Begini Penjelasan Istilah Haibah dan Anasu dalam Dunia Tasawuf

Begini Penjelasan Istilah Haibah dan Anasu dalam Dunia Tasawuf

Pecihitam.org- Haibah dan Anasu memiliki posisi yang berada di atas derajat (maqam) al­-qabdhu dan al-basthu, sementara al-qabdhu berada di atas al-khauf dan al-basthu di atas tingkatan ar-raja’.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Imam Al-junaid berkata, “Saya pernah mendengar As-Simi berkata, ‘Seorang salik akan sampai ke batas al-anasu (ditandai dengan) jika wajahnya dihantam sebilah pedang, maka dia tidak akan merasakan apa-apa. Di dalam hatiku ada sesuatu sehingga tampak bagiku bahwa semua perkara harus seperti demikian (yai­tu, sekiranya rasa dan kesadaran menunjukkan bahwa kesempurnaan ketenggelaman diri, bersama Allah, akan menghilang­kan semua rasa yang berkaitan dengan nafsu).

Ahmad bin Muqatil Al-Aki pernah menyampaikan bahwa, “Saya pernah berkunjung ke Asy-Syibli. Waktu itu, beliau sedang mencukur rambutnya dari arah alis dengan penjapit logam yang kasar dan tumpul, lalu saya katakan kepada beliau, ‘Wahai Tuan, memang Anda sendiri yang melakukan hal itu’, namun rasa pedihnya memantul kepadaku.’ Kemudian Asy-Syibli menjawab, ‘Celakalah kau! hakikat yang tampak (entitas kepedihan semu) padaku tidak saya rasakan, dan hakikatku yang zhahir itu seperti ini (mencukur rambut); sedangkan saya masuk dan tenggelam dalam kepedihan di hatiku, sehingga saya hanya merasakan kesakitan batin (sakit sebab cinta, rindu, dan takut pada Allah) yang membuat kepedihan zhahir tak terasa dariku, maka dari itulah saya tidak menemukan rasa sakit atau pedih. Kesakitan tidak tertutup dariku dan aku tidak mempunyai kemampuan untuk merasakannya.

Baca Juga:  Konsep Manusia Sebagai Makhluk Teomorfis (Memiliki Unsur Ilahiah)

Al-Haibah dan Al-Anasu memiliki keadaan, apabila keduanya tampak atau muncul, maka ahli hakikat memasukannya sebagai kekurangan, sebab adanya perubahan pada diri salik.

Sementara ahli tamkin (golongan yang telah mencapai kestabilan rohani, tidak terpengaruh oleh berbagai rasa, seperti rasa haibah dan anasu), posisinya lebih tinggi di atas ahlu taghayyur (golongan yang hati­nya belum stabil dan masih terpengaruh oleh kemunculan berbagai rasa, seperti khauf, haibah, anasu, dan lain-lain).

Mereka, “ahlu tam-kin” keberadaannya menjadi sirna di mata keberadaan yang ada (sirna di mata ahli zhahir), maka baginya tidak ada haibah, tidak pula anasu. Mereka tidak memiliki kesadaran dan rasa.

Ada sebuah cerita yang populer dari Abu Said Al-Kharraz, beliau menuturkan: Ketika saya berada di tengah gurun sahara yang sepi, saya melantunkan sebuah tembang kerinduan:

Baca Juga:  Mengenal Konsep Ma’rifah dalam Dunia Tasawuf

“Saya datang, tapi tidak tahu di padang mana saya berada (bingung) selain apa yang dikatakan manusia tentang (diri) dan jenis saya. Saya datang ke negeri jin dan manusia tapi tidak saya jumpai seorang jiwa pun yang mampu mendatangi jiwa saya.”

Kemudian saya (Abu Said Al-Kharraz) mendengar suara (tanpa wujud) yang membisiki telinga batin saya dengan menga­takan: “wahai orang yang melihat sebab-sebab yang lebih tinggi keberadaannya bergembira di padang sesat yang dekat dan di (alam) manusia. Andaikan kamu hakikatnya masuk ahli “wujud”, niscaya kamu pasti lenyap dari alam semesta, arasy (singgasana gaib), dan kursi kamu tanpa hal bersama Allah pasti jumeneng (stabil) sehingga kamu terpelihara, dari kenang-kenangan yang dimiliki bangsa jin dan manusia.”

Jadi dapat disimpulkan bahwa, Al-Anasu lebih sempurna dari Al-Basthu. Artinya, lebih tinggi tingkatannya. Al-Haibah tumbuh dari Al-Qabdhu, dan Al-Qabdhu tumbuh dari khauf, sementara Al-Anasu tumbuh dari raja’.

Baca Juga:  Dimensi Sosial dalam Tasawuf Abu Thalib al-Makki

Orang yang selalu takut atau khauf kepada Allah, serta mengetahui kekurangan dirinya di dalam pemenuhan hak Allah, maka hatinya pasti tercekam seperti tergenggam dalam genggaman-Nya. Dalam dirinya yang tersisa hanyalah kesibukan rabbani bersama Allah. Hal tersebut menghasilkan haibah yang tumbuh dalam dirinya.

Mochamad Ari Irawan