Menelisik Sejarah Kaum Abangan dan Santri di Indonesia

Menelisik Sejarah Kaum Abangan dan Santri di Indonesia

Pecihitam.org – Masyarakat Indonesia belakangan dinilai semakin relijius, setidaknya jika dilihat dari besarnya gairah ekspresi publik melalui simbol-simbol Islam. Di media sosial –Youtube, Twitter, Facebook- para penceramah agama semakin mendapatkan panggung perhatian dari muslim Indonesia.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Selain itu, di jagat nyata ada gairah untuk tampilan fisik yang lebih Islami secara besar-besaran. Mulai banyak keingingan standarisasi serba halal dan syari’ah. Pakaian halal, kosmetik halal, bahkan hingga elektronik yang halal; misalnya kulkas halal.

Terkait dengan situasi demikian ini intelektual NU, Ahmad Suaedy dalam artikelnya Tarian Politik Pilpres 2019 di Harian Kompas dengan mengutip Bob Hefner bahwa matras agama di Indonesia semakin putih. Matras putih tersebut menggeser matras merah yang sebelumnya memiliki posisi kuat dalam masyarakat Indonesia.

Pembicaraan tentang matras putih dan matras merah tersebut terkait dengan apa yang disebut dengan kaum abangan dan santri dalam sejarah Indonesia.

Seorang antropolog bernama Cliford Geertz pada tahun 1950 an melakukan penelitian di Pare, Kediri. Dari Geertz-lah istilah kaum santri, abangan, dan juga priyai muncul.

Menurut Geertz bahwa kaum abangan adalah orang-orang yang terpapar oleh animisme. Kaum abangan dipahami sebagai kategori masyarakat yang tidak relijius. Sedangkan di sisi seberangnya adalah kaum santri. Kaum santri ini dipahami sebagai masyarakat yang memiliki kepercayaan Islam yang kuat.

Baca Juga:  Latar Belakang Adanya Peringatan Hari Santri Nasional

Dalam penjelasan Gerrtz ini tidak memahami santri hanya sebagai santri pesantren tradisionalis sebagaimana banyak dipahami oleh orang awam. Namun, kata santri ini merujuk relijiusitas kalangan muslim saat itu. Baik kalangan tradisionalis dan modernis.

Sedangkan kaum abangan sendiri ada yang merupakan seorang kebatinan, kejawen, ataupun muslim. Seringkali kaum muslim abangan ini disebut sebagai muslim yang tidak taat atau muslim KTP saja.

Namun, penelitian Geertz ini memiliki kekurangan dari segi kesejarahan. Geertz tak mampu memberikan penjelasan sejak kapan dikotomi antara santri dan abangan itu muncul dalam masyarakat Indonesia.

Penjelasan kesejarahan yang lebih detil tentang asal-usul kaum abangan dan santri ini adalah tulisan sejarawan M. C. Ricklefs di Historia yang berjudul Asal-usul Kaum Abangan[i]. Penjelasan Ricklefs ini menarik karena menelusuri istilah kaum abangan dan santri sejak abad-abad lampau sebelumnya.

Menurutnya, sebelum pertengahan abad ke 19 M, kosa kata abangan belum muncul dalam masyarakat Hindia Belanda saat itu. Sedangkan kosa kata kaum santri sudah sangat banyak dikenali sejak abad ke 14 M ketika Islamisasi di Nusantara berkembang.

Baca Juga:  Perbedaan Ulama dalam Pembagian Fase Periodeisasi Syarah Hadis

Ricklefs mendapatkan data-data seputar kaum abangan ini dari laporan para misionaris Kristen Belanda yang diterjunkan di berbagai wilayah di Jawa pada tahun 1850 an.

Para misionaris ini ditugaskan di Jawa selama puluhan tahun. Selain mereka memiliki misi dakwah, mereka juga memberikan pelaporan tentang kondisi sosial relijius masyarakat Indonesia.

Menurut Ricklefs dengan mendasarkan laporan-laporan dari para misionaris tersebut bahwa kosa kata abangan itu baru mucul pada tahun 1855.

Mulai dilaporkan bahwa saat itu ada yang disebut kaum santri yang getol menyebarkan ajaran Islam dan kaum oposisinya yang tidak taat beragama. Dikabarkan bahwa pada tahun-tahun sebelumnya kaum abangan ini cukup mendominasi dalam masyarakat Indonesia.

Kemudian, gelombang menurunnya jumlah kaum abangan di Indonesia adalah sejak tahun 1880 an ketika jumlah jama’ah haji di Indonesia meningkat dengan tajam. Dan semakin mendekati tahun 1900 an, jama’ah haji semakin banyak.  Faktor yang memengaruhi banyaknya jumlah haji tersebut karena transportasi haji semakin mudah karena Terusan Suez di Mesir mulai dibuka.

Baca Juga:  Sejarah Singkat Terjadinya Perang Hunain

Setelah banyak jama’ah haji membeludak. Pada awal tahun 1910 an hingga 1926 berdiri berbagai ormas Islam. Adanya organisasi bagi kaum muslim tersebut memengaruhi konsolidasi mereka hingga semakin kuat.

Dari semakin kuatnya posisi dan kekuatan kaum santri tersebutlah kemudian memengaruhi jumlah kaum abangan semakin menyurut. Dan puncaknya adalah tahun 1965-67 ketika terjadi pembantaian massal kepada orang yang dituduh komunis turut menghancurkan basis sosial kaum abangan ini. Kemudian, sampai saat ini kaum abangan semakin kecil jumlahnya.

Demikianlah sejarah polarisasi antara kaum abangan dan santri dalam sejarah Indonesia. Munculnya istilah abangan adalah sejak pertengahan dan akhir abad ke 19 M. Dan mulai saat itulah kaum abangan juga semakin tergerus. Wallahua’lam.


[i] M. C. Ricklefs berjudul Asal Usul Kaum Abangan di Historia