Hadits Shahih Al-Bukhari No. 642-643 – Kitab Adzan

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 642-643 – Kitab Adzan ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Orang yang Berdiri di Samping Imam Karena Suatu Halangan” dan “Orang Yang Masuk Untuk Menjadi Imam Shalat, Lalu Datang Imam Tetap, Maka yang Pertama Mundur Atau Tidak Shalat Tetap Dianggap Sah”  Hadis-hadis ini menjelaskan betapa segan nya Abu Bakar shalat dihadapan Nabi saw sebagai imam. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 4 Kitab Adzan. Halaman 255-267.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ بْنُ يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ قَالَ أَخْبَرَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَا بَكْرٍ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ فِي مَرَضِهِ فَكَانَ يُصَلِّي بِهِمْ قَالَ عُرْوَةُ فَوَجَدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفْسِهِ خِفَّةً فَخَرَجَ فَإِذَا أَبُو بَكْرٍ يَؤُمُّ النَّاسَ فَلَمَّا رَآهُ أَبُو بَكْرٍ اسْتَأْخَرَ فَأَشَارَ إِلَيْهِ أَنْ كَمَا أَنْتَ فَجَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِذَاءَ أَبِي بَكْرٍ إِلَى جَنْبِهِ فَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي بِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ أَبِي بَكْرٍ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Zakaria bin Yahya] berkata, telah menceritakan kepada kami [Ibnu Numair] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Hisyam bin ‘Urwah] dari [Bapaknya] dari [‘Aisyah] ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Abu Bakar untuk memimpin shalat jama’ah bersama orang-orang saat beliau sakit. Maka Abu Bakar pun memimpin shalat mereka.” ‘Urwah berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merasakan ringan pada tubuhnya, beliau pun keluar sementara Abu Bakar sedang mengimami orang-orang shalat. Ketika Abu Bakar melihat beliau datang, dia pun berkeinginan untuk mundur. Tetapi beliau memberi isyarat kepadanya (dengan katanya): “Tetaplah kamu pada posisimu.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di samping Abu Bakar, sehingga dia shalat mengikuti shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang-orang mengikuti shalatnya Abu Bakar.”

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي حَازِمِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ إِلَى بَنِي عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ لِيُصْلِحَ بَيْنَهُمْ فَحَانَتْ الصَّلَاةُ فَجَاءَ الْمُؤَذِّنُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ فَقَالَ أَتُصَلِّي لِلنَّاسِ فَأُقِيمَ قَالَ نَعَمْ فَصَلَّى أَبُو بَكْرٍ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ فِي الصَّلَاةِ فَتَخَلَّصَ حَتَّى وَقَفَ فِي الصَّفِّ فَصَفَّقَ النَّاسُ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ لَا يَلْتَفِتُ فِي صَلَاتِهِ فَلَمَّا أَكْثَرَ النَّاسُ التَّصْفِيقَ الْتَفَتَ فَرَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَشَارَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ امْكُثْ مَكَانَكَ فَرَفَعَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَدَيْهِ فَحَمِدَ اللَّهَ عَلَى مَا أَمَرَهُ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ ذَلِكَ ثُمَّ اسْتَأْخَرَ أَبُو بَكْرٍ حَتَّى اسْتَوَى فِي الصَّفِّ وَتَقَدَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ يَا أَبَا بَكْرٍ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَثْبُتَ إِذْ أَمَرْتُكَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ مَا كَانَ لِابْنِ أَبِي قُحَافَةَ أَنْ يُصَلِّيَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا لِي رَأَيْتُكُمْ أَكْثَرْتُمْ التَّصْفِيقَ مَنْ رَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلَاتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Yusuf] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Malik] dari [Abu Hazim bin Dinar] dari [Sahal bin Sa’d As Sa’idi], bahwa suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi menemui Bani ‘Amru bin ‘Auf untuk menyelesaikan masalah di antara mereka. Kemudian tiba waktu shalat, lalu ada seorang mu’adzin menemui Abu Bakar seraya berkata, “Apakah engkau mau memimpin shalat berjama’ah sehingga aku bacakan iqamatnya?” Abu Bakar menjawab, “Ya.” Maka Abu Bakar memimpin shalat. Tak lama kemudian datang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedangkan orang-orang sedang melaksanakan shalat. Lalu beliau bergabung dan masuk ke dalam shaf. Orang-orang kemudian memberi isyarat dengan bertepuk tangan namun Abu Bakar tidak bereaksi dan tetap meneruskan shalatnya. Ketika suara tepukan semakin banyak, Abu Bakar berbalik dan ternyata dia melihat ada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi isyarat yang maksudnya: ‘Tetaplah kamu pada posisimu’. Abu Bakar mengangkat kedua tangannya lalu memuji Allah atas perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Kemudian Abu Bakar mundur dan masuk dalam barisan shaf lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maju dan melanjutkan shalat. Setelah shalat selesai, beliau bersabda: “Wahai Abu Bakar, apa yang menghalangimu ketika aku perintahkan agar kamu tetap pada posisimu?” Abu Bakar menjawab, “Tidaklah patut bagi anak Abu Qahafah untuk memimpin shalat di depan Rasulullah”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Mengapa kalian tadi banyak bertepuk tangan?. Barangsiapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepukan untuk wanita.”

Keterangan Hadis: (Bab orang yang berdiri) Yakni shalat.

(di samping imam karena suatu halangan) Yakni karena suatu sebab yang mengharuskannya untuk melakukan hal itu. Pembahasan mengenai hal ini telah diterangkan pada bab, “Batasan orang sakit….”

(Bab barangsiapa yang masuk) Yakni masuk ke dalam mihrab misalnya.

(untuk menjadi imam shalat, lalu datang imam tetap) Yakni imam shalat Rawatib (imam tetap ).

(maka imam yang pertama mundur), yakni yang masuk pertama untuk menjadi imam shalat. Pada hakikatnya kedua-duanya dinamakan yang pertama apabila dilihat dari posisi masing-masing.

ذَهَبَ إِلَى بَنِي عَمْرو بْن عَوْف (beliau pergi ke Bani Amr bin Auj) Yakni Ibnu Malik bin Aus. Sementara Aus adalah salah satu kabilah Anshar, yakni Aus dan Khazraj. Bani Amr bin Auf adalah salah satu marga yang besar dalam suku Aus, ia terdiri dari sejumlah kelompok dan tinggal di Quba’. Di antaranya adalah keluarga Umayah bin Zaid bin Malik bin Aufbin Amr bin Auf, keluarga Dhubai’ah bin Zaid dan keluarga Tsa’labah bin Amr bin Auf.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 220 – Kitab Wudhu

Adapun sebab keberangkatan beliau SAW kepada mereka terdapat dalam riwayat Sufyan, ia berkata, وَقَعَ بَيْنَ حَيَّيْنِ مِنْ الْأَنْصَار كَلَام (Terjadi di antara dua kelompok Anshar perbincangan). Imam Bukhari meriwayatkan dalam pembahasan tentang Ash-Shulh (perdamaian) melalui jalur Muhammad bin Ja’far dari Abu Hazim, أَنَّ أَهْل قُبَاءَ اِقْتَتَلُوا حَتَّى تَرَامَوْا بِالْحِجَارَةِ ، فَأُخْبِرَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ ، فَقَالَ : اِذْهَبُوا بِنَا نُصْلِحُ بَيْنَهُمْ (Sesungguhnya penduduk Quba saling berperang hingga saling melempar batu. Lalu hal itu diberitahukan kepada Nabi SAW. maka beliau bersabda, “Berangkatlah bersama kami untuk mendamaikan di antara mereka.”). Imam Bukhari menukil pula persoalan ini melalui riwayat Abu Ghassan dari Abu Hazim, فَخَرَجَ فِي أُنَاس مِنْ أَصْحَابه (Maka beliau keluar bersama beberapa orang sahabatnya).

Kemudian Ath-Thabrani menyebutkan -beberapa orang di antara mereka- melalui jalur Musa bin Muhammad dari Abu Hazim, yaitu Ubay bin Ka’ab dan Suhail bin Baidha’. Imam Bukhari menyebutkan dalam pembahasan tentang Al Ahkam (hukum-hukum) melalui jalur Hammad bin Zaid dari Abu Hazim bahwa keberangkatan Nabi SAW ke tempat tersebut adalah setelah shalat Zhuhur. Sementara Ath-Thabrani menukil melalui jalur Umar bin Ali dari Abu Hazim bahwa berita itu datang kepada Nabi sementara Bilal telah adzan untuk shalat Zhuhur.

فَحَانَتْ الصَّلَاة (waktu shalat telah tiba) Yakni shalat Ashar. Hal ini dinyatakan dengan tegas oleh Imam Bukhari dalam pembahasan tentang Al Ahkam (hukum-hukum), dengan lafazh, فَلَمَّا حَضَرَتْ صَلَاة الْعَصْر أَذَّنَ وَأَقَامَ وَأَمَرَ أَبَا بَكْر فَتَقَدَّمَ (Ketika telah tiba waktu shalat Ashar,beliau adzan dan qamat lalu memerintahkan Abu Bakar untuk maju). Namun di sini tidak disebutkan nama orang yang adzan dan qamat, serta yang memberi perintah tersebut. Imam Ahmad, Abu Daud serta Ibnu Hibban meriwayatkan melalui jalur Hammad dengan menjelaskan orang yang dimaksud, dan ia melakukan hal itu atas perintah Nabi SAW. Adapun lafazhnya adalah, فَقَالَ لِبِلَالٍ إِنْ حَضَرَتْ الْعَصْر وَلَمْ آتِك فَمُرْ أَبَا بَكْر فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ ، فَلَمَّا حَضَرَتْ الْعَصْر أَذَّنَ بِلَال ثُمَّ أَقَامَ ثُمَّ أَمَرَ أَبَا بَكْر فَتَقَدَّمَ (Beliau bersabda kepada Bilal, “Apabila shalat Ashar telah tiba dan aku belum datang, maka perintahkan Abu Bakar untuk shalat mengimami manusia. ” Ketika waktu shalat Ashar telah masuk, Bilal adzan kemudian qamat, kemudian memerintahkan Abu Bakar, lalu ia (Abu Bakar) maju).

Riwayat serupa dinukil pula oleh Ath-Thabrani melalui riwayat Musa bin Muhammad dari Abu Hazim. Berdasarkan riwayat ini diketahui bahwa muadzdzin yang dimaksud adalah Bilal. Adapun perkataan Bilal kepada Abu Bakar, أَتُصَلِّي لِلنَّاسِ (Apakah engkau akan shalat mengimami manusia?) tidak bertentangan dengan riwayat tadi, karena pertanyaan Bilal dipahami dengan makna, “Apakah engkau akan segera melakukan shalat di awal waktu, atau menunggu hingga Nabi SAW datang?” Lalu Abu Bakar memandang lebih tepat apabila shalat segera dilaksanakan, karena segera melaksanakan shalat merupakan keutamaan yang pasti, dan tidak sepantasnya ditinggalkan hanya karena keutamaan yang belum pasti.

قَالَ نَعَمْ (beliau berkata, “Ya”) Dalam riwayat Abdul Aziz bin Abu Hazim dari bapaknya terdapat tambahan, إِنْ شِئْت (Apabila engkau mau). Riwayat ini dinukil pula oleh Imam Bukhari dalam bab, “Mengangkat tangan….” Hanya saja Abu Bakar menyerahkan keputusan akhir kepada Bilal, karena adanya kemungkinan Bilal mengetahui dari Nabi SAW sesuatu yang tidak diketahui oleh Abu Bakar RA.

فَصَلَّى أَبُو بَكْر (maka Abu Bakar shalat) Yakni masuk dalam shalat. Sementara dalam riwayat Abdul Aziz yang disinggung tadi dikatakan, وَتَقَدَّمَ أَبُو بَكْر فَكَبَّرَ (Abu Bakar maju lalu takbir). Dalam riwayat Al Mas’udi dari Abu Hazim disebutkan, فَاسْتَفْتَحَ أَبُو بَكْر الصَّلَاة (Maka Abu Bakar membuka shalat). Riwayat ini dinukil  oleh Ath-Thabrani.

Berdasarkan keterangan tersebut, maka diketahui perbedaan dua sikap yang ditunjukkan Abu Bakar. Pada peristiwa pertama beliau tidak mau meneruskan shalat sebagai imam setelah Nabi SAW datang. Sementara pada peristiwa Nabi SAW menderita sakit yang membawa kepada kematiannya, Abu Bakar memilih untuk meneruskan shalatnya sebagai imam meskipun Nabi SAW menjadi makmum pada rakaat kedua shalat Subuh, seperti dinyatakan dengan tegas oleh Musa bin Uqbah dalam kitab tentang Al Maghazi (peperangan). Seakan-akan Abu Bakar berpendapat bahwa jika sebagian besar shalat telah dilaksanakan, maka lebih baik meneruskan shalat dan tidak memutusnya. Sedangkan apabila hanya sedikit, maka lebih baik tidak meneruskannya. Demikian pula yang tercantum dalam riwayat Abdurrahman bin Auf, yang menyatakan bahwa Nabi SAW shalat di belakang Abu Bakar pada rakaat kedua shalat Subuh. Sesungguhnya beliau (Abdurrahman) meneruskan shalatnya dengan posisi sebagai imam karena alasan tadi. Kisah Abdurrahman dinukil oleh Imam Muslim dari hadits Al Mughirah bin Syu’bah.

فَتَخَلَّصَ (meloloskan diri) Dalam riwayat Abdul Aziz disebutkan, فَجَاءَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْشِي فِي الصُّفُوف يَشُقّهَا شَقًّا حَتَّى قَامَ فِي الصَّفّ الْأَوَّل (Maka Nabi SAW datang berjalan di antara shaf-shaf dengan menyela-nyela hingga berdiri di shaf pertama). Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan, فَخَرَقَ الصُّفُوفَ حَتَّى قَامَ عِنْدَ الصَّفِّ الْمُتَقَدِّمِ (Beliau membelah shaf-shaf hingga berdiri di shaf paling depan).

فَصَفَّقَ النَّاس (maka manusia bertepuk tangan) Dalam riwayat Abdul Aziz dikatakan, فَأَخَذَ النَّاس فِي التَّصْفِيحِ . قَالَ سَهْل : أَتَدْرُونَ مَا التَّصْفِيحُ ؟ هُوَ التَّصْفِيقُ (Maka manusia melakukan tashfzh…Sahal berkata, “Tahukah kamu apakah itu tashjih, ia adalah ‘tashjiq’ [bertepuk tangan]’) Hal ini menunjukkan bahwa kedua lafazh itu mempunyai makna yang sama (sinonim). Untuk itu, tidak perlu memperhatikan pendapat yang menyalahinya. Pembahasan ini akan dikemukakan pada bab tersendiri.

Baca Juga:  Bagaimanakah Hadits Hasan Itu? Berikut Penjelasannya

وَكَانَ أَبُو بَكْر لَا يَلْتَفِت (dan Abu Bakar tidak menoleh) Suatu pendapat mengatakan bahwa apa yang dilakukan Abu Bakar adalah berdasarkan pengetahuannya tentang larangan menoleh waktu shalat sehingga dia tidak melakukannya. Telah diriwayatkan melalui jalur yang shahih bahwa menoleh saat shalat adalah pencurian yang dilakukan oleh syetan dari shalat seorang hamba, sebagaimana akan disebutkan pada bab tersendiri ketika membahas tentang sifat shalat.

فَأَشَارَ إِلَيْهِ أَنْ اُمْكُثْ مَكَانَك (beliau SAW mengisyaratkan kepada Abu Bakar, yakni tetaplah di tempatmu) Dalam riwayat Abdul Aziz disebutkan, فَأَشَارَ إِلَيْهِ يَأْمُرهُ أَنْ يُصَلِّيَ (Beliau mengisyaratkan kepadanya memerintahkannya untuk shalat). Sementara dalam riwayat Umar bin Ali disebutkan, فَدَفَعَ فِي صَدْره لِيَتَقَدَّمَ فَأَبَى (Beliau mendorong dadanya untuk maju namun Abu Bakar merasa enggan).

فَرَفَعَ أَبُو بَكْر يَدَيْهِ فَحَمِدَ اللَّه (Abu Bakar mengangkat kedua tangannya seraya memuji  Allah) secara lahiriah Abu Bakar mengucapkan kalimat pujian. Akan tetapi dalam riwayat Al Humaidi dari Sufyan dikatakan, فَرَفَعَ أَبُو بَكْر رَأْسه إِلَى السَّمَاء شُكْرًا لِلَّهِ وَرَجَعَ الْقَهْقَرَى (Abu Bakar mengangkat kepalanya ke langit bersyukur kepada Allah. lalu berjalan mundur ke belakang).

Ibnu Al Jauzi mengklaim bahwa syukur dan pujian itu dinyatakan Abu Bakar dalam bentuk isyarat, tanpa diucapkan dengan lisan. Namun dalam riwayat Al Humaidi tidak ada keterangan yang menghalangi bahwa kalimat itu diucapkan dengan lisan. Bahkan hal ini didukung oleh riwayat Imam Ahmad dari Abdul Aziz bin Al Majisyun dari Abu Hazim, يَا أَبَا بَكْر لِمَ رَفَعْت يَدَيْك وَمَا مَنَعَك أَنْ تَثْبُتَ حِينَ أَشَرْت إِلَيْك ؟ قَالَ : رَفَعْت يَدَيَّ لِأَنِّي حَمِدْت اللَّهَ عَلَى مَا رَأَيْت مِنْك (Wahai Abu Bakar, mengapa engkau mengangkat kedua tanganmu, dan apa yang mencegahmu untuk tetap pada posisimu ketika aku memberi isyarat kepadamu? Abu Bakar menjawab, “Aku mengangkat kedua tanganku karena aku memuji Allah atas apa yang aku lihat darimu.”).

Al Mas’udi menambahkan, فَلَمَّا تَنَحَّى تَقَدَّمَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (Ketika Abu Bakar mundur, maka Nabi SAW maju). Hal serupa terdapat dalam riwayat Hammad bin Zaid.

أَنْ يُصَلِّيَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (untuk shalat di hadapan Rasulullah SAW) Dalam riwayat Hammadain (dua perawi bernama Hammad -penerj.) dan Al Majisyun disebutkan, أَنْ يَؤُمَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (Mengimami Nabi SAW).

أَكْثَرْتُمْ التَّصْفِيق (kalian ramai bertepuk tangan) Secara lahiriah sebab pengingkaran ini adalah tepukan yang ramai, bukan sekedar bertepuk tangan. Tapi persoalan ini akan dibahas pada bab tersendiri.

فَلْيُسَبِّحْ (hendaklah ia bertasbih) Dalam riwayat Ya’qub bin Abdurrahman dari Abu Hazim disebutkan, فَلْيَقُلْ سُبْحَانَ اللَّه (Hendaklah mengatakan subhaanallah [Maha Suci Allah]). Pembahasannya lebih lanjut akan dikemukakan pada bab ”Memberi Isyarat Saat Shalat”.

اُلْتُفِتَ إِلَيْهِ (ditengok kepadanya) Dalam riwayat Ya’qub yang telah disebutkan dikatakan, فَإِنَّهُ لَا يَسْمَعُهُ أَحَدٌ حِينَ يَقُول سُبْحَان اللَّه إِلَّا اِلْتَفَتَ (Karena sesungguhnya tidak seorang pun yang mendengarnya mengucapkan “subhaanallah” melainkan akan ditengok kepadanya).

وَإِنَّمَا التَّصْفِيق لِلنِّسَاءِ (dan sesungguhnya bertepuk tangan adalah untuk wanita) Dalam riwayat Abdul Aziz disebutkan dengan lafazh, وَإِنَّمَا التَّصْفِيح لِلنِّسَاءِ (sesungguhnya tashfil (tepuk tangan) hanya bagi wanita). Al Humaidi menambahkan, وَالتَّسْبِيح لِلرِّجَالِ (Dan tasbih adalah bagi kaum laki-laki).

Khusus lafazh terakhir ini telah diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari melalui Ats-Tsauri dari Abu Hazim, seperti akan disebutkan pada bab, “Bertepuk Tangan bagi Wanita”. Dalam riwayat Hammad bin Zaid disebutkan dengan lafazh dalam bentuk perintah sebagaimana berikut, إِذَا نَابَكُمْ أَمْر فَلْيُسَبِّحْ الرِّجَال وَلْيُصَفِّحْ النِّسَاء (Apabila terjadi pada kalian suatu perkara maka hendaklah kaum laki-laki bertasbih dan kaum wanita bertepuk tangan).

Pelajaran yang dapat diambil:

1. Keutamaan mendamaikan antara manusia (yang bersengketa) dan menyatukan kabilah serta menutup rapat celah perpecahan.

2. Sikap imam yang pergi sendiri untuk menemui sebagian rakyat yang dipimpinnya.

3. Mengutamakan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan imam sendiri.

4. Seorang hakim boleh pergi menemui sebagian orang yang bersengketa untuk mendengarkan keterangan mereka, apabila hal ini dipandang lebih baik daripada menghadirkan mereka di persidangan.

5. Satu shalat boleh diimami dua imam, secara bergantian.

6. Apabila Imam rawatib (tetap) tidak dapat hadir, maka ia harus menunjuk orang lain untuk menggantikannya.

7. Apabila imam rawatib datang sementara penggantinya telah memulai shalat, maka imam rawatib boleh memilih antara shalat sebagai makmum atau mengambil alih posisi imam tanpa harus menghentikan shalat. Tindakan itu tidak membatalkan shalat yang telah dilakukan makmum. Namun Ibnu Abdul Barr menyatakan bahwa yang demikian itu berlaku khusus bagi Nabi SAW, seraya mengklaim telah ada ijma‘ (kesepakatan) para ulama bahwa perbuatan itu tidak boleh bagi selain beliau SAW. Tapi pernyataannya ini dibantah dengan mengatakan bahwa sesungguhnya perbedaan pendapat mengenai hal itu tidak dapat disangsikan lagi. Pendapat yang shahih lagi masyhur dalam madzhab Syafi’i menyatakan bahwa perbuatan tersebut diperbolehkan. Sementara diriwayatkan dari Ibnu Al Qasim sehubungan dengan imam yang mengalami hadats, lalu ia menunjuk orang lain menggantikannya, kemudian ia kembali dan pengganti meninggalkan posisi imam, setelah itu imam pertama meneruskan shalat, maka shalat tersebut dianggap sah.

8. Makmum boleh melakukan takbiratul ihram sebelum imam.

9. Bisa saja seseorang pada sebagian shalat berkedudukan sebagai imam dan pada sebagian lain dari shalat tersebut berkedudukan sebagai makmum.

10. Seseorang yang melakukan takbiratul ihram dengan niat shalat sendiri, lalu shalat jamaah hendak laksanakan, maka ia boleh bergabung dalam jamaah tersebut tanpa memutuskan shalatnya. Demikian pandangan yang disimpulkan oleh Ath-Thabari dari kisah hadits di atas. Ini merupakan konsekuensi bolehnya makmum melakukan tabiratul ihram sebelum imam.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 34 - Kitab Iman

11. Keutamaan Abu Bakar dibandingkan semua sahabat. Hal ini telah dijadikan dalil oleh seluruh pensyarah hadits serta para ahli fikih (fuqaha) seperti Ar-Ruyani untuk menyatakan bahwa Abu Bakar merupakan sosok paling utama di antara mereka dalam pandangan para sahabat, dimana mereka memilihnya bukan yang lainnya.

12. Boleh menunjuk seseorang untuk menjadi imam mereka apabila imam rawatib tidak hadir. Para ulama mengatakan hal ini berlaku apabila tidak dikhawatirkan timbulnya fitnah serta tidak pula diingkari oleh imam rawatib.

13. Orang yang maju sebagai pengganti imam harus orang yang paling tepat menduduki posisi tersebut.

14. Muadzdzin menawarkan kepada orang yang paling utama untuk maju, dan orang yang memiliki keutamaan ini memenuhi tawaran tersebut setelah mengetahui keridhaan para jamaah. Semua ini berdasarkan pandangan bahwa para sahabat melakukan hal tersebut atas dasar ijtihad, sementara kami telah menyebutkan bahwa mereka melakukan hal itu atas dasar perintah Nabi SAW.

15. Sesungguhnya qamat dan memanggil imam merupakan tugas muadzdzin.

16. Muadzin tidak melakukan qamat melainkan setelah mendapat izin dari imam.

17. Melakukan shalat -khususnya shalat Ashar- di awal waktu lebih diutamakan daripada menunggu imam yang lebih utama (imam tetap).

18. Boleh bertasbih dan memuji saat shalat, karena ia termasuk dzikir kepada Allah, meskipun maksud orang yang bertasbih adalah memberitahukan orang lain tentang apa yang ia lakukan. Pembahasan ini akan diterangkan pada bah tersendiri.

19. Mengangkat tangan saat shalat ketika berdoa dan mengucapkan pujian, sebagaimana akan dijelaskan kemudian.

20. Disukai memuji Allah SWT bagi yang mendapatkan nikmat meskipun sedang melakukan shalat.

21. Boleh menoleh saat shalat karena suatu kebutuhan.

22. Berbicara dengan orang yang shalat melalui bahasa isyarat lebih utama daripada berbicara melalui bahasa lisan. Sesungguhnya bahasa isyarat di sini menduduki posisi bahasa lisan, karena Nabi SAW mencela Abu Bakar ketika menyelisihi isyarat yang diberikannya.

23. Boleh menyela-nyela shaf dan berjalan di antara orang-orang yang shalat dengan maksud untuk sampai ke shaf pertama. Namun yang demikian hanya berlaku bagi mereka yang pantas melakukannya, seperti imam atau orang yang dibutuhkan oleh imam untuk ditunjuk sebagai penggantinya apabila terjadi sesuatu dalam shalat, atau orang yang hendak mengisi tempat kosong pada shaf pertama maupun shaf berikutnya. Ini semua tidaklah dianggap sebagai gangguan. Al Muhallah berkata, “Tidak ada pertentangan antara hal ini dengan larangan melangkahi orang-orang ( di masjid), karena Nabi SAW tidak seperti orang lain dalam masalah shalat atau pun lainnya, dimana beliau boleh maju dengan sebab hukum-hukum yang turun kepadanya.” Lalu dia membahas masalah ini dengan panjang lebar, namun pernyataannya dikritik dengan alasan bahwa perbuatan demikian tidak khusus bagi Nabi SAW. Sementara itu Al Muhallab telah mengisyaratkan pula pada pendapatnya yang menjadi pedoman, dimana ia berkata, “Semua perbuatan itu tidak dinilai sebagai gangguan atau perbuatan tidak beradab seperti yang timbul akibat melangkahi orang-orang di masjid, dan tidak sama pula dengan orang yang menyela-nyela shaf sementara manusia sedang duduk-duduk, karena hal ini termasuk melangkahi bahu-bahu mereka.”

24. Tidak disukai bertepuk tangan saat shalat, dan ini akan diterangkan dalam pembahasan tersendiri.

25. Mengucapkan pujian dan rasa syukur atas kedudukan yang diperoleh dalam agama.

26. Barangsiapa yang diberi kehormatan untuk melakukan sesuatu maka ia boleh memilih antara menerima atau menolak, selama ia memahami persoalan tersebut bukan merupakan suatu kemestian. Seakan-akan faktor yang menyebabkan Abu Bakar memahami bahwa perintah itu bukan suatu kemestian adalah perbuatan Nabi SAW yang menyela-nyela shaf hingga sampai ke shaf paling depan. Dari sini sepertinya Abu Bakar memahami bahwa maksud Nabi SAW adalah untuk mengimami manusia. Adapun perintah beliau SAW agar Abu Bakar meneruskan mengimami shalat hanyalah sebagai penghormatan kepadanya serta isyarat akan kedudukannya, maka Abu Bakar memilih menunjukkan adab (sopan santun) serta tawadhu’ (rendah hati). Sikap Abu Bakar ini didukung oleh kemungkinan bahwa wahyu telah turun saat shalat untuk mengubah hukum-hukumnya. Kemungkinan karena alasan inilah sehingga Nabi SAW tidak menanggapi alasan yang dikemukakan oleh Abu Bakar.

27. Orang yang memiliki keutamaan boleh menjadi imam bagi orang yang lebih utama darinya.

28. Pemimpin hams bertanya tentang sebab penyelisihan atas perintahnya sebelum melakukan pencegahan.

29. Memuliakan orang tua dengan cara memanggil dengan nama panggilannya.

30. Menyebutkan keadaan dirinya untuk menunjukkan sikap tawadhu’ (rendah hati), berdasarkan sikap Abu Bakar yang menggunakan kalimat untuk orang ketiga sebagai pengganti kalimat untuk orang pertama, sebab kalimat seharusnya yang diucapkan oleh Abu Bakar adalah, ”Tidak pantas bagiku…” namun ternyata yang diucapkannya adalah, “Tidak pantas bagi putra Abu Quhafah…”. Hal ini karena kalimat kedua lebih menunjukkan sikap tawadhu dibandingkan kalimat pertama.

31. Boleh melakukan gerakan-gerakan ringan saat shalat, berdasarkan sikap Abu Bakar yang berjalan mundur hingga berdiri sejajar dengan shaf pertama. Adapun orang yang butuh melakukan perbuatan seperti ini, maka ia hams berjalan mundur ke belakang dan tidak boleh membalikkan badan atau berpaling dari arah kiblat.

32. Ibnu Abdul Barr menyimpulkan dari hadits ini tentang bolehnya membenarkan bacaan imam; karena jika mengucapkan tasbih diperbolehkan, tentu membenarkan bacaan imam lebih diperbolehkan lagi. Wallahu a’lam.

M Resky S