Mengapa Fatwa Ulama Bisa Beda Meski Rujukannya Sama

fatwa ulama

Pecihitam.org – Dalam suatu riwayat masa Kekhalifahan Umar bin Khatab setelah penaklukan kota Irak dan Syam, para sahabat dihadapkan mengenai persoalan tanah hasil rampasan perang tersebut.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Jika mengikuti apa dipraktekkan oleh Rasulullah Saw di masa hidupnya, maka empat perlima dari bagian tanah tersebut harus dibagikan kepada mereka yang ikut berperang dan seperlimanya digunakan untuk kemaslahatan umat.

Akan tetapi Khalifah Umar mengambil keputusan yang berbeda, ia tidak lagi membagikan harta rampasan perang tersebut seperti aturan yang pernah berlaku.

Malah Khalifah Umar memutuskan untuk membiarkan tanah tersebut tetap berada di tangan pemiliknya, hanya saja sang pemilik dikenakan pajak yang dari hasilnya itu diberdayakan untuk kepentingan umat Islam dan pemerintahan.

Keputusan Umar dalam mengambil kebijakan pada kasus di atas sekilas merupakan hal yang menyalahi aturan baku dari apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Sebab dalam surat al-Anfal, ayat ke-41, sudah dijelaskan bahwa seperlima harta rampasan perang digunakan untuk kepentingan kaum muslimin dan sisanya dibagikan kepada prajurit muslim yang ikut berperang.

Kemudian yang menjadi pertanyaan mengapa fatwa Khalifah Umar terkait kasus di atas bisa berbeda dengan ketentuan Allah dan RasulNya? Apa dasar hukum serta alasan beliau mengubah hukum tersebut? Apa tidak khawatir jika nanti Umar dianggap sebagai orang yang berani merubah ataupun bahkan menentang hukum Allah dan Rasul-Nya?

Dari pertanyaan di atas, ternyata para ulama Ushul Fiqih salah satunya Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam karyanya I’lam al-Muwaqqi’in, telah merumuskan sebuah kaidah bahwa fatwa dalam kasus tertentu dapat berubah dikarenakan oleh perubahan waktu, tempat, orientasi, situasi dan kondisi lingkungan di mana fatwa hukum tersebut disampaikan.

Baca Juga:  Harkat dan Martabat Manusia Adalah Anugerah, Ini Dalil-Dalilnya

Adapun Syekh Yusuf al-Qaradhawi mengatakan bahwa setidaknya terdapat sepuluh faktor penyebab perubahan fatwa ulama. Selain lima faktor yang sudah disebutkan di atas, beliau menambahkan lima faktor lainnya, seperti faktor tradisi (‘uruf), perubahan ilmu pengetahuan dan kebutuhan manusia, perubahan kemampuan manusia, perubahan kondisi sosial, ekonomi dan politik, perubahan pemikiran serta musibah atau bencana.

Dari kaidah yang disampaikan para ulama tersebut, maka dapat kita pahami bahwa perubahan fatwa atau kebijakan yang diputuskan Khalifah Umar pada masalah di atas sudah dapat dipastikan karena suatu faktor tertentu.

Menurut Syaikh Ali Hasan keputusan Khalifah Umar tersebut diambil karena ia melihat kepentingan masa depan umat Islam secara keseluruhan. Dengan diberlakukannya kewajiban pajak pada tanah-tanah rampasan perang tersebut maka Islam akan semakin kuat karena akan ditopang oleh perekonomian yang mapan serta pemerintahan yang lebih solid.

Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi pandangan Syaikh Ahmad Raisuni yang menyebutkan bahwa kemaslahatan merupakan dasar pijakan utama dalam pengambilan keputusan sebuah hukum.

Selain itu, Syekh Ali Jum’ah dalam kitab ‘Ilm Ushul al-Fiqh wa ‘Alaqatuhu bi al-Falsafah al-Islamiyyah, juga menekankan bahwa fatwa merupakan elemen terpenting dalam hukum Islam yang bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, fatwa seharusnya dibangun berdasarkan realitas yang terjadi dengan menekankan prinsip kemaslahatan serta keadilan sosial.

Baca Juga:  Tradisi Beda Pendapat dan Pesantren

Syekh Ali juga mengatakan bahwa seorang mufti sebaiknya harus memahami dengan baik tentang kasus yang sedang ia tangani. Bila perlu seandainya kasus tersebut berkaitan dengan bidang keilmuan yang tidak ia kuasai misalnya, maka sang mufti harus memusyawarahkan persoalan tersebut kepada para pakar yang menguasai bidang tersebut sebelum akhirnya mengeluarkan fatwa.

Bahkan, Fatwa yang dikeluarkan dengan sembarangan bisa saja membawa dampak negatif terhadap orang yang meminta fatwa, sebabb hal tersebut mungkin saja bisa mengakibatkan kebinasaan atau bahkan perpecahan jika fatwa tersebut berkaitan dengan huungan antar masyarakat.

Sebagai contoh kasus, pada masa Rasulullah SAW masih hidup, ada seseorang yang terluka dalam sebuah perjalanan, tanpa disengaja pada malam harinya ia junub. Kemudian ia bertanya kepada para temannya yang serombongan dalam perjalanan tersebut, terkait apakah ia boleh bertayamum saja sebagai ganti dari mandi wajib sebab ia sedang terluka.

Tanpa berpikir panjang teman-temannya menjawab bahwa ia tetap harus mandi wajib. Akhirnya lukanya menjadi infeksi, dan laki-laki tersebut meninggal dunia. Ketika berita tersebut disampaikan kepada Rasulullah SAW, beliau pun marah kepada teman-temannya dan menyebut mereka sebagai “pembunuh” sahabatnya yang meninggal tersebut.

Begitu juga dengan fatwa kafir dan mengkafirkan terhadap suatu golongan atau kelompok tertentu tanpa menelitinya secara mendalam dan akurat. Hal ini dapat mengakibatkan kekacauan dan perpecahan di kalangan masyarakat.

Tidak sedikit fatwa-fatwa ngawur seperti ini menjadikan tindakan radikal dari sekelompok orang yang merasa benar sendiri karena dilegitimasi oleh fatwa sembrono dari para ulamanya.

Baca Juga:  Rafidhi dan Nashibi Saudara Kembar Sekte Islam yang Salah Jalan

Sebagaimana yang dikutip oleh Ali Hasaballah, Imam Ahmad ibn Hambal mensyaratkan seorang mufti harus paham dengan hal ihwal masyarakat dan tipologi mereka. Hal ini supaya sang mufti tidak terjebak oleh kepicikan serta memutuskan perkara dengan hasil yang jauh dari standar-standar kemaslahatan yang ada.

Berdasarkan penjabaran di atas, perlu rasanya semua pihak untuk saling introspeksi diri agar tidak lantas langsung menyalahkan tindakan orang lain yang secara lahiriah berbeda dengan apa yang ia lakukan. Karena mungkin saja kondisi atau situasi yang ia hadapi berbeda dengan apa yang orang lain hadapi.

Ibarat, Fatwa ulama di pedesaan yang masyarakatnya homogen pasti akan berbeda dengan fatwa mereka yang tinggal di daerah perkotaan yang cenderung multi etnis.

Begitu pun fatwa ulama yang hidup di daerah minoritas Islam tentunya akan berbeda dengan mereka yang tinggal di daerah yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam. Maka saling memahami satu sama lain adalah hal penting dalam kaitannya hal ini. Demikian semoga bermanfaat. Wallahua’lam bisshawab.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik