Pantaskah Maaher At-Thuwailibi Dipanggil dengan Sebutan Ustadz?

Pantaskah Maaher At-Thuwailibi Dipanggil dengan Sebutan Ustadz

Pecihitam.org – Maaher At-Thuwailibi adalah seorang pendakwah yang saat ini sedang kondang di masyarakat Indonesia. Gaya dakwah yang ceplas-ceplos di media dan di depan masyarakat, menjadikan Maaher menjadi sorotan publik. Lebih-lebihnya ketika ia mengatakan bodat, tengtop dan sering sekali mengatakan kata-kata tolol kepada pemerintah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Namun dalam hal ini, penulis mempunyai pandangan bahwa Maaher at-Thuwailibi selain menjadi seorang pendakwah, ia  juga menjadi salah satu pendukung dari salah satu paslon ketika pemilihan presiden 2019-2024. Terkait problem tersebut, dalam artikel sederhana ini penulis akan tuangkah dan jelaskan terkait etika komunikasi dalam Islam.  

Konsep tentang komunikasi tidak hanya berkaitan dengan masalah cara berbicara efektif saja melainkan juga etika bicara. Semenjak memasuki era reformasi, masyarakat Indonesia berada dalam suasana euforia, bebas bicara tentang apa saja, terhadap siapapun, dengan cara bagaimanapun.

Sehingga tidak menutup kemungkinan hampir setiap orang dapat berbicara tanpa batas dan jarang melihat nilai-nilai etika dalam berkomunikasi seperti Maaher at-Thuwailibi.

Al-Qur’an menyebut komunikasi sebagai salah satu fitrah manusia. Untuk mengetahui bagaimana manusia seharusya berkomunikasi. Al-Qur’an memberikan kata kunci (keyconcept) yang berhubungan dengan hal itu.

Baca Juga:  Ulama adalah Ujung Tombak dalam Menangkal Radikalisme dan Kelompok Anti Pancasila

Al-Syaukani, misalnya mengartikan kata kunci al-bayan sebagai kemampuan berkomunikasi. Selain itu, kata kunci yang dipergunakan Al-Qur’an untuk komunikasi ialah al-qaul. Dari al-qaul ini, Jalaluddin Rakhmat menguraikan beberapa prinsip yang salah satunya qaulan sadidan yakni kemampuan berkata benar atau berkomunikasi dengan baik.

Untuk dapat mengetahui bagaimana orang-orang berkomunikasi secara benar (qaulan sadidan), harus dilacak kata kunci (key-concept) yang dipergunakan Al-Qur’an untuk komunikasi. Karena Al-Qur’an adalah kitab suci dan kitab pedoman bagi umat Muslim.

Oleh sebab itu, sebagai umat rasulullah maka tidak pantaskah kita tidak meniru dan merujuk Al-Qur’an sebagai aturan dalam kehidupan termasuk dalam etika berbicra.

Selanjutnya, Dalam kamus Al-Munawwir kata sadidan diambil dari kata sadda yasuddu yang mempunyai arti berkata benar, jelas, lurus, dan obyektif. Selain itu, kata kunci untuk komunikasi yang banyak disebut di dalam Al-Qur’an dengan sebutan al-qaul dalam konteks perintah (amr).

Dapat disimpulkan dalam hal ini bahwa ada enam prinsip komunikasi dalam Al-Qur’an yakni qaulan sadidan (QS. 4: 9: 33: 70), qaulan balighan (QS. 4:63), qaulan mansyuran (QS. 17:28), qaulan layyinan (QS. 20:44), qaulan kariman (QS. 17:23), dan qaulan marufan (QS. 4:5).

Baca Juga:  Habluminannas dan Implementasinya di Masa New Normal

KH. Thoha Muntaha dalam bukunya yang berjudul Seni Diplomasi Qur’ani , ia menjelaksan bahwa yang dimaksud dengan qaulan sadidan adalah top down atau cerminan prilaku perintah yang dilakukan oleh atasan dengan bahwahan, pejabat dengan rakyat, generasi tua dengan generasi muda, penceramah dengan jamaah dan seorang imam dengan makmum.

Al-Qur’an menyuruh kita untuk selalu berkata benar. Kejujuran melahirkan kekuatan, sementara kebohongan mendatangkan kelemahan. Biasa berkata benar mencerminkan keberanian.

Bohong sering lahir karena rendah diri, pengecut, orang-orang yang ketakutan dan mengolok-ngolok orang dengan perkataan kotor. Selain di dalam Al-Qur’an, Nabi Muhammad saw dengan mengutip Al-Qur’an menjelaskan orang beriman tidak akan berdusta.

Bertolak dari pembahasan di atas, penulis ingin menutup tulisan ini dengan  menarik beberapa kesimpulan.

Pertama, Al-Qur’an menyatakan bahwa berbicara yang benar menyampaikan pesan yang benar-benar adalah prasyarat untuk kebesaran, kebaikan, kemaslahatan dan amal. Apabila ingin sukses dalam karir, ingin memperbaiki masyarakat, maka kita harus menyebarkan pesan yang benar.

Baca Juga:  Istilah "Ustadz Sunnah" yang Ternyata Adalah Bid'ah

Kedua, Nabi Muhammad saw telah mengajarkan kepada umatnya untuk bisa berbicara yang sopan dan baik kepada sesama umat Muslim.

Maka penulis mempunyai pandangan bahwa Maaher at-Thuwailibi sangat tidak pantas disebut dengan istilah ustadz atau orang yang dihormati karena perkataannya yang tidak sopan dan kurang berakhlak.

Namun sebaliknya, jika ia ingin bertaubat dan menyesali kesalahanya maka sebutan ustadz sangat mungkin bisa disematkan di dalam namanya.

M. Dani Habibi, M. Ag