Hadits Shahih Al-Bukhari No. 220 – Kitab Wudhu

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 220 – Kitab Wudhu ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Mencuci Darah” hadis ini menjelaskan tentang pertanyaan Asma ra kepada Rasulullah saw mengenai darah haid yang terkena pada pakaian. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Wudhu. Halaman 303-305.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ هِشَامٍ قَالَ حَدَّثَتْنِي فَاطِمَةُ عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ جَاءَتْ امْرَأَةٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ أَرَأَيْتَ إِحْدَانَا تَحِيضُ فِي الثَّوْبِ كَيْفَ تَصْنَعُ قَالَ تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ وَتَنْضَحُهُ وَتُصَلِّي فِيهِ

Terjemhaan: Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Al Mutsanna] berkata, telah menceritakan kepada kami [Yahya] dari [Hisyam] berkata, telah menceritakan kepadaku [Fatimah] dari [Asma’] berkata, “Seorang wanita datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya “Bagaimana pendapat Tuan jika salah seorang dari kami darah haidnya mengenai pakaiannya. Apa yang harus dilakukannya?” Beliau menjawab: “Membersihkan darah yang menggenai pakaiannya dengan menggosoknya dengan jari, lalu memercikinya dengan air. Kemudian shalat dengan pakaian tersebut.”

Keterangan Hadis: جَاءَتْ اِمْرَأَة (Seorang wanita datang). Dalam riwayat Syafi’i dari Sufyan bin Uyainah dari Hisyam disebutkan, bahwa yang bertanya adalah Asma’ sendiri. Lalu Imam An-Nawawi mengeluarkan pandangan yang ganjil, dimana beliau melemahkan riwayat Syafi’i tanpa dalil. Padahal silsilah periwayatan hadits tersebut shahih dan tidak cacat. Tidak tertutup kemungkinan jika seorang perawi menyembunyikan dirinya sendiri seperti yang akan disebutkan dalam hadits Abu Sa’ id dalam kisah menjampi dengan menggunakan surah Al Fatihah.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 502 – Kitab Waktu-waktu Shalat

تَحِيضُ فِي الثَّوْبِ (Haid di kain ), yakni darah haid mengenai kain. Dalam riwayat Imam Bukhari melalui jalur Malik dari Hisyam disebutkan dengan lafazh, إِذَا أَصَابَ ثَوْبَهَا الدَّمُ مِنْ الْحَيْضَةِ (Apabila kainnya terkena darah haid).

تَحُتُّهُ (Mengeriknya), maskudnya adalah menghilangkan dzatnya (wujudnya). Sementara dalam riwayat lbnu Khuzaimah dinukil dengan lafazh تَحُكُّهُ namun kedua lafazh ini memiliki makna yang sama.

ثُمَّ تَقْرُصُهُ (Kemudian menggosoknya), demikian lafazh yang terdapat dalam riwayat kami. Sementara itu telah dinukil oleh Al Qadhi Iyadh serta selainnya dengan lafazh ثُمَّ تَقْرُصُهُ yakni hendaklah wanita tersebut menggosok tempat yang terkena darah dengan ujung-ujung jarinya agar air dapat meresap sehingga darah yang telah masuk ke sela-sela kain dapat keluar kembali.

وَتَنْضَحُهُ (Dan memercikinya), maksudnya adalah mencucinya seperti yang dikatakan oleh Al Khaththabi. Al Qurthubi berkata, “Yang dimaksud adalah memercikinya, sebab mencuci darah itu sendiri telah tercakup dalam lafazh ‘Hendaklah ia menggosoknya dengan air.”‘ Adapun memerciki di sini hanyalah khusus pada bagian kain yang diragukan telah terkena percikan darah. Aku (Ibnu Hajar) katakan, “Atas dasar keterangan Al Khaththabi, maka kata ganti yang terdapat pada lafazh تَنْضَحُهُ (memercikinya) kembali kepada pakaian itu sendiri.

Berbeda dengan kata ganti pada lafazh تَحُتُّهُ (menggosoknya), dimana kata ganti di sini kembali kepada darah. Kemudian memerciki bagian kain yang diragukan apakah terkena darah atau tidak, sama sekali tak memberi faidah apa-apa. Sebab jika bagian tersebut suci, maka tidak ada gunanya untuk diperciki. Sementara apabila najis, maka ia tidak akan suci hanya sekedar diperciki. Maka pandangan paling tepat adalah apa yang dikatakan oleh Al Khaththabi.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 282 – Kitab Mandi

Al Khaththabi berkata, “Dal am hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa najis hanya dapat dihilangkan dengan menggunakan air, bukan dengan zat cair lainnya. Sebab seluruh jenis najis sama kedudukannya dengan darah, dimana tidak ada perbedaan di antaranya menurut kesepakatan ulama. Pendapat bahwa air sebagai satu-satunya alat yang dapat menghilangkan najis merupakan perkataan mayoritas ulama (jumhur).”

Sementara itu telah dinukil suatu pendapat dari Abu Hanifah dan Abu Yusuf yang membolehkan membersihkan najis dengan mengguna­kan semua zat cair yang suci. Dasar yang menjadi landasan pandangan keduanya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah dengan lafazh, مَا كَانَ لِإِحْدَانَا إِلَّا ثَوْب وَاحِد تَحِيضُ فِيهِ فَإِذَا أَصَابَهُ شَيْءٌ مِنْ دَمِ الْحَيْضِ قَالَتْ بِرِيقِهَا فَقَصَعَتْهُ بِظُفُرِهَا (Tidaklah salah seorang di antara kami melainkan hanya memiliki satu sarung dimana ia haid samhil menggunakannya. Apabila kain tersebut terkena darah haid, maka ia pun menghilangkannya dengan air ludahnya lalu menggosok dengan kukunya).

Dalam riwayat Abu Dawud dikatakan, “la membasahi dengan air ludahnya.” Sisi pengambilan hukum dari hadits ini adalah, apabila ludah tidak dapat menghilangkan najis, niscaya najis hanya akan semakin bertambah di tempat tersebut. Tapi pendapat ini dapat dijawab dengan mengatakan, tidak tertutup kemungkinan bahwa yang beliau maksud dengan hal itu adalah mengerik tempat darah, setelah itu diiringi dengan mencucinya. Hal ini akan dijelaskan kemudian dalam kitab Haid pada bab “Apakah wanita shalat dengan menggunakan kain yang ia gunakan saat haid.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 123-124 – Kitab Ilmu

Pelajaran yang dapat diambil

Sebagian ulama membantah pandangan yang menetapkan air sebagai satu-satunya alat yang dapat membersihkan najis di antara zat cair lainnya. Mereka mengatakan bahwa kesimpulan tersebut hanya ber­dasarkan kenyataan dimana air disebutkan secara khusus, dan hal itu tidak menjadi dalil bagi mayoritas ulama. Di samping itu, kenyataan ini hanya didasarkan pada kejadian yang umum bukan dalam bentuk persyaratan.

Bantahan ini dapat ditanggapi dengan mengatakan, bahwa hadits tersebut telah menyebutkan “air” secara tekstual, maka untuk menyama­kannya dengan zat cair lainnya mesti dengan cara analogi (qiyas). Padahal termasuk syarat dalam hal ini adalah bahwa hukum cabang (furu’) tidak menyalahi illat (dasar penetapan hukum) yang ada pada masalah pokok (yakni masalah yang dijadikan pedoman dalam menetap kan hukum cabang).

Sementara pada zat cair selain air tidak ditemukan unsur-unsur seperti yang ada pada air, seperti kelembutan dan daya serapnya yang cepat. Dari sini maka zat cair selain air tidak dapat disamakan hukumnya dengan air dalam membersihkan najis. Faidah-faidah selanjutnya mengenai hadits ini akan dibahas pada bab “Mencuci darah haid”, insya Allah.

M Resky S