PeciHitam.org – Hukum islam tidak hanya menetapkan sesuatu pada zaman dahulu saja namun dapat fleksibel menanggapi segala hal di zaman apapun seperti sekarang khususnya jika menyangkut hukum deposito dalam Islam.
Perihal perbankan dan produknya diatur juga diantaranya tentang tabungan dan deposito agar terhindar dari bahaya hidup boros yang mana pada dasarnya telah dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW.
Yaitu ketika Rasulullah SAW dipercaya masyarakat Mekkah untuk menerima simpanan harta dan pada saat terakhir sebelum hijrah ke Madinah Beliau meminta kepada Ali bin Abi Thalib untuk mengembalikan semua tabungan tersebut kepada para pemiliknya.
Sebagaimana Allah SWT berfirman tentang prinsip pengelolaan harta yaitu sebagai berikut:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٖۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ
Artinya: “Hai orang orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr, 59: 18)
Menabung merupakan hal yang dianjurkan dalam Islam karena dengan menabung berarti seorang telah mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan masa yang akan datang sekaligus menghindari hal yang tidak diinginkan.
Deposito yang dilakukan dengan tujuan cara hidup hemat menurut islam merupakan produk bank sejenis jasa tabungan yang dapat ditawarkan kepada masyarakat dengan dana dalam produk deposito dijamin oleh pemerintah melalui lembaga penjamin simpanan dengan persyaratan tertentu.
Produk tersebut merupakan produk penyimpanan harta di bank dengan sistem penyetoran yang penarikannya hanya dapat dilakukan setelah melewati waktu tertentu karena biasanya memiliki jangka waktu di mana uang di dalamnya belum boleh ditarik nasabah sebelum tanggal jatuh temponya.
Adapun produk deposito syariah ialah produk produk deposito atau tabungan berjangka yang dijalankan berdasarkan hukum islam, dimana transaksinya menggunakan prinsip syariah yang dinilai halal dan menguntungkan, khususnya bagi umat muslim yang mengedepankan prinsip Islami dalam pengelolaan hartanya.
Perlu diketahui produk deposito syariah memiliki perbedaan yang krusial jika dibandingkan dengan produk deposito konvensional, yaitu dalam pemberian keuntungan.
Jika dalam produk deposito konvensional keuntungan yang diperoleh akan berdasarkan bunga tetap, sedangkan produk deposito syariah menggunakan sistem bagi hasil yang ditentukan berdasarkan porsi yang telah disepakati.
Ibnu Rusyd dari madzhab Maliki menjelaskan bahwa kebolehan akad mudharabah merupakan suatu kelonggaran yang khusus digunakan untuk produk deposito yang mana dibolehkan sebab termasuk jenis investasi dengan tujuan untuk saling membantu antara investor dengan pengelola dagang.
Meskipun akad mudharabah tidak secara langsung disebutkan dalam al-Qur’an atau hadits, namun sudah merupakan sebuah kebiasaan yang diakui dan dipraktikkan oleh umat Islam sebagai tulang punggung perdagangan karavan dan perdagangan jarak jauh.
Dasar hukum deposito dalam islam yang biasa digunakan oleh para Fuqaha tentang kebolehannya diantaranya, terdapat dalam surah al-Muzzammil ayat 20 yang artinya, “…dan sebagian mereka berjalan di bumi mencari karunia Allah…” dan surah al-Baqarah ayat 198 yang artinya, “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari Tuhanmu…”
Kutipan ayat tersebut secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, dimana bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan Allah SWT.
Abbas Ibnu al-Muthalib menjelaskan yang artinya:
“Tuan kami Abbas Ibnu Abdul Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada seorang yang pakar dalam perdagangan) melalui akad mudharabah, dia mengemukakan syarat bahwa harta tersebut jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembah,
Dan tidak boleh dibelikan hewan ternak yang sakit yang tidak dapat bergerak atau berjalan, jika (ketiga) hal itu dilakukan maka pengelola modal dikenai ganti rugi, kemudian syarat yang dikemukakan Abbas Ibnu Abdul Muthalib sampai kepada Rasulullah SAW dan Beliau membolehkannya”. (HR. Tabrani)
Dikatakan bahwa Nabi dan beberapa Sahabat pun terlibat dalam kongsi kongsi Mudharabah. Menurut Ibn Taimiyyah, para fuqaha menyatakan kehahalan mudharabah berdasarkan riwayat riwayat tertentu yang dinisbatkan kepada beberapa Sahabat tetapi tidak ada Hadits sahih mengenai mudharabah yang dinisbatkan kepada Nabi.
Jadi deposito merupakan produk perbankan yang dimaksudkan sebagai bentuk tabungan, yang artinya mengajak orang untuk menabung dengan nilainya akan bertambah serta mendapatkan keuntungan dari penggunaan dana yang disetor, dimana dalam fikih yang demikian disebut istishna’.
Sementara terkait apakah bunga produk deposito termasuk riba dijelaskan bahwa terdapat sebuah kaidah dalam fikih untuk dijadikan dasar yaitu yang artinya:
“Pada dasarnya, suatu akad bergantung pada niat dan maknanya, bukan pada lafal dan bentuknya.” (Lihat: Al-Qawa’idul Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fil Madzahibil Arba’ah, Az Zuhaily)
Jadi meskipun namanya ialah bunga deposito, namun sebenarnya merupakan nisbah keuntungan, adapun nisbah tersebut muncul karena uang produk deposito digunakan sebagai modal usaha yang disalurkan oleh bank, sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum deposito dalam islam diperbolehkan dan halal.