) dari kabaikan. Kata khair (kebaikan) mencakup semua ketaatan dan semua hal yang dibolehkan di dunia dan akhirat, sedangkan hal-hal yang dilarang oleh agama tidak termasuk dalam kategori al khair. Adapun cinta adalah menginginkan sesuatu yang diyakini sebagai suatu kebaikan.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 308-309 – Kitab Haid

Imam Nawawi mengatakan, “Cinta adalah kecenderungan terhadap sesuatu yang diinginkan. Sesuatu yang dicintai tersebut dapat berupa sesuatu yang dapat diindera, seperti bentuk, atau dapat juga berupa perbuatan seperti kesempurnaan, keutaman, mengambil manfaat atau menolak bahaya. Kecenderungan di sini bersifat ikhtiyari (kebebasan), bukan bersifat alami atau paksaan.

Maksud lain dari cinta di sini adalah cinta dan senang jika saudaranya mendapatkan seperti apa yang dia dapatkan, baik dalam hal-hal yang bersifat indrawi atau maknawi.”

Abu Zinad bin Siraj mengatakan, “Secara zhahir hadits ini menuntut kesamaan, sedang pada realitasnya menuntut pengutamaan, karena setiap orang senang jika ia lebih dari yang lainnya. Maka apabila dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri, berarti ia termasuk orang-orang yang utama.” Saya berpendapat, “Imam Iyad juga mengatakan demikian. Namun pendapat ini masih berpeluang untuk dikritik, karena maksudnya adalah menekankan untuk bersikap tawadhu’ (rendah hati), sehingga dia tidak senang untuk melebihi orang lain, karena hal ini menuntut adanya persamaan, sebagaimana firman Allah,

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 197-198 – Kitab Wudhu

“Negeri akhirat itu. Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi.” Semua ini tidak akan sempurna kecuali dengan meninggalkan perbuatan dengki, iri, berlebihan, kecurangan dan lainnya yang termasuk dalam perangai buruk.

M Resky S