Hadits Shahih Al-Bukhari No. 301 – Kitab Haid

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 301 – Kitab Haid ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Bolehkah Wanita Shalat dengan Menggunakan Kain yang Dipakainya Saat Haid?” hadis berikut ini menjelaskan tentang seorang yang hanya memiliki satu kain yang digunakannya saat haid, maka boleh dipakai pada saat melaksanakan shalat, tentu saja setelah dibersihkan. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Haid. Halaman 528-530.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ مَا كَانَ لِإِحْدَانَا إِلَّا ثَوْبٌ وَاحِدٌ تَحِيضُ فِيهِ فَإِذَا أَصَابَهُ شَيْءٌ مِنْ دَمٍ قَالَتْ بِرِيقِهَا فَقَصَعَتْهُ بِظُفْرِهَا

Terjemahan:Telah menceritakan kepada kami [Abu Nu’aim] berkata, telah menceritakan kepada kami [Ibrahim bin Nafi’] dari [Ibnu Abu Najih] dari [Mujahid] berkata, [‘Aisyah] berkata, “Tidaklah ada seorang dari kami kecuali memiliki satu baju yang saat mengalami haid. Jika baju tersebut terkena darah haid, ia dia basahi dengan air ludahnya lalu membersihkanya dengan kukunya.”

Keterangan Hadis:(Bolehkah wanita shalat dengan menggunakan kain yang dipakai­nya saat haid?). Dikatakan bahwa kesesuaian hadits dengan judul bab adalah bahwa seorang yang hanya memiliki satu kain yang digunakannya saat haid, maka boleh dipakai pada saat melaksanakan shalat, tentu saja setelah dibersihkan.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 182 – Kitab Wudhu

Adapun hubungan hadits ini dengan hadits Ummu Salamah terdahulu yang menerangkan bahwa ia memiliki pakain khusus untuk dipakai saat haid, adalah bahwa hadits Aisyah ini menggambarkan kondisi permulaan dakwah Islam, sedangkan hadits Ummu Salamah menggambarkan kondisi setelah keadaan menjadi stabil dan kehidupan mulai makmur.

Namun ada kemungkinan perkataan Aisyah, “Kecuali memiliki satu kain”, maksudnya adalah pakaian yang digunakan saat haid. Hal itu tidak menutup kemungkinan jika para wanita saat itu memiliki kain lain yang dipakai setelah suci dari haid. Dengan demikian, ada kesesuain dengan kandungan hadits Ummu Salamah.

Di samping itu dalam hadits ini tidak ada keterangan yang menjelaskan bahwa wanita tersebut shalat dengan menggunakan kain yang dipakainya saat haid, sehingga hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah oleh mereka yang membolehkan menghilangkan najis tidak menggunakan air. Hanya saja wanita itu menghilangkan darah dengan ludahnya untuk menghilangkan bekasnya dan tidak bermaksud membersihkan pakaian tersebut.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 591-592 – Kitab Adzan

Sementara itu pada bab terdahulu disebutkan tentang mencuci setelah mengerik, dimana Aisyah mengatakan, “Kemudian ia shalat dengan menggunakan kain tersebut”. Hal ini memberi indikasi, jika wanita itu hendak shalat dengan menggunakan kain yang ia pakai waktu haid, maka ia pun mencucinya terlebih dahulu.

Pelajaran yang dapat diambil

Sebagian ulama mengkritik keshahihan hadits ini dengan alasan silsilah periwayatannya terputus (munqathi ‘) serta ketidakpastian yang terdapat di dalamnya (mudhtharib). Kritik yang pertama dikemukakan oleh Abu Hatim, dimana ia berkata, “Mujahid tidak mendengar hadits ini langsung dari Aisyah.” Namun pernyataan beliau tidak dapat diterima, karena ada penegasan bahwa Mujahid mendengar hadits tersebut langsung dari Aisyah, seperti dinukil oleh Imam Bukhari pada jalur periwayatan yang lain. Demikian pula yang ditegaskan oleh Ali bin Al Madini. Keterangan bahwa Mujahid mendengar hadits tersebut langsung dari Aisyah mesti lebih diunggulkan daripada keterangan sebaliknya.

Adapun kritik yang kedua, berdasarkan riwayat Abu Dawud melalui jalur Muhammad bin Katsir dari Ibrahim bin Nafi’ dari Al Hasan bin Muslim (sebagai ganti daripada Abu Najih). Namun perbedaan ini tidak berkonsekuensi adanya ketidakpastian (idhthirab ), sebab bisa saja dipahami bahwa Ibrahim bin Nafi’ telah menerima hadits tersebut dari dua guru sekaligus.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 517-518 – Kitab Waktu-waktu Shalat

Apabila tidak dapat dipahami demikian, maka riwayat Abu Nu’aim (guru Imam Bukhari) kedudukannya lebih kuat dibandingkan Muhammad bin Katsir (guru Imam Abu Dawud). Semen­tara itu hadits Abu Nu’aim telah didukung oleh riwayat Khallad bin Yahya dan Abu Hudzaifah serta Nu’man bin Abdussalam sehingga riwayatnya menjadi lebih kuat (unggul), karena riwayat yang lemah tidak memberi pengaruh pada riwayat yang lebih kuat. Wallahu a ‘lam.

M Resky S