Hadits Shahih Al-Bukhari No. 205-206 – Kitab Wudhu

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 205-206 – Kitab Wudhu ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Berwudhu karena Bangun Tidur, dan Pendapat Tidak Ada Wudhu karena Rasa Kantuk Ringan” hadis ini menjelaskan larangan salat dalam keadaan kantuk yang sangat. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Wudhu. Halaman 253-258.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Hadits Shahih Al-Bukhari No. 205

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ لَا يَدْرِي لَعَلَّهُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Yusuf] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Malik] dari [Hisyam bin ‘Urwah] dari [Bapaknya] dari [‘Aisyah], bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian mengantuk saat shalat hendaklah ia tidur hingga hilang kantuknya, karena bila shalat dalam keadaan mengantuk ia tidak menyadari, mungkin ia bermaksud beristighfar padahal bisa jadi ia mencaci dirinya.”

Keterangan Hadis: (Berwudhu karena bangun tidur), maksudnya apakah hal itu wajib atau mustahab (disukai). Secara lahiriah perkataan beliau, yakni ngantuk (nu’as) dapat juga dinamakan tidur (naum). Sementara pendapat yang masyhur adalah, bahwa keduanya itu berbeda; yakni barangsiapa yang fungsi inderanya berkurang, dimana ia mendengar perkataan teman duduknya namun tidak mengerti maknanya maka orang seperti ini dinamakan ngantuk. Apabila lebih dari kondisi tersebut, maka dinamakan tidur.

Di antara tanda-tanda tidur adalah mimpi baik yang singkat ataupun yang berlangsung lama. Sementara dalam kitab Al Ain wal Muhkam disebutkan, nu’as (ngantuk) sama dengan naum (tidur), atau kondisi yang mendekati tidur.

(Pendapat tidak ada wudhu karena rasa kantuk ringan) ini adalah pendapat kebanyakan ulama. Dari pendapat yang mengatakan lafazh nu’as (ngantuk) semakna dengan naum (tidur) akan lahir konsekuensi bagi mereka yang mengatakan bahwa tidur merupakan sebab yang membatalkan wudhu, maka juga menjadi konsekuensi mereka untuk mewajibkan wudhu karena ngantuk.

Telah riwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya sehubungan dengan kisah Ibnu Abbas yang shalat bersama Nabi SAW di suatu malam, dimana ia berkata, “Maka jika aku lalai, beliau menarik kupingku.” Hal ini menunjukkan bahwa wudhu tidak wajib bagi orang yang tidak nyenyak. Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Wajib wudhu bagi setiap orang yang tidur, kecuali jika sekedar anggukan kepala.”

Ibnu At-Tin berkata, “Khafaqah (anggukan kepala) adalah nu ‘as (ngantuk). Imam Bukhari dalam judul bab ini kembali menyebut lafazh khafaqah setelah lafazh nu ‘as, karena kedua lafadz tersebut berbeda.” Akan tetapi secara lahiriah hal tersebut merupakan penyebutan lafazh khusus setelah menyebutkan lafazh umum.

Para ahli bahasa berkata, خحق راسه apabila seseorang menganggukkan kepalanya saat ngantuk. Abu Zaid berkata, خحق برأسه من النعاس (la menganggukkan kepalanya karena ngantuk) apabila orang itu mencondongkan kepalanya.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 400 – Kitab Shalat

Sedangkan Al Harawi berkata, “Apabila dikatakan تخفق رؤوسهم maksudnya dagu mereka menempel ke dada.” Hal ini mengisyaratkan kepada hadits Anas,  (Biasanya para sahabat Nabi SAW menunggu shalat hingga ngantuk. sampai kepala mereka terangguk-angguk kemudian mereka berdiri melakukan shalat). Hadits ini diriwayatkan oleh Muhammad bin Nahsr dalam bab “Qiyamul Jail” dengan silsilah periwayatan yang shahih, dan sumbernya ada pada riwayat Imam Muslim.

فَلْيَرْقُدْ (Hendaklah ia tidur). Dalam riwayat Imam An-Nasa ‘i melalui jalur Ayyub dari Hisyam disebutkan, فَلْيَنْصَرِفْ (Hendaklah ia berbalik), maksudnya salam untuk mengakhiri shalat.

Kemudian Al Muhallab memahami hadits ini sebagaimana lahir­nya, dia berkata, “Sesungguhnya yang diperintahkan beliau SAW untuk memutuskan shalat adalah karena rasa kantuk yang sangat, maka apabila kantuk ringan masih dapat ditolerir (dimaatkan).” Dia menambahkan, “Para ulama telah sepakat bahwa tidur sedikit tidak membatalkan wudhu.” Namun Al Muzanni menyelisihi dengan perkataannya, “Tidur dapat membatalkan wudhu baik sebentar maupun ban yak.” Beliau dalam hal ini telah menyalahi ijma’ (kesepakatan ulama). Demikian yang dikatakan Al Muhallab. Begitu pula yang dinukil dari lbnu Baththal, Ibnu At-Tin dan lainnya.

Namun tanggapan mereka terhadap Al Muzanni dalam hal ini kurang obyektif, sebab Ibnu Mundzir dan selainnya telah menukil dari sebagian sahabat dan tabi’in suatu pandangan yang menyatakan bahwa tidur dapat membatalkan wudhu, baik lama maupun sebentar. Pandangan ini juga merupakan pendapat Abu Ubaid dan Ishaq bin Rahawaih.

Selanjutnya lbnu Mundzir menegaskan, “Ini pula yang menjadi pendapatku berdasarkan keumuman hadits Shafwan bin Asal yang dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan lainnya yang disebutkan di dalamnya, ‘Kecuali karena buang air besar atau kencing atau tidur.’ Di sini hukum tidur disamakan dengan kencing serta buang air besar. Maksud tidur yang sedikit atau banyak adalah panjang pendeknya waktu tidur tersebut, bukan kualitasnya.”

Adapun orang-orang yang berpendapat tidur merupakan waktu yang banyak mengakibatkan terjadinya hadats (hal-hal yang membata­kan wudhu) maka dalam menentukan tidur yang membatalkan wudhu, mereka berselisih pendapat;

Pertama. membedakan antara tidur yang sedikit dan banyak, ini adalah pendapat Az-Zuhri dan Malik.

Kedua, membedakan antara posisi berbaring dan posisi lainnya, ini pendapat Ats­Tsauri.

Ketiga, membedakan antara posisi berbaring dan bersandar serta selain keduanya, ini pendapat ulama ahli ra’yu.

Keempat, membedakan antara posisi berbaring, bersandar dan sujud yang dimaksudkan untuk tidur serta posisi selain itu, ini adalah pendapat Abu Yusuf.

Kelima, tidur pada posisi selain duduk tidak membatalkan wudhu, ini pendapat Imam Syafi’i dalam fatwa lamanya. Lalu diriwayatkan pula dari beliau suatu perincian bahwa apabila posisi tersebut dalam shalat maka tidak membatalkan wudhu, sedangkan jika berada di luar shalat dapat membatalkan wudhu.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 326 – Kitab Tayammum

Dalam fatwa beliau yang baru, Imam Syafi’i memberi perincian tersendiri; apabila seseorang duduk dalam posisi yang stabil maka wudhunya tidak batal, namun apabila posisinya tidak demikian maka wudhunya menjadi batal.

Kemudian dalam kitab Al Muhadzdzab dikatakan, “Apabila seseorang mendapati dirinya tertidur sementara ia dalam posisi duduk, dan tempat keluamya hadats menempel ke tanah (lantai), maka yang tersebut secara tekstual dalam madzhab kami bahwa wudhunya tidak batal. Namun dikatakan dalam kitab Al Buwaithi, “Wudhunya menjadi batal.” Pendapat ini yang dipilih oleh Al Muzanni. Demikian nukilan dari Al Muhadzdzab. Lalu perkataan penulis kitab Al Muhadzdzab dibantah dengan mengatakan, sesungguhnya lafazh yang ada pada Al Buwaithi tidaklah tegas memberi keterangan seperti itu, sebab beliau hanya mengatakan, “Barangsiapa yang tidur dengan posisi duduk atau berdiri lalu bermimpi, maka ia wajib wudhu.” Imam An-Nawawi berkomentar, “Perkataan ini dapat ditakwilkan (dialihkan maknanya).”

فَإِنَّ أَحَدكُمْ (Karena sesungguhnya salah seorang di antara kamu).Di sini terdapat isyarat akan illat (sebab) yang mengharuskan seseorang memutuskan shalatnya. Barangsiapa yang berada dalam kondisi demi­kian, maka wudhunya batal berdasarkan kesepakatan ulama. Demikian perkataannya, namun hal itu masih perlu dianalisa kembali. Sebab, isyarat dalam hadits adalah bolehnya memutuskan shalat atau meninggal­kan shalat setelah selesai salam.

Adapun persoalan batal tidaknya wudhu tidak dapat dipahami dari penuturan hadits tersebut. sebab memfungsikan lisan untuk menyebutkan apa yang ada dalam ingatan bisa saja dilakukan oleh orang yang dalam keadaan ngantuk.

Di sisi lain, Muhallab termasuk salah seorang yang berpandangan bahwa tidur yang ringan tidak membatalkan wudhu, lalu bagairnana dengan sekedar rasa kantuk.

Perkataan Muhallab tentang kesepakatan dalarn hal itu tidak dapat diterirna, karena telah diriwayatkan rnelalui jalur yang shahih dari Abu Musa Al Asy’ari, lbnu Urnar dan Sa’id bin Musayyab bahwa tidur tidak rnernbatalkan wudhu secara rnutlak.

Dalam Shahih Muslim dan Shahih Abu Dawud disebutkan, “Biasanya para sahabat Nabi rnenunggu shalat bersarna beliau SAW, lalu rnereka tertidur kernudian shalat tanpa (rnengulangi) wudhu.” Maka hadits ini dipahami bahwa rnereka rnelakukan hal itu dalarn posisi duduk. Akan tetapi dalarn Musnad Al Bazzar diriwayatkan rnelalui silsilah yang shahih sehubungan dengan hadits ini, فَيَضَعُونَ جُنُوبهمْ ، فَمِنْهُمْ مَنْ يَنَام ، ثُمَّ يَقُومُونَ إِلَى الصَّلَاة (Mereka pun mernbaringkan badan, diantara mereka ada yang tidur kemudian berdiri melakukan shalat).

فَيَسُبَّ (Mencaci), maksudnya memohon celaka atas dirinya. Keterangan ini dipertegas oleh An-Nasa’ i dalam riwayatnya melalui jalur Ayyub dari Hisyam. Ada kemungkinan sebab larangan ini adalah dikhawatirkan akan bertepatan dengan saat-saat dikabulkannya doa, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Abu Jamrah.

Di sini terdapat anjuran untuk mengambil pilihan yang menge­depankan sikap hati-hati, sebab Nabi SAW mengaitkan anjurannya dengan sebab dalam bentuk kemungkinan. Sebagaimana hadits ini juga merupakan dorongan untuk berlaku khusyu’ serta menghadirkan hati dalam beribadah, menjauhi hal-hal makruh dalam ketaatan serta bolehnya berdoa dalam shalat tanpa ada batasan tertentu.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 602 – Kitab Adzan

Catatan
Hadits ini dikeluarkan berdasarkan suatu sebab, yaitu apa yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr melalui jalur Ibnu lshaq dari Hisyam sehubungan dengan kisah Al Haula binti Tuwait seperti diterang­kan terdahulu dalam bab “Agama (amalan) yang paling disukai oleh Allah adalah yang berkesinambungan”.

Hadits Shahih Al-Bukhari No. 206

حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ فَلْيَنَمْ حَتَّى يَعْلَمَ مَا يَقْرَأُ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Abu Ma ‘mar] berkata, telah menceritakan kepada kami [‘Abdul Warits] telah menceritakan kepada kami [Ayyub] dari [Abu Qilabah] dari [Anas] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jika salah seorang dari kalian mengantuk saat shalat, hendaklah tidur (dahulu) hingga ia mengetahui apa yang ia baca.”

Keterangan Hadis: فَلْيَنَمْ (Hendaklah ia tidur). Al Muhallab berkata, “Hal ini khusus berlaku pada shalat malam, sebab shalat fardhu tidaklah berlangsung pada waktu-waktu tidur. Tidak pula membutuhkan waktu lama sehingga melahirkan kondisi demikian.” Telah kami jelaskan bahwa hadits ini dilatarbelakangi oleh kejadian tertentu, akan tetapi yang menjadi pedoman adalah keumuman lafazh dan bukan khususnya sebab. Untuk itu, anjuran dalam hadits ini tetap berlaku pada shalat-shalat fardhu.

Catatan
Al Isma’ili mengisyaratkan bahwa dalam hadits ini tcrjadi kesimpangsiuran (idhthirab). Dia berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Hammad bin Zaid dari Ayyub secara mauquf (tidak bersambung kepada Nabi SAW). Dalam riwayat itu disebutkan, ‘Dari Ayyub telah dibacakan kcpadaku dari Abu Qilabah, maka akupun mengenalnya.’ Kemudian hadits ini diriwayatkan pula oleh Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dari Ayyub tanpa mcncantumkan Anas di dalam jalur periwayatannya.” Demikian perkataan Al Isma’ili.

Akan tetapi apa yang beliau sebutkan tidaklah menjadikan hadits ini scbagai riwayat yang simpang siur (mudhtharib), sebab jalur Abdul Warits lebih akurat karena didukung oleh riwayat Wuhaib dan Ath-Thawi dari Ayyub.

Adapun perkataan Hammad dari Ayyub, “Telah dibacakan kepadaku … ” tidaklah menunjukkan bahwa beliau tidak mendengar langsung dari Abu Qilabah, bahkan mesti dipahami bahwa ia mengenal hadits itu sebagai salah satu riwayat yang didengamya langsung dari Abu Qilabah, wallahu a ‘lam.

M Resky S