Kesaksian Non Muslim dalam Islam, Diterima atau Tidak?

Kesaksian Non Muslim dalam Islam, Diterima atau Tidak?

PeciHitam.org – Kesaksian menjadi penting dalam kaidah hukum baik dalam sistem bernegara di Indonesia maupun dalam Islam. Ada sekian banyak contoh dalam hadits dan riwayat untuk menghadirkan saksi dalam sebuah peradilan atau hanya sekedar mempercayai isi pembicaraan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Simpang jalan dalam kesaksian adalah adanya pranata hukum yang harus dipahami ketika mendengar kesaksian orang kafir atau non-muslim. Dalam konteks kesaksian tidak jarang sebuah kebenaran berasal dari orang yang bukan muslim.

Alasannya adalah saksi mata saat kejadian tidak terdapat orang Islam, maka hal ini harus menjadi pertimbangan.

Bukan hanya dalam peradilan sebuah kesaksian di butuhkan, namun dalam hal periwayatan juga dibutuhkan. Umum dipahami bahwa landasan dalam Islam adalah hadits yang bertulang punggung kepada transmisi perawi. Berikut penjelasannya!!

Daftar Pembahasan:

Kesaksian Non Muslim dalam Perspektif Quran

Kesaksian dalam bahasa Arab disebut dengan syahadah yang merujuk kepada konsep melihat/ merasakan secara langsung. Kesaksian dalam kerangka peradilan haruslah seorang yang adil dan dapat dipercaya karena kesaksiaannya akan menjadi pertimbangan hukum. Maka ketika saksi dihadirkan dalam sebuah persidangan akan disumpah terlebih dahulu.

Menanggapi bagian judul tentang kesaksian non muslim apakah dibenarkan dalam sistem hukum Islam masih terjadi perbedaan.

Imam Syafii, Imam Maliki, dan Imam Ahmad bin Hanbal menyepakati/ berpendapat sama bahwa kesaksian non muslim tidak dibenarkan atau tidak diterima. Tidak diterimanya kesaksian tersebut menurut 3 Imam di atas bersifat mutlak.

Landasan argumentasi yang digunakan oleh 3 madzhab yang melarang kesaksian diatas secara mutlak adalah ayat;

وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا

Artinya; “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil (Qs. Al-Baqarah: 282)

Kesaksian dalam konteks ayat di atas dapat digunakan dalam muammalah yang biasanya bersinggungan dengan kegiatan ekonomi yaitu jual-beli, hutang dan piutang, sewa menyewa dan lain sebagainya.

Baca Juga:  Ibadah dengan Niat Untuk Kesehatan? Bolehkah? Ini Pandangan Imam Ghazali

Dalam kerangka ayat ini, orang kafir atau non-muslim ditempatkan dalam posisi tidak setara dalam sistem hukum Islam. Maka pedapat Imam Syafii, Hanbali dan Maliki menganggap tidak sah kesaksian non muslim.

Sedangkan Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa kesaksian yang dilakukan oleh non muslim bisa diterima walaupun di antara mereka berbeda agama. Sebagaimana kesaksian orang Nasrani untuk orang Yahudi, hal ini diterima menurut Madzhab Hanafi. Namun ditolak jika yang bersaksi adalah dari golongan kafir harbi atau non-Muslim yang jelas-jelas menjadi musuh Islam.

Keringanan dalam kesaksian muncul hanya dalam bidang medik, yaitu kesaksian dokter non-muslim kepada pasien Muslim. Hal ini difatwakan oleh Al-Jauziyah dalam kitab Ath-Thuruqu li Hukmiyah. Kebolehan ini hanya bersifat temporer karena kedaruratan yang wujud dalam hubungan pasien dan dokter.

Dasar Hukum Bolehnya Kesaksian Non Muslim

Pandangan Imam Maliki, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal dengan mutlak menolak kesaksian non muslim. Imam Hanafi memiliki pandangan yang berbeda dengan pandangan 3 Ulama Madzhab tersebut. Imam Hanafi menyatakan kebolehan kesaksian non muslim dari ayat;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ آخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الأرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ تَحْبِسُونَهُمَا مِنْ بَعْدِ الصَّلاةِ فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ إِنِ ارْتَبْتُمْ لا نَشْتَرِي بِهِ ثَمَنًا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَلا نَكْتُمُ شَهَادَةَ اللَّهِ إِنَّا إِذًا لَمِنَ الآثِمِينَ

Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang Dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: “(Demi Allah) Kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun Dia karib kerabat, dan tidak (pula) Kami Menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya Kami kalau demikian tentulah Termasuk orang-orang yang berdosa” (Qs. Al-Maidah: 106)

Keterangan dari tafsir tentang cuplikan ayat أَوْ آخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ merujuk kepada menggunakan saksi dari orang lain yang berbeda agama. Pembolehan digunakannya saksi orang non-muslim tidak lain karena desakan kedaruratan yang ada. Bukan semata-mata dibolehkan secara dasarnya.

Baca Juga:  Batasan Aurat Wanita Menurut Empat Madzhab Fiqih

Pengecualian dalam kesaksian non muslim sebagai keabsahan alat bukti yang digunakan baik dalam jinayah (hukum perdata) atau dalam muammalah adalah sebagai berikut;

Diperbolehkan menggunakan kesaksian non muslim ketika tidak ada saksi lainnya yang beragama Islam. Alasan pembolehannya adalah kedaruratan yang wujud dalam sebuah perkara.

Diperbolehkan kesaksian seorang dokter non-muslim untuk memeriksa pasien yang muslim. Dihadapan pengadilan kesaksian ini dibenarkan menurut pendapat Imam Maliki.

Pernikahan menggunakan saksi ahlu kitab dibenarkan oleh Abu Hanifah dan Abu Yusuf ketika yang dinikahi adalah wanita ahlu kitab.

Teori pembolehan kesaksian non muslim dalam sistem peradilan Islam dibenarkan hanya ketika kondisi darurat atau tidak ada saksi selain orang non-muslim. Tentunya syarat utama dalam kesaksian adalah keadilan orang yang bersaksi, bukan orang yang terkenal munafik suka berbohong.

Pada era modern, kompleksitas kesaksian dan percampuran manusia dalam bentuk globalisasi menjadi pertimbangan ijtihadi sendiri. Harus ada terbosan dalam melihat kenyataan ini secara obyektif untuk mendaur ulanag kesaksian non-muslim didepan pengadilan.

Kesaksian Non Muslim di Era Modern, Bagaimana?

Masalah yang muncul dalam kehidupan modern sangat beragam dan kompleks berjalan beriringan dengan era globalisasi. Pembauran yang terjadi antar manusia baik dalam muammalah atau lainnya sangat berpotensi munculnya gesekan.

Baca Juga:  Wajib Tahu! Inilah Hukum Jika Makmum Mendahului Gerakan Imam Sholat

Potensi gesekan biasanya memunculkan konflik yang merujuk kepada kasus yang disidangkan di meja hijau atau pengadilan. Dalam hubungan muamalah, jika ada kerugian antar dua belah pihak berbeda agama akan membawa dinamika sendiri.

Dinamika kesaksian dalam persidangan jika menghadirkan saksi yang non-muslim maka tidak dapat diterima dalam Islam. Minimal pendapat ini digunakan oleh 3 Imam Madzahab (Maliki, Syafii dan Hanbali). Namun ada alternatif Imam yang menerima kesaksian non-muslim ketika darurat yaitu Imam Hanafi.

Kiranya pendapat Imam Hanafi bisa menjadi alternatif hukum yang dipakai oleh peradilan Indonesia di era modern. Pendapat Ulama di bawah Imam Hanafi menyatakan bahwa fungsi utama saksi adalah sebagai Bayyinah penjelasan terhadap kasus yang terjadi.

Maka ketika saksi non-muslim di Pengadilan Agama dalam Hukum Acara Perdata dapat diterima penyaksiannya menyangkut kejadian untuk memperjelas duduk perkaranya.

Prinsip utamanya sama dengan pandangan Ulama Hanafiyah yaitu masalah pembuktian adalah terungkap suatu kebenaran dari suatu peristiwa sebenarnya.

Dalam hal ini juga Hukum Acara Perdata tidak ada persyaratan mutlak untuk diterima sebagai saksi seperti perbedaan agama. Asalkan memenuhi syarat-syarat formil dan materil untuk menjadi saksi.

Hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama adalah hukum acara yang berlaku di Pengadilan Umum maka tidak menutup kehadiran saksi non-muslim di Pengadilan. Ash-Shawabu Minallah

Mohammad Mufid Muwaffaq